Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.
Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.
Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela.
"Sudah bangun?"
Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Aku tidak mau diantar Mama ke sekolah." Aku yang sudah memakai jaket dan meraih kunci motor dari atas kulkas, memandangi Amanda dengan heran. "Kenapa tidak mau?" "Aku malu naik motor butut," sahut Amanda. "Dewi akan menjemputku." "Tapi, Dewi belum punya SIM. Bahaya," sergahku. "Bodo amat." Amanda bergegas ke luar rumah tanpa berpamitan. Perlahan aku menghela napas, duduk lunglai di kursi meja makan. Amanda--putriku--tiga bulan lagi usianya genap 15 tahun. Tiap ukir wajahnya sangat mirip denganku. Akhir-akhir ini sikap Amanda berubah, dia menjadi lebih penuntut. Dia Juga malu dengan kondisi kehidupan kami yang pas-pasan. Ah, pagi ini aku ingat--harus membayar hutang di warung Mak Rum. Sekalian belanja, aku akan memasak semur ayam kesukaan Amanda. Setelah mengunci pintu, kulangkahkan kedua kaki menuju warung Mak Rum. Sinar mentari pagi cu
Hari sudah bergulir sore. Sisi gelap mulai merangkak perlahan. Aku menyurukkan wajah di atas meja, dada ini serasa dipukul godam berkali-kali. Ini semua salahku, terlalu sibuk bekerja. Tidak memperhatikan Amanda dengan baik.Bekerja di toko roti menuntutku bekerja dua shift. Amanda sering menghabiskan waktu sendiri di rumah. Pontang-panting aku mencukupi kebutuhan hidup kami berdua.Aku mendengar suara Amanda yang berbalasan dengan suara Dewi. Kemudian suara kenop pintu terbuka, dan langkah kaki yang mulai mendekat."Mama, kenapa tidur di meja makan?"Aku mendongak. "Dari mana saja sampai pulang sore?""Oh, nonton pertandingan basket antar sekolah," jawab Amanda sembari melangkah masuk ke dalam kamarnya.Aku beranjak dari kursi, berjalan pelan ke kamar tidur Amanda. Kudapati dia berdiri termangu, menatap nanar barang-barang mahalnya yang berserak di lantai."Jawab dengan jujur, kamu memperoleh barang-barang itu dari mana?""A-k
Cukup lama aku mematung di sisi tempat tidurku.Setelah puluhan tahun senyap, tanpa sua, tanpa sapa apalagi aksara. Lelaki yang telah memahat cinta sekaligus lara, satu jam yang lalu tepat berdiri di depanku. Garis-garis wajahnya masih sama. Aku tidak menyangka, Om Dala yang dikenal Amanda adalah dia.Aku menghela napas lemah. Menarik diri di balik selimut. Tadi aku mampu meredam gejolak, nyatanya sekarang aku kelimpungan dengan rasa yang tidak bisa kuterjemahkan. Sehingga aku sulit merapatkan kedua mata."Mandala ...." gumamku lirih. Nama yang punah dari mulutku untuk sekian lama.Aku menutup wajah dengan bantal, menghalau suara denting hujan di atap juga menghalau rasa yang tidak tenteram. Mencoba menenggelamkan diri dalam lelap.Alarm yang berasal dari ponsel, berderit di telinga. Ah, kenapa cepat sekali hari menjelma pagi? Sepertinya baru satu detik aku tertidur pulas.
"Hasna!"Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga."Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi."Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup WhatsApp arisan. Si Rusti yang menyebarkan."Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala.""Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah."Iya, Mbak."Kuceritakan pada