Cukup lama aku mematung di sisi tempat tidurku.
Setelah puluhan tahun senyap, tanpa sua, tanpa sapa apalagi aksara. Lelaki yang telah memahat cinta sekaligus lara, satu jam yang lalu tepat berdiri di depanku. Garis-garis wajahnya masih sama. Aku tidak menyangka, Om Dala yang dikenal Amanda adalah dia.
Aku menghela napas lemah. Menarik diri di balik selimut. Tadi aku mampu meredam gejolak, nyatanya sekarang aku kelimpungan dengan rasa yang tidak bisa kuterjemahkan. Sehingga aku sulit merapatkan kedua mata.
"Mandala ...." gumamku lirih. Nama yang punah dari mulutku untuk sekian lama.
Aku menutup wajah dengan bantal, menghalau suara denting hujan di atap juga menghalau rasa yang tidak tenteram. Mencoba menenggelamkan diri dalam lelap.
Alarm yang berasal dari ponsel, berderit di telinga. Ah, kenapa cepat sekali hari menjelma pagi? Sepertinya baru satu detik aku tertidur pulas.
Dengan kepala yang pening dan tubuh penat aku keluar kamar. Langkahku menuju kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air kemudian bergegas menyiapkan sarapan.
Amanda menarik satu kursi, duduk diam dengan muka masam. Aku menyorongkan segelas susu hangat dan sepiring nasi goreng. Juga ponsel milik Amanda.
"Mama akan mengantarmu ke sekolah," ujarku, duduk di seberang Amanda.
Amanda tidak mendebat. Aku hanya mengamati putriku yang sedang mengunyah perlahan nasi goreng.
"Manda, sudah berapa lama kamu kenal Om Dala?"
"Hampir dua bulan," jawab Amanda pelan.
"Kalian kenal di mana?"
Amanda memandangku jengkel. "Dari Prisila, temanku. Waktu itu dia mengajakku menemui Om Haris."
"Apa Prisila keponakan Om Haris?"
"Bukan, dia ...." Amanda menggantungkan kalimatnya.
"Oke, mama paham," sahutku, menghirup aroma teh dari cangkir yang sedang kupegang. Ini masih pagi, aku tidak akan mengkonfrontasi lagi.
"Om Dala selalu bersikap sopan dan baik," kata Amanda.
Aku tidak menyahut. Bangkit dari kursi meja makan, menaruh cangkir yang sudah kosong di wastafel. Memandang sebentar ke luar jendela, pada sisa air hujan yang menempel di dedaunan pohon jambu.
"Pulang sekolah mama jemput, sekalian beli sepatu. Tidak mahal dan berkelas, tetapi bisa digunakan sesuai fungsinya."
"Iya, Ma."
***
"Hasna, kenapa buru-buru pulang?" tanya Mbak Niken.
"Mau menjemput Amanda," jawabku yang sedang memakai helm.
"Ikut makan-makan dulu, mumpung ada yang traktir," bujuk Mbak Niken.
"Maaf, tidak bisa ikut ngumpul, Mbak Niken." Aku menolak, sudah pukul tiga sore. Amanda pasti sudah menunggu.
Aku menyalakan mesin motor, nampak langit menghitam, pertanda hujan akan mendera bumi tempatku berpijak. Jarak tempuh menuju sekolah Amanda sekitar 15 menit. Murid-murid sekolah mulai terlihat keluar dari sekolah. Ada yang masih menggerombol di bawah pohon, ada yang sudah dijemput, dan ada yang berjalan ramai-ramai dengan tawa ceria khas anak remaja.
Amanda belum terlihat, mungkin masih ada keperluan. Sepuluh menit berlalu, dan sudah mulai sepi. Sementara rintik gerimis mulai turun. Kuputuskan turun dari motor, melangkah ke dalam sekolah.
"Eh, Dewi!" panggilku.
Dewi yang sedang duduk-duduk di bangku depan ruang UKS langsung berdiri dan berjalan menghampiri.
"Tante Hasna, ada perlu apa ke sekolah?"
"Mau jemput Amanda."
"Sudah pulang dari jam istirahat siang, katanya Tante sakit, makanya Manda minta izin pulang," kata Dewi.
Amanda telah berbohong.
"Terima kasih, Dewi," ucapku.
