Share

Bab 2 Pertemuan Kembali

Hari sudah bergulir sore. Sisi gelap mulai merangkak perlahan. Aku menyurukkan wajah di atas meja, dada ini serasa dipukul godam berkali-kali. Ini semua salahku, terlalu sibuk bekerja. Tidak memperhatikan Amanda dengan baik.

Bekerja di toko roti menuntutku bekerja dua shift. Amanda sering menghabiskan waktu sendiri di rumah. Pontang-panting aku mencukupi kebutuhan hidup kami berdua.

Aku mendengar suara Amanda yang berbalasan dengan suara Dewi. Kemudian suara kenop pintu terbuka, dan langkah kaki yang mulai mendekat.

"Mama, kenapa tidur di meja makan?"

Aku mendongak. "Dari mana saja sampai pulang sore?"

"Oh, nonton pertandingan basket antar sekolah," jawab Amanda sembari melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Aku beranjak dari kursi, berjalan pelan ke kamar tidur Amanda. Kudapati dia berdiri termangu, menatap nanar barang-barang mahalnya yang berserak di lantai.

"Jawab dengan jujur, kamu memperoleh barang-barang itu dari mana?"

"A-ku ... Ma-ma ...." Jelas sekali Amanda kelu dan bingung harus menjawab apa.

"Jawab, Manda!" hardikku marah.

Amanda masih bergeming.

"Jawab!"

"Dari Om Dala." Suara Amanda sedikit bergetar.

"Siapa Om Dala?"

"Dia temanku."

Aku berjongkok, mengambil semua barang-barang mahal yang tercecer. "Mama akan mengembalikan semua barang ini."

"Jangan, Ma!" protes Amanda. "Itu milikku."

"Dengan cara apa kamu mendapatkan barang-barang ini? Dengan cara ...." Aku menjeda sebentar, menghela napas panjang. "Dengan cara menjual diri?"

"Aku tidak menjual diri, Ma. Aku hanya menemani Om Dala jalan-jalan," sanggah Amanda berani.

"Yang kamu lakukan itu salah, Manda! Sekarang hanya jalan-jalan, besok dia bisa minta lebih. Tidak ada yang gratis di dunia ini, Manda!" jeritku yang tidak bisa mengontrol emosi. "Untuk mendapatkan barang-barang seperti ini kamu harus belajar tekun. Bekerja!"

"Aku tidak peduli, Ma. Aku bosan dengan kondisi kita. Aku bosan dengan baju lusuh dan sepatu yang solnya sudah tipis. Aku bosan dengan ponsel bekas," sahut Amanda.

Tenang, Hasna ... tenang. Aku mencoba menetralisir amarah yang mengalir deras.

"Mama akan berusaha membelikan apa yang kamu mau, tetapi kamu harus bersabar," ucapku.

"Dengan gaji Mama yang hanya pelayan toko roti ... sampai kiamat pun tidak akan terbeli!"

"Namun, berkah dan halal ...." Sekuat tenaga aku bersabar dengan sikap Amanda. 

"Kenapa Mama tidak menikah lagi? Mama masih cantik, bisa menggaet lelaki kaya raya ...." 

Plak!

Satu tamparan kudaratkan di pipi Amanda.

"Mama bukan perempuan pemburu lelaki kaya, dengan kedua tangan ini, Mama bisa berjuang mengais rezeki."

Amanda mengusap pipinya, mata bening itu mulai berkabut.

"Maafkan Mama, Manda ...." Aku meraih tas ransel Amanda, mengambil ponsel miliknya. "Mama harus mengembalikan semua barang-barang ini. Sementara ponselmu mama pegang."

"Aku benci Mama! Aku menyesal telah dilahirkan!" caci Amanda, dia membanting pintu setelah aku melangkah keluar kamar.

Aku sendiri luruh dalam tangis. 

***

Aku mengirim pesan pada lelaki yang bernama Om Dala, berpura-pura sebagai Amanda--bahwa aku ingin menemuinya. Dia memutuskan bertemu di sebuah restoran mewah.

Sebelum pergi, aku mengecek Amanda, dia tengah tertidur pulas. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. 

Aku menatap bayangan diri di kaca jendela taksi yang meluncur di jalanan basah. Cuaca sangat tidak menentu, biru sempurna bisa berubah hitam pekat dalam hitungan jam. 

Tepat pukul 20.15 aku sampai di restoran. Pelayan restoran menyoroti penampilanku. Kaus sweater dengan padanan kulot jeans dan sepatu slip on yang agak basah--menampakkan sekali berasal darimana kelasku di dunia ini. Namun, saat aku menyebut nama Dala, si pelayan berubah sedikit ramah. Hanya sedikit.

Aku kemudian diantar ke meja yang sudah di reservasi. Tepat di pinggir jendela, hingga aku bisa melihat pemandangan kota pada malam hari.

"Selamat malam."

Kualihkan pandangan dari jendela. Lelaki berbadan tegap berdiri menjulang di hadapanku.

"Ya ...."

"Mungkin Anda salah meja," ucapnya santun.

"Tidak." Aku mengamati lelaki yang kira-kira usianya hampir kepala empat. "Apa Anda yang bernama Dala?" 

"Iya," sahutnya singkat.

"Saya orang tua Amanda." Aku menaruh semua barang pemberian Dala di meja. "Saya hanya ingin mengembalikan ini semua. Dan mulai sekarang tolong jauhi putri saya. Carilah perempuan yang sepantaran dengan Anda," lanjutku sembari berdiri.

Dala hanya menatapku.

"Selamat malam." Aku bangkit dari kursi, segera beranjak dari hadapan Dala.

"Hasna ... apa kau tidak ingat denganku?"

Aku tidak menoleh, tetap melangkah ke luar restoran. Hujan deras masih mengguyur dengan konsisten. Aku berlari menuju taksi yang tengah menurunkan penumpang. Langsung merangsek masuk. Aku menyebutkan alamat tujuan pada sopir.

"Hasna!" tangan Dala mengetuk jendela taksi.

"Jalan, Pak. Abaikan saja," ucapku.

Mobil melaju meninggalkan pelataran restoran, aku menoleh sebentar lalu mengatur napas supaya beritme normal.

Abimanyu Mandala. Tentu aku mengingatmu. Aku ingat setiap tetes luka yang pernah kau toreh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status