"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah."
"Cukup!" teriakku, geram.
Amanda tampak kaget, pucat.
"Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara.
"Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."
Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab.
"Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu."
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.
Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi
Aku memberikan catatan tambahan pada Lenni, ada beberapa barang yang dibeli Edlyn. Lenni memakai kacamata, fokus pada printilan angka. Lalu dia mulai sibuk dengan kalkulator."Ada dua es krim. Siapa yang makan?" Mata Lenni menatapku tajam, kacamatanya melorot sampai hidung."Aku," sahut Edlyn, yang juga sibuk dengan adonan tepung. "Satu aku berikan pada Bu Hasna, kalau makan dua es krim takut pipiku melar.Aku merogoh ke dalam kantong celana kulot panjang yang kupakai, mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu ke Lenni. "Ini aku ganti uangnya.""Eh, tidak perlu Bu Hasna," sergah Edlyn. "Papa tidak bakalan marah kok.""Ini adalah bentuk kejujuran kami, Non Edlyn," ujar Lenni."Lyn, minyaknya sudah panas ...." Aku mengingatkan.Buru-buru Edlyn mematikan kompor, dia nyengir lalu berkata, "Corndog-nya belum siap digoreng."Aku sibuk menaruh dan merapikan makanan kering di lemari kabinet dapur bagian atas. Makanan yang lama yang ters
Edlyn berteriak keras, sepertinya dia ingin mengeluarkan penat jiwa yang sudah lama terendap. Lirih isakannya berubah raungan yang mencabik telinga. Dia memelukku kuat.Setiap orang yang melintas, melihat kami dengan kerut yang dalam seolah berkata, mereka berdua gila. Duduk di pelataran parkiran mobil, berpelukan dan yang satunya histeris.Gila. Mungkin kadar gila sudah tinggi, sehingga menangis dan berteriak adalah pilihan terbaik. Setelah reda gejolak hati, Edlyn mulai tenang.Kedua tanganku menangkup pipi Edlyn yang basah. "Lyn, kita pulang. Apa kamu kuat berdiri? Kalau tidak kuat, aku bisa menggendongmu."Edlyn tertawa kecil. "Apa Bu Hasna kuat?""Jujur, aku tidak kuat menggendongmu. Ayo." Aku membimbing Edlyn berdiri, kami berdua masuk ke dalam mobil."Sudah dulu, aku harus kerja lagi ...." Roni buru-buru mematikan sambungan telepon.Siapa y
Sore. Sudah selesai semua pekerjaan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi foto Amanda. Sedang apa dia sekarang? Bagaimana kabarnya hari ini? Sepulang sekolah dia selalu bercerita tentang teman-temannya, guru yang galak atau kakak kelas yang ganteng. Aku rindu masa itu. Netraku melihat balsem milik Roni yang belum aku kembalikan. Aku meraih balsem, melangkahkan kedua kaki menuju kamar Roni. "Kita bertemu di hotel Anggrek? Kamar 32? Kita bisa membicarakan ini di rumah ... ya, aku tahu tidak aman, karena di rumah banyak mata. Oke, oke aku segera menemuimu." Aku yang berdiri di depan pintu kamar Roni, berlari cepat--bersembunyi di dekat jam besar. Roni pasti menemui Garneta. Aku akan ke hotel Anggrek, untuk mendapatkan bukti. 'Tunggu Hasna, kenapa kau peduli dengan masalah mereka?' bisik hatiku. Aku tidak peduli, aku hanya tidak bisa me
Aku mengambil botol sambal dari dalam kulkas."Kenapa bawa sambal, Hasna? Itu sambal baru kubuat tadi pagi, buat persediaan.""Buat mengoles bibir mereka. Besok aku buatkan lagi," sahutku, setengah berlari menuju pintu keluar."Hasna, tunggu!" Lenni berlari menyusulku, napasnya terengah-engah--kedua tangannya bertumpu di lutut."Mau ikut?""Hiss, siapa yang mau ikut," jawab Lenni. "Jangan melakukan hal bodoh, bagaimana kalau kamu dituntut karena melakukan tindakan tidak menyenangkan? Mereka orang berduit.""Aku tidak takut," tandasku."Hasna, tunggu di situ ...." Lenni masuk ke dalam rumah, selang beberapa saat dia kembali. "Ini kunci motor dan jaketnya."Aku menepuk jidat sendiri. Lenni hafal di mana aku menaruh kunci--pada gantungan baju belakang pintu."Oh, ya, Hasna ... sambal itu sangat pedas level seratus, Pak Aksara suka sekali sambal super pedas. Gunakan sedikit saja.""Aku tidak janji." Aku tertawa