Jadi ke mana Amanda? Kucoba menghubungi ponselnya, tidak aktif. Hatiku semakin kebat-kebit.
Aku memutuskan pulang ke rumah, mungkin Amanda sudah pulang. Namun, sesampainya di rumah, aku mendapati rumah dalam kondisi gelap dan sunyi.
"Amanda ...." Kunyalakan lampu kamar tidur Amanda. Ranjangnya masih rapi.
Ya, Tuhan, ke mana gerangan anak itu? Kembali aku menghubungi ponselnya. Tidak tersambung.
[Amanda, kamu di mana?] Hanya centang satu.
Aku mondar-mandir gelisah di ruang tamu. Suara petir menggelegar. Hujan pun semakin meraung keras. Menambah suasana hati semakin tak karuan.
Ponselku berdering, tidak ada nama, hanya deretan nomor yang terpampang di layar ponsel.
"Ya, halo?"
"Hasna ...."
Walaupun bertahun mengendap bersama kenangan yang sudah terkubur, tetapi telingaku masih mengenali suara di seberang.
"Ini aku, Mandala."
'Iya, aku tahu,' batinku menyahut.
"Aku hanya ingin memberitahu, saat ini Amanda berada di rumahku."
"Tolong, antar Amanda pulang," pintaku.
"Dia menolak kuantar pulang," sahut Mandala.
"Share lokasi alamat rumahmu."
"Rumahku masih di alamat yang sama."
Aku tidak segera menjawab, ada gamang sekaligus ragu. Bagaimana mungkin aku menapaki rumah itu kembali?
"Ibuku masih di luar negeri," lanjut Mandala seolah bisa membaca pikiranku.
Aku mengesah. "Baiklah, aku akan menjemput Amanda."
"Hasna ...." lirih suara Mandala.
"Iya, ada apa?"
"Hati-hati. Cuaca sedang buruk."
Bukan hanya cuaca yang buruk, kondisi pikiranku juga buruk. Aku putuskan naik taksi. Kasihan Amanda jika kehujanan.
***
Jariku menekan bel. Rumah ini tidak banyak berubah. Ada seutas kenangan yang pernah terjadi. Kenangan pahit.
Kudapati seraut wajah mengulas senyum lebar ketika pintu terbuka. Pada akhirnya aku harus semuka dengan Mandala.
"Silakan masuk, Hasna."
"Di mana Amanda?" tanyaku, berjalan mengekor di belakang Mandala.
"Amanda sedang tidur," jawab Mandala.
"Aku akan membangunkan dia," ujarku.
"Tolong, jangan bangunkan Amanda. Dia baru saja tertidur. Bisakah kau menunggu lima belas menit lagi?"
Aku berhenti tepat di mulut pintu kamar, tampak Amanda meringkuk di balik selimut. Akan kubiarkan dia menikmati mimpinya sebentar saja. Aku berbalik, duduk di sofa.
"Aku buatkan secangkir cokelat panas." Mandala mengulurkan cangkir.
"Terima kasih."
Aku dan Mandala terdiam. Wajahku tertunduk, menekuri cangkir yang kupegang. Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengan Mandala.
"Amanda mirip sekali denganmu." Mandala mencoba memecah kebekuan di antara kami.
"Ya, begitulah," sahutku, malas. "Apa kau tertarik dengan Amanda?"
Mandala tergelak. "Sebagai wanita?"
"Iya."
"Kali pertama bertemu dengannya, dia langsung mengingatkan aku padamu. Aku menganggapnya sebagai seorang anak. Tidak lebih dari itu."
"Tapi, temanmu berhubungan dengan gadis remaja," selorohku.
Mandala menarik napas lalu berkata, "Mengenai hal itu aku tidak bisa ikut campur urusan mereka."
Kembali hening. Tatapan Mandala membuatku jengah. Aku melirik jam di ponsel, lima menit lagi.
"Hasna, apa Amanda anakku?"
Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Mandala. "Bukan," jawabku cepat. "Pernikahan kita hanya berumur dua hari, apa bisa menghasilkan seorang anak?"
"Jadi kau menikah lagi?"
"Iya."
"Tapi, Amanda bercerita padaku, dia tidak pernah bertemu dengan papanya."
"Itu bukan urusanmu." Aku meletakkan cangkir di meja. "Aku harus membangunkan Amanda."
"Hai, Mandala, kejutan!"
Refleks aku menoleh ke sumber suara, perempuan paruh baya yang masih cantik di usianya, berjalan mendekat ke arah kami. Seketika pengap. Seketika ruang keluarga ini tidak ada udara.
Mandala menatapku khawatir.
"Ada tamu rupanya ...."
Aku mengangkat daguku, tersenyum samar. "Selamat malam."
Bu Rosie. Ibu kandung Mandala bagai melihat setan. Matanya tidak berkedip. Aku memilih tidak peduli, berjalan ke kamar untuk membangunkan Amanda.
Aku menepuk pipi Amanda, dia menggeliat kemudian matanya yang merah memicing melihatku.
"Ayo, kita pulang," ajakku, menarik selimut. "Lekas bangun."
"Aku mau pulang jika barang-barang yang Om Dala berikan, juga ikut pulang," bantah Amanda.
"Amanda, Mamamu sudah mengizinkan perihal itu. Sekarang aku akan mengantar kalian pulang," kata Mandala.
Aku memprotes, "Kapan aku mengizinkan?"
"Bisakah kita tidak bertengkar untuk saat ini?" Sorot mata Mandala memberi isyarat untuk tenang. Aku tahu maksudnya, karena ada yang sedang mengawasi kami.
"Baiklah. Ayo, kita pulang, Manda."
Ketika melewati ruang keluarga, Bu Rosie tengah duduk. Wajahnya merah, seperti ada amarah yang coba dia tahan.
"Mama tunggu penjelasanmu, Mandala. Untung saja Soraya mampir dulu ke rumah orang tuanya. Dia pasti akan marah, melihat dua wanita asing di rumah ini," ucap Bu Rosie dengan suara yang nyaris meledak.
"Aku pergi dulu, Ma," pamit Mandala.
Sepanjang perjalanan pulang aku tidak bicara, pun dengan Mandala yang fokus menyetir. Hanya Amanda yang kadang menyeletuk bahagia. Benar-benar suasana yang kaku.
Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki kompleks perumahan. Mandala masih ingat di mana aku tinggal.
"Terima kasih, Om Dala," ucap Amanda riang sebelum turun dari mobil. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumah.
"Selamat malam, Hasna," kata Mandala.
Aku yang masih berdiri di sisi mobil, hanya mengulas senyum. Mobil hitam itu melaju perlahan, hilang di tikungan.
Aku mengembuskan napas satu-satu. Seharusnya tidak ada sua kembali. Lebih baik senyap seperti semula.
"Hasna!"Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga."Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi."Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup WhatsApp arisan. Si Rusti yang menyebarkan."Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala.""Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah."Iya, Mbak."Kuceritakan pada
Pagi hari pertama tanpa Amanda. Memang ada yang hilang dalam setiap helaan nafasku. Mata ini memandangi segelas susu di meja. Sadar Amanda tidak berada di rumah ini, tetapi aku tetap membuat susu untuknya.Aku meraih tas, melangkah ke luar rumah dengan gontai. Aku sudah menyalakan mesin motor, saat Retno datang menghampiri. Dia tetangga belakang rumah."Mbak Hasna, itu Bu Rusti lagi nyebar gosip di warung Mak Rum. Katanya semalam Amanda dibawa germo. Dan Mbak Hasna menerima uang jutaan karena menjual Amanda." Retno memberitahu."Pagi-pagi sudah buat masalah," sahutku, geram. "Perlu dibungkam tuh mulut peyot."Aku mengarahkan motor ke warung Mak Rum, aku masih punya waktu untuk mencakar pipi Bu Rusti.Benar si lebah gosip tengah dikerumuni lebah lain. Saling berdengung di hari yang masih pagi."Apa yang kalian bicarakan?" Aku menggulung lengan kemejaku. "Amanda dibawa germo? Amanda simpanan om-om kaya raya?!""Katanya Bu Rusti be
"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon."Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor."Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda.""Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala."Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."Amanda tampak terperanjat."Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi.""Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn."Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn."Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn."Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap."Mama, pikir ....""Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara."Aku buat mie goreng.""Ayo, masuk."Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?""Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas."Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?""Baiklah, Nyonya."Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah."Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?""Sedikit," sahutku."Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.Aksara memang memberikan kejutan
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn