Hari sudah bergulir sore. Sisi gelap mulai merangkak perlahan. Aku menyurukkan wajah di atas meja, dada ini serasa dipukul godam berkali-kali. Ini semua salahku, terlalu sibuk bekerja. Tidak memperhatikan Amanda dengan baik.
Bekerja di toko roti menuntutku bekerja dua shift. Amanda sering menghabiskan waktu sendiri di rumah. Pontang-panting aku mencukupi kebutuhan hidup kami berdua.
Aku mendengar suara Amanda yang berbalasan dengan suara Dewi. Kemudian suara kenop pintu terbuka, dan langkah kaki yang mulai mendekat.
"Mama, kenapa tidur di meja makan?"
Aku mendongak. "Dari mana saja sampai pulang sore?"
"Oh, nonton pertandingan basket antar sekolah," jawab Amanda sembari melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Aku beranjak dari kursi, berjalan pelan ke kamar tidur Amanda. Kudapati dia berdiri termangu, menatap nanar barang-barang mahalnya yang berserak di lantai.
"Jawab dengan jujur, kamu memperoleh barang-barang itu dari mana?"
"A-ku ... Ma-ma ...." Jelas sekali Amanda kelu dan bingung harus menjawab apa.
"Jawab, Manda!" hardikku marah.
Amanda masih bergeming.
"Jawab!"
"Dari Om Dala." Suara Amanda sedikit bergetar.
"Siapa Om Dala?"
"Dia temanku."
Aku berjongkok, mengambil semua barang-barang mahal yang tercecer. "Mama akan mengembalikan semua barang ini."
"Jangan, Ma!" protes Amanda. "Itu milikku."
"Dengan cara apa kamu mendapatkan barang-barang ini? Dengan cara ...." Aku menjeda sebentar, menghela napas panjang. "Dengan cara menjual diri?"
"Aku tidak menjual diri, Ma. Aku hanya menemani Om Dala jalan-jalan," sanggah Amanda berani.
"Yang kamu lakukan itu salah, Manda! Sekarang hanya jalan-jalan, besok dia bisa minta lebih. Tidak ada yang gratis di dunia ini, Manda!" jeritku yang tidak bisa mengontrol emosi. "Untuk mendapatkan barang-barang seperti ini kamu harus belajar tekun. Bekerja!"
"Aku tidak peduli, Ma. Aku bosan dengan kondisi kita. Aku bosan dengan baju lusuh dan sepatu yang solnya sudah tipis. Aku bosan dengan ponsel bekas," sahut Amanda.
Tenang, Hasna ... tenang. Aku mencoba menetralisir amarah yang mengalir deras.
"Mama akan berusaha membelikan apa yang kamu mau, tetapi kamu harus bersabar," ucapku.
"Dengan gaji Mama yang hanya pelayan toko roti ... sampai kiamat pun tidak akan terbeli!"
"Namun, berkah dan halal ...." Sekuat tenaga aku bersabar dengan sikap Amanda.
"Kenapa Mama tidak menikah lagi? Mama masih cantik, bisa menggaet lelaki kaya raya ...."
Plak!
Satu tamparan kudaratkan di pipi Amanda.
"Mama bukan perempuan pemburu lelaki kaya, dengan kedua tangan ini, Mama bisa berjuang mengais rezeki."
Amanda mengusap pipinya, mata bening itu mulai berkabut.
"Maafkan Mama, Manda ...." Aku meraih tas ransel Amanda, mengambil ponsel miliknya. "Mama harus mengembalikan semua barang-barang ini. Sementara ponselmu mama pegang."
"Aku benci Mama! Aku menyesal telah dilahirkan!" caci Amanda, dia membanting pintu setelah aku melangkah keluar kamar.
Aku sendiri luruh dalam tangis.
***
Aku mengirim pesan pada lelaki yang bernama Om Dala, berpura-pura sebagai Amanda--bahwa aku ingin menemuinya. Dia memutuskan bertemu di sebuah restoran mewah.
Sebelum pergi, aku mengecek Amanda, dia tengah tertidur pulas. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya.
Aku menatap bayangan diri di kaca jendela taksi yang meluncur di jalanan basah. Cuaca sangat tidak menentu, biru sempurna bisa berubah hitam pekat dalam hitungan jam.
Tepat pukul 20.15 aku sampai di restoran. Pelayan restoran menyoroti penampilanku. Kaus sweater dengan padanan kulot jeans dan sepatu slip on yang agak basah--menampakkan sekali berasal darimana kelasku di dunia ini. Namun, saat aku menyebut nama Dala, si pelayan berubah sedikit ramah. Hanya sedikit.
Aku kemudian diantar ke meja yang sudah di reservasi. Tepat di pinggir jendela, hingga aku bisa melihat pemandangan kota pada malam hari.
"Selamat malam."
Kualihkan pandangan dari jendela. Lelaki berbadan tegap berdiri menjulang di hadapanku.
"Ya ...."
"Mungkin Anda salah meja," ucapnya santun.
"Tidak." Aku mengamati lelaki yang kira-kira usianya hampir kepala empat. "Apa Anda yang bernama Dala?"
"Iya," sahutnya singkat.
"Saya orang tua Amanda." Aku menaruh semua barang pemberian Dala di meja. "Saya hanya ingin mengembalikan ini semua. Dan mulai sekarang tolong jauhi putri saya. Carilah perempuan yang sepantaran dengan Anda," lanjutku sembari berdiri.
Dala hanya menatapku.
"Selamat malam." Aku bangkit dari kursi, segera beranjak dari hadapan Dala.
"Hasna ... apa kau tidak ingat denganku?"
Aku tidak menoleh, tetap melangkah ke luar restoran. Hujan deras masih mengguyur dengan konsisten. Aku berlari menuju taksi yang tengah menurunkan penumpang. Langsung merangsek masuk. Aku menyebutkan alamat tujuan pada sopir.
"Hasna!" tangan Dala mengetuk jendela taksi.
"Jalan, Pak. Abaikan saja," ucapku.
Mobil melaju meninggalkan pelataran restoran, aku menoleh sebentar lalu mengatur napas supaya beritme normal.
Abimanyu Mandala. Tentu aku mengingatmu. Aku ingat setiap tetes luka yang pernah kau toreh.
Cukup lama aku mematung di sisi tempat tidurku.Setelah puluhan tahun senyap, tanpa sua, tanpa sapa apalagi aksara. Lelaki yang telah memahat cinta sekaligus lara, satu jam yang lalu tepat berdiri di depanku. Garis-garis wajahnya masih sama. Aku tidak menyangka, Om Dala yang dikenal Amanda adalah dia.Aku menghela napas lemah. Menarik diri di balik selimut. Tadi aku mampu meredam gejolak, nyatanya sekarang aku kelimpungan dengan rasa yang tidak bisa kuterjemahkan. Sehingga aku sulit merapatkan kedua mata."Mandala ...." gumamku lirih. Nama yang punah dari mulutku untuk sekian lama.Aku menutup wajah dengan bantal, menghalau suara denting hujan di atap juga menghalau rasa yang tidak tenteram. Mencoba menenggelamkan diri dalam lelap.Alarm yang berasal dari ponsel, berderit di telinga. Ah, kenapa cepat sekali hari menjelma pagi? Sepertinya baru satu detik aku tertidur pulas.
"Hasna!"Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga."Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi."Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup WhatsApp arisan. Si Rusti yang menyebarkan."Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala.""Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah."Iya, Mbak."Kuceritakan pada
Pagi hari pertama tanpa Amanda. Memang ada yang hilang dalam setiap helaan nafasku. Mata ini memandangi segelas susu di meja. Sadar Amanda tidak berada di rumah ini, tetapi aku tetap membuat susu untuknya.Aku meraih tas, melangkah ke luar rumah dengan gontai. Aku sudah menyalakan mesin motor, saat Retno datang menghampiri. Dia tetangga belakang rumah."Mbak Hasna, itu Bu Rusti lagi nyebar gosip di warung Mak Rum. Katanya semalam Amanda dibawa germo. Dan Mbak Hasna menerima uang jutaan karena menjual Amanda." Retno memberitahu."Pagi-pagi sudah buat masalah," sahutku, geram. "Perlu dibungkam tuh mulut peyot."Aku mengarahkan motor ke warung Mak Rum, aku masih punya waktu untuk mencakar pipi Bu Rusti.Benar si lebah gosip tengah dikerumuni lebah lain. Saling berdengung di hari yang masih pagi."Apa yang kalian bicarakan?" Aku menggulung lengan kemejaku. "Amanda dibawa germo? Amanda simpanan om-om kaya raya?!""Katanya Bu Rusti be
"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon."Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor."Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda.""Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala."Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."Amanda tampak terperanjat."Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi.""Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn."Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn."Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn."Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap."Mama, pikir ....""Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara."Aku buat mie goreng.""Ayo, masuk."Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?""Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas."Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?""Baiklah, Nyonya."Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah."Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?""Sedikit," sahutku."Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.Aksara memang memberikan kejutan
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn