"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.
Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.
Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon.
"Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor.
"Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda."
"Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala.
"Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."
Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya menimbulkan bunyi di lantai. Beberapa karyawan terlihat mulai meninggalkan meja untuk pulang.
"Silakan masuk," ucapnya setelah mengetuk pintu.
Mandala duduk di balik meja kerjanya, dia melepas kacamata--mengulas selarik senyum. Kemudian dia berdiri sambil berkata, "Silakan duduk, Hasna. Apa kamu akan terus berdiri di depan pintu?"
Aku duduk di sofa berwarna hitam, mengamati ruang kerja Mandala yang bernuansa monokrom.
"Aku ingin memberitahu, kalau Amanda pindah--"
"Aku sudah tahu, satu jam yang lalu,"potongku cepat. "Amanda sudah pindah sekolah sejak lima hari yang lalu, kenapa baru sekarang aku diberitahu?!"
"Lima hari yang lalu?" Mandala bertanya heran.
"Iya."
Mandala mengusap wajahnya, tercenung sejenak. "Tapi, baru tadi pagi mamaku memberitahu."
"Apa kamu tidak memperhatikan seragam Manda?" tanyaku jengkel. "Orang tua Manda itu kamu, bukan Mamamu. Aku minta, mulai detik ini, setiap keputusan mengenai Amanda aku harus tahu!"
"Maafkan aku," ucap Mandala.
"Seharusnya kamu tidak pernah kembali, teruslah bersembunyi di luar negeri. Kehadiranmu hanya merusak hubunganku dengan Manda." Aku beranjak dari sofa. "Bilang ke Mamamu jangan meracuni pikiran Amanda," lanjutku, lalu melangkah ke pintu.
"Hasna, maafkan aku ...."
"Tadi kamu sudah minta maaf," sahutku.
"Untuk masa lalu kita."
Tanganku yang sedang memutar handle pintu, berhenti bergerak.
"Aku belum sempat meminta maaf atas kesalahanku dulu, yang telah melukaimu." Ucapan Mandala membuatku terpaku.
"Semua sudah berlalu, hiduplah di masa sekarang," tukasku, membuka pintu.
"Tetapi, aku ingin memutar masa lalu," ungkap Mandala.
Kepalaku menoleh, kutemukan ekspresi wajah Mandala yang muram. Matanya lekat menatapku. "Seandainya waktu bisa berputar kembali, apa yang ingin kamu lakukan?"
"Tetap berada di sisimu apa pun yang terjadi," jawab Mandala.
"Jika waktu bisa diputar, aku tidak ingin bertemu denganmu," ujarku, berbalik dan meneruskan langkah ke luar dari ruang kerja Mandala.
Aku menghela nafas, melepas berat yang menjerat jiwa. Tidak ada masa lalu yang bisa diubah.
***
Mbak Niken masih berada di ruang tengah, dia belum pulang ke rumahnya sendiri. Perempuan yang usianya lebih tua dariku itu sedang ribut dengan suaminya, masalah momongan yang tidak kunjung hadir.
"Masih betah mengeram di rumahku?" tanyaku sembari tidur di atas karpet lusuh dan mengangkat kedua tangan ke atas. Meregangkan otot yang kaku.
"Aku boleh menginap di rumahmu, ya?"
"Kalau bertengkar jangan lari, diselesaikan baik-baik lalu berlanjut di atas ranjang." Aku menggoda Mbak Niken.
"Sialan kamu, Hasna," umpat Mbak Niken, satu bantal melayang, jatuh tepat di mukaku. "Kamu tuh, cari lelaki sana. Menikah. Biar tidak kesepian."
"Kalau jodoh pasti bertemu di pelaminan," selorohku.
"Ah, kamu masih mencintai Mandala. Nyatanya sampai sekarang masih betah sendiri."
"Ngawur."
"Nama Amanda pun singkatan dari Abimanyu Mandala. Cintamu pada Mandala tidak berubah sedikit pun," ujar Mbak Niken.
"Tambah ngawur, sok tahu." Aku mendengus kasar.
"Ngomong-ngomong soal Amanda, bagaimana?"
"Dia sudah pindah sekolah," jawabku, memejamkan mata yang lelah. "Mereka tidak memberitahuku terlebih dahulu."
"Paksa saja Amanda, biar balik ke rumah ini lagi," saran Mbak Niken, ngawur lagi.
"Aku tidak akan memaksa Amanda, Mbak. Biarkan dulu." Aku menarik nafas dalam. "Aku akan terus memantaunya, saat ini hanya doa yang menjadi tumpuanku."
Mbak Niken hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia ikut tiduran di atas karpet, kami sama-sama memandangi plafon yang catnya sudah mengelupas.
"Aku bermasalah karena tidak kunjung punya anak, sedang kau bermasalah dengan anak," kata Mbak Niken. "Ada yang mengetuk pintu, tuh ...."
"Iya, aku dengar. Baru saja ingin istirahat, ada yang mengganggu," keluhku, menyeret langkah kaki dengan malas.
Benar-benar membuatku langsung merasa muak, Bu Rosie sudah berdiri dengan angkuh. Mau apa lagi perempuan itu?
"Ya?"
"Aku mau pinjam akta kelahiran Amanda," ucap Bu Rosie.
"Sebentar, ya." Aku tidak mempersilakan masuk Bu Rosie, karena dulu dia pernah berkata 'najis masuk ke rumahku', jadi kubiarkan dia berdiri di teras. Aku mengambil satu lembar fotocopy akta kelahiran Amanda. Lalu kembali keluar.
Kuulurkan satu lembar fotocopy pada Bu Rosie. Keningnya berlipat-lipat saat membaca akta kelahiran, matanya nyalang tajam.
"Kenapa tidak ada nama Mandala?"
"Bukannya Bu Rosie mengajukan pembatalan pernikahan kami, Bu Rosie juga yang memisahkan kami. Ya, tidak mungkin ada nama Mandala. Karena hanya aku orang tua Amanda," jelasku.
"Harusnya kamu lebih mementingkan Amanda ketimbang egomu!" Suara mantan mertuaku itu memekik.
"Terserah aku." Aku menyilangkan kedua tanganku di dada. "Bu Rosie yang terhormat, tolong jangan meracuni pikiran Amanda dengan menjelekkan diriku. Apa Amanda tahu, drama kolosal yang kau lakukan untuk memisahkan aku dari Papanya?"
"Kau--" Bibir Bu Rosie mengunci sendiri. Dengan bersungut-sungut dia pergi dari rumahku.
Kepalaku tambah berdenyut pening, tidur di balik selimut adalah tempat paling nyaman. Bisa menguapkan rasa sedih yang berkecamuk.
***
"Mak, beli mie instan kuah dua, sawi hijau satu ikat. Berapa, Mak?"
"Delapan ribu," jawab Mak Rum. Dia mengambil mie instan dari rak. "Amanda sekarang tinggal sama Papanya? Sudah lama tidak kelihatan."
"Iya, Mak."
"Kamu pasti kesepian, ya, Hasna?"
"Sudah mulai terbiasa," jawabku seraya menyodorkan uang sepuluh ribu. Setelah menerima kembalian, aku mengembangkan payung. Melangkah perlahan pulang ke rumah.
Angkasa sungguh gelap gulita, kadang kilat berbekas membentuk garis panjang. Malam yang sangat kaku dan dingin.
Aku mengecek pesan di ponsel. Amanda masih mengabaikan pesan-pesan yang kukirim, hanya dibaca atau dibalas seenaknya. Telepon pun tidak pernah diterima. Dia semakin menguji kesabaranku.
Ada mobil yang tidak asing terparkir di pinggir jalan, tepat di depan rumahku. Tampak Amanda dan Mandala sedang duduk di teras.
"Mama, dari mana, sih?"
"Mama beli mie instan dari warung Mak Rum." Aku meletakkan payung, kemudian memasukkan anak kunci pintu.
"Ih, makanan tidak sehat."
Aku tidak menghiraukan komentar Amanda. "Mari masuk."
Amanda langsung masuk, menyenggol bahuku dengan kasar. Terlihat jelas dia tidak suka berada di rumah ini. Pintu kamar di tutup keras oleh Amanda.
"Malam ini Manda akan menginap di rumahmu," ucap Mandala.
"Kamu tidak perlu memaksanya," sahutku.
"Dia harus dipaksa," tandas Mandala. "Eh, aku boleh buat mie instan di rumahmu? Sudah lama sekali aku tidak makan mie instan."
"Boleh," jawabku. Sedetik kemudian aku merasa menyesal, seharusnya aku tidak mengizinkan Mandala. Ya, sudahlah.
"Aku akan ke warung beli mie instan."
"Ehhh, tidak perlu. Aku sudah beli," cegahku.
Sementara aku memasak mie instan, Mandala duduk di kursi meja makan. Aku memasukkan telor, dua cabe rawit utuh dan segenggam sawi hijau ke dalam mie instan. Hmm, aromanya menggelitik perutku.
Aku menaruh mie instan di meja makan. "Makanlah."
"Terima kasih, Hasna." Mandala mengambil garpu.
Kami berdua tidak bicara, menikmati mie instan masing-masing. Sesekali aku memperhatikan Mandala, sepertinya dia memang sudah lama tidak makan mie instan. Atau bisa jadi dia kelaparan. Mandala menghabiskan mie instan sampai tak bersisa sedikit pun.
"Besok aku akan menjemput Amanda," kata Mandala setelah berpamitan. Dia berlari kecil menuju mobilnya.
Aku mengunci pintu, kembali ke dapur, membersihkan meja dan mencuci piring.
"Mama, masih mencintai Papa?"
Amanda mendadak muncul, membuatku terkejut. "Kamu mengagetkan mama."
"Mama, mau merebut Papa dari Mama Soraya?"
"Pertanyaan macam apa itu?" Aku memandangi Amanda.
"Siapa tahu Mama ingin kembali menjalin hubungan dengan Papa," papar Amanda, enteng.
"Tidak mungkin Mama merebut Papa dari Soraya," tegasku, mengelap tangan yang basah.
"Baguslah, karena aku lebih suka Papa tetap berdampingan dengan Mama Soraya. Ah, gerah sekali di dalam kamar ...."
"Nyalakan kipas anginnya," sahutku.
"Rumah ini benar-benar seperti neraka, kumuh dan sempit, aku pasti tidak bisa tidur."
Aku mengumpulkan kesabaran untuk tidak marah, aku berjalan masuk ke kamar Amanda. Mengambil tote bag miliknya.
"Mama akan pesan taksi, pulanglah ke rumah Papamu." Aku menyodorkan tote bag Amanda.
Amanda bergeming.
"Rumah ini memang kumuh, tetapi telah menaungimu selama 15 tahun," ujarku. "Pulanglah, supaya kau bisa tidur nyenyak."
Walaupun sebenarnya, malam ini aku ingin sekali tidur di samping putriku, mengobrol sebelum tidur, bercanda seperti dulu.
Kenyataannya, harapanku menguap jauh.
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi
Aku memberikan catatan tambahan pada Lenni, ada beberapa barang yang dibeli Edlyn. Lenni memakai kacamata, fokus pada printilan angka. Lalu dia mulai sibuk dengan kalkulator."Ada dua es krim. Siapa yang makan?" Mata Lenni menatapku tajam, kacamatanya melorot sampai hidung."Aku," sahut Edlyn, yang juga sibuk dengan adonan tepung. "Satu aku berikan pada Bu Hasna, kalau makan dua es krim takut pipiku melar.Aku merogoh ke dalam kantong celana kulot panjang yang kupakai, mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu ke Lenni. "Ini aku ganti uangnya.""Eh, tidak perlu Bu Hasna," sergah Edlyn. "Papa tidak bakalan marah kok.""Ini adalah bentuk kejujuran kami, Non Edlyn," ujar Lenni."Lyn, minyaknya sudah panas ...." Aku mengingatkan.Buru-buru Edlyn mematikan kompor, dia nyengir lalu berkata, "Corndog-nya belum siap digoreng."Aku sibuk menaruh dan merapikan makanan kering di lemari kabinet dapur bagian atas. Makanan yang lama yang ters
Edlyn berteriak keras, sepertinya dia ingin mengeluarkan penat jiwa yang sudah lama terendap. Lirih isakannya berubah raungan yang mencabik telinga. Dia memelukku kuat.Setiap orang yang melintas, melihat kami dengan kerut yang dalam seolah berkata, mereka berdua gila. Duduk di pelataran parkiran mobil, berpelukan dan yang satunya histeris.Gila. Mungkin kadar gila sudah tinggi, sehingga menangis dan berteriak adalah pilihan terbaik. Setelah reda gejolak hati, Edlyn mulai tenang.Kedua tanganku menangkup pipi Edlyn yang basah. "Lyn, kita pulang. Apa kamu kuat berdiri? Kalau tidak kuat, aku bisa menggendongmu."Edlyn tertawa kecil. "Apa Bu Hasna kuat?""Jujur, aku tidak kuat menggendongmu. Ayo." Aku membimbing Edlyn berdiri, kami berdua masuk ke dalam mobil."Sudah dulu, aku harus kerja lagi ...." Roni buru-buru mematikan sambungan telepon.Siapa y
Sore. Sudah selesai semua pekerjaan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi foto Amanda. Sedang apa dia sekarang? Bagaimana kabarnya hari ini? Sepulang sekolah dia selalu bercerita tentang teman-temannya, guru yang galak atau kakak kelas yang ganteng. Aku rindu masa itu. Netraku melihat balsem milik Roni yang belum aku kembalikan. Aku meraih balsem, melangkahkan kedua kaki menuju kamar Roni. "Kita bertemu di hotel Anggrek? Kamar 32? Kita bisa membicarakan ini di rumah ... ya, aku tahu tidak aman, karena di rumah banyak mata. Oke, oke aku segera menemuimu." Aku yang berdiri di depan pintu kamar Roni, berlari cepat--bersembunyi di dekat jam besar. Roni pasti menemui Garneta. Aku akan ke hotel Anggrek, untuk mendapatkan bukti. 'Tunggu Hasna, kenapa kau peduli dengan masalah mereka?' bisik hatiku. Aku tidak peduli, aku hanya tidak bisa me