Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar.
"Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku.
"Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya.
"Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar.
"Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara."
"Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"
Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa.
"Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta.
"Baik."
Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi
Aku memberikan catatan tambahan pada Lenni, ada beberapa barang yang dibeli Edlyn. Lenni memakai kacamata, fokus pada printilan angka. Lalu dia mulai sibuk dengan kalkulator."Ada dua es krim. Siapa yang makan?" Mata Lenni menatapku tajam, kacamatanya melorot sampai hidung."Aku," sahut Edlyn, yang juga sibuk dengan adonan tepung. "Satu aku berikan pada Bu Hasna, kalau makan dua es krim takut pipiku melar.Aku merogoh ke dalam kantong celana kulot panjang yang kupakai, mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu ke Lenni. "Ini aku ganti uangnya.""Eh, tidak perlu Bu Hasna," sergah Edlyn. "Papa tidak bakalan marah kok.""Ini adalah bentuk kejujuran kami, Non Edlyn," ujar Lenni."Lyn, minyaknya sudah panas ...." Aku mengingatkan.Buru-buru Edlyn mematikan kompor, dia nyengir lalu berkata, "Corndog-nya belum siap digoreng."Aku sibuk menaruh dan merapikan makanan kering di lemari kabinet dapur bagian atas. Makanan yang lama yang ters
Edlyn berteriak keras, sepertinya dia ingin mengeluarkan penat jiwa yang sudah lama terendap. Lirih isakannya berubah raungan yang mencabik telinga. Dia memelukku kuat.Setiap orang yang melintas, melihat kami dengan kerut yang dalam seolah berkata, mereka berdua gila. Duduk di pelataran parkiran mobil, berpelukan dan yang satunya histeris.Gila. Mungkin kadar gila sudah tinggi, sehingga menangis dan berteriak adalah pilihan terbaik. Setelah reda gejolak hati, Edlyn mulai tenang.Kedua tanganku menangkup pipi Edlyn yang basah. "Lyn, kita pulang. Apa kamu kuat berdiri? Kalau tidak kuat, aku bisa menggendongmu."Edlyn tertawa kecil. "Apa Bu Hasna kuat?""Jujur, aku tidak kuat menggendongