Cukup lama aku mematung di sisi tempat tidurku.
Setelah puluhan tahun senyap, tanpa sua, tanpa sapa apalagi aksara. Lelaki yang telah memahat cinta sekaligus lara, satu jam yang lalu tepat berdiri di depanku. Garis-garis wajahnya masih sama. Aku tidak menyangka, Om Dala yang dikenal Amanda adalah dia.
Aku menghela napas lemah. Menarik diri di balik selimut. Tadi aku mampu meredam gejolak, nyatanya sekarang aku kelimpungan dengan rasa yang tidak bisa kuterjemahkan. Sehingga aku sulit merapatkan kedua mata.
"Mandala ...." gumamku lirih. Nama yang punah dari mulutku untuk sekian lama.
Aku menutup wajah dengan bantal, menghalau suara denting hujan di atap juga menghalau rasa yang tidak tenteram. Mencoba menenggelamkan diri dalam lelap.
Alarm yang berasal dari ponsel, berderit di telinga. Ah, kenapa cepat sekali hari menjelma pagi? Sepertinya baru satu detik aku tertidur pulas.
Dengan kepala yang pening dan tubuh penat aku keluar kamar. Langkahku menuju kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air kemudian bergegas menyiapkan sarapan.
Amanda menarik satu kursi, duduk diam dengan muka masam. Aku menyorongkan segelas susu hangat dan sepiring nasi goreng. Juga ponsel milik Amanda.
"Mama akan mengantarmu ke sekolah," ujarku, duduk di seberang Amanda.
Amanda tidak mendebat. Aku hanya mengamati putriku yang sedang mengunyah perlahan nasi goreng.
"Manda, sudah berapa lama kamu kenal Om Dala?"
"Hampir dua bulan," jawab Amanda pelan.
"Kalian kenal di mana?"
Amanda memandangku jengkel. "Dari Prisila, temanku. Waktu itu dia mengajakku menemui Om Haris."
"Apa Prisila keponakan Om Haris?"
"Bukan, dia ...." Amanda menggantungkan kalimatnya.
"Oke, mama paham," sahutku, menghirup aroma teh dari cangkir yang sedang kupegang. Ini masih pagi, aku tidak akan mengkonfrontasi lagi.
"Om Dala selalu bersikap sopan dan baik," kata Amanda.
Aku tidak menyahut. Bangkit dari kursi meja makan, menaruh cangkir yang sudah kosong di wastafel. Memandang sebentar ke luar jendela, pada sisa air hujan yang menempel di dedaunan pohon jambu.
"Pulang sekolah mama jemput, sekalian beli sepatu. Tidak mahal dan berkelas, tetapi bisa digunakan sesuai fungsinya."
"Iya, Ma."
***
"Hasna, kenapa buru-buru pulang?" tanya Mbak Niken.
"Mau menjemput Amanda," jawabku yang sedang memakai helm.
"Ikut makan-makan dulu, mumpung ada yang traktir," bujuk Mbak Niken.
"Maaf, tidak bisa ikut ngumpul, Mbak Niken." Aku menolak, sudah pukul tiga sore. Amanda pasti sudah menunggu.
Aku menyalakan mesin motor, nampak langit menghitam, pertanda hujan akan mendera bumi tempatku berpijak. Jarak tempuh menuju sekolah Amanda sekitar 15 menit. Murid-murid sekolah mulai terlihat keluar dari sekolah. Ada yang masih menggerombol di bawah pohon, ada yang sudah dijemput, dan ada yang berjalan ramai-ramai dengan tawa ceria khas anak remaja.
Amanda belum terlihat, mungkin masih ada keperluan. Sepuluh menit berlalu, dan sudah mulai sepi. Sementara rintik gerimis mulai turun. Kuputuskan turun dari motor, melangkah ke dalam sekolah.
"Eh, Dewi!" panggilku.
Dewi yang sedang duduk-duduk di bangku depan ruang UKS langsung berdiri dan berjalan menghampiri.
"Tante Hasna, ada perlu apa ke sekolah?"
"Mau jemput Amanda."
"Sudah pulang dari jam istirahat siang, katanya Tante sakit, makanya Manda minta izin pulang," kata Dewi.
Amanda telah berbohong.
"Terima kasih, Dewi," ucapku.
Jadi ke mana Amanda? Kucoba menghubungi ponselnya, tidak aktif. Hatiku semakin kebat-kebit.
Aku memutuskan pulang ke rumah, mungkin Amanda sudah pulang. Namun, sesampainya di rumah, aku mendapati rumah dalam kondisi gelap dan sunyi.
"Amanda ...." Kunyalakan lampu kamar tidur Amanda. Ranjangnya masih rapi.
Ya, Tuhan, ke mana gerangan anak itu? Kembali aku menghubungi ponselnya. Tidak tersambung.
[Amanda, kamu di mana?] Hanya centang satu.
Aku mondar-mandir gelisah di ruang tamu. Suara petir menggelegar. Hujan pun semakin meraung keras. Menambah suasana hati semakin tak karuan.
Ponselku berdering, tidak ada nama, hanya deretan nomor yang terpampang di layar ponsel.
"Ya, halo?"
"Hasna ...."
Walaupun bertahun mengendap bersama kenangan yang sudah terkubur, tetapi telingaku masih mengenali suara di seberang.
"Ini aku, Mandala."
'Iya, aku tahu,' batinku menyahut.
"Aku hanya ingin memberitahu, saat ini Amanda berada di rumahku."
"Tolong, antar Amanda pulang," pintaku.
"Dia menolak kuantar pulang," sahut Mandala.
"Share lokasi alamat rumahmu."
"Rumahku masih di alamat yang sama."
Aku tidak segera menjawab, ada gamang sekaligus ragu. Bagaimana mungkin aku menapaki rumah itu kembali?
"Ibuku masih di luar negeri," lanjut Mandala seolah bisa membaca pikiranku.
Aku mengesah. "Baiklah, aku akan menjemput Amanda."
"Hasna ...." lirih suara Mandala.
"Iya, ada apa?"
"Hati-hati. Cuaca sedang buruk."
Bukan hanya cuaca yang buruk, kondisi pikiranku juga buruk. Aku putuskan naik taksi. Kasihan Amanda jika kehujanan.
***
Jariku menekan bel. Rumah ini tidak banyak berubah. Ada seutas kenangan yang pernah terjadi. Kenangan pahit.
Kudapati seraut wajah mengulas senyum lebar ketika pintu terbuka. Pada akhirnya aku harus semuka dengan Mandala.
"Silakan masuk, Hasna."
"Di mana Amanda?" tanyaku, berjalan mengekor di belakang Mandala.
"Amanda sedang tidur," jawab Mandala.
"Aku akan membangunkan dia," ujarku.
"Tolong, jangan bangunkan Amanda. Dia baru saja tertidur. Bisakah kau menunggu lima belas menit lagi?"
Aku berhenti tepat di mulut pintu kamar, tampak Amanda meringkuk di balik selimut. Akan kubiarkan dia menikmati mimpinya sebentar saja. Aku berbalik, duduk di sofa.
"Aku buatkan secangkir cokelat panas." Mandala mengulurkan cangkir.
"Terima kasih."
Aku dan Mandala terdiam. Wajahku tertunduk, menekuri cangkir yang kupegang. Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengan Mandala.
"Amanda mirip sekali denganmu." Mandala mencoba memecah kebekuan di antara kami.
"Ya, begitulah," sahutku, malas. "Apa kau tertarik dengan Amanda?"
Mandala tergelak. "Sebagai wanita?"
"Iya."
"Kali pertama bertemu dengannya, dia langsung mengingatkan aku padamu. Aku menganggapnya sebagai seorang anak. Tidak lebih dari itu."
"Tapi, temanmu berhubungan dengan gadis remaja," selorohku.
Mandala menarik napas lalu berkata, "Mengenai hal itu aku tidak bisa ikut campur urusan mereka."
Kembali hening. Tatapan Mandala membuatku jengah. Aku melirik jam di ponsel, lima menit lagi.
"Hasna, apa Amanda anakku?"
Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Mandala. "Bukan," jawabku cepat. "Pernikahan kita hanya berumur dua hari, apa bisa menghasilkan seorang anak?"
"Jadi kau menikah lagi?"
"Iya."
"Tapi, Amanda bercerita padaku, dia tidak pernah bertemu dengan papanya."
"Itu bukan urusanmu." Aku meletakkan cangkir di meja. "Aku harus membangunkan Amanda."
"Hai, Mandala, kejutan!"
Refleks aku menoleh ke sumber suara, perempuan paruh baya yang masih cantik di usianya, berjalan mendekat ke arah kami. Seketika pengap. Seketika ruang keluarga ini tidak ada udara.
Mandala menatapku khawatir.
"Ada tamu rupanya ...."
Aku mengangkat daguku, tersenyum samar. "Selamat malam."
Bu Rosie. Ibu kandung Mandala bagai melihat setan. Matanya tidak berkedip. Aku memilih tidak peduli, berjalan ke kamar untuk membangunkan Amanda.
Aku menepuk pipi Amanda, dia menggeliat kemudian matanya yang merah memicing melihatku.
"Ayo, kita pulang," ajakku, menarik selimut. "Lekas bangun."
"Aku mau pulang jika barang-barang yang Om Dala berikan, juga ikut pulang," bantah Amanda.
"Amanda, Mamamu sudah mengizinkan perihal itu. Sekarang aku akan mengantar kalian pulang," kata Mandala.
Aku memprotes, "Kapan aku mengizinkan?"
"Bisakah kita tidak bertengkar untuk saat ini?" Sorot mata Mandala memberi isyarat untuk tenang. Aku tahu maksudnya, karena ada yang sedang mengawasi kami.
"Baiklah. Ayo, kita pulang, Manda."
Ketika melewati ruang keluarga, Bu Rosie tengah duduk. Wajahnya merah, seperti ada amarah yang coba dia tahan.
"Mama tunggu penjelasanmu, Mandala. Untung saja Soraya mampir dulu ke rumah orang tuanya. Dia pasti akan marah, melihat dua wanita asing di rumah ini," ucap Bu Rosie dengan suara yang nyaris meledak.
"Aku pergi dulu, Ma," pamit Mandala.
Sepanjang perjalanan pulang aku tidak bicara, pun dengan Mandala yang fokus menyetir. Hanya Amanda yang kadang menyeletuk bahagia. Benar-benar suasana yang kaku.
Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki kompleks perumahan. Mandala masih ingat di mana aku tinggal.
"Terima kasih, Om Dala," ucap Amanda riang sebelum turun dari mobil. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumah.
"Selamat malam, Hasna," kata Mandala.
Aku yang masih berdiri di sisi mobil, hanya mengulas senyum. Mobil hitam itu melaju perlahan, hilang di tikungan.
Aku mengembuskan napas satu-satu. Seharusnya tidak ada sua kembali. Lebih baik senyap seperti semula.
"Hasna!"Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga."Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi."Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup WhatsApp arisan. Si Rusti yang menyebarkan."Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala.""Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah."Iya, Mbak."Kuceritakan pada
Pagi hari pertama tanpa Amanda. Memang ada yang hilang dalam setiap helaan nafasku. Mata ini memandangi segelas susu di meja. Sadar Amanda tidak berada di rumah ini, tetapi aku tetap membuat susu untuknya.Aku meraih tas, melangkah ke luar rumah dengan gontai. Aku sudah menyalakan mesin motor, saat Retno datang menghampiri. Dia tetangga belakang rumah."Mbak Hasna, itu Bu Rusti lagi nyebar gosip di warung Mak Rum. Katanya semalam Amanda dibawa germo. Dan Mbak Hasna menerima uang jutaan karena menjual Amanda." Retno memberitahu."Pagi-pagi sudah buat masalah," sahutku, geram. "Perlu dibungkam tuh mulut peyot."Aku mengarahkan motor ke warung Mak Rum, aku masih punya waktu untuk mencakar pipi Bu Rusti.Benar si lebah gosip tengah dikerumuni lebah lain. Saling berdengung di hari yang masih pagi."Apa yang kalian bicarakan?" Aku menggulung lengan kemejaku. "Amanda dibawa germo? Amanda simpanan om-om kaya raya?!""Katanya Bu Rusti be
"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon."Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor."Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda.""Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala."Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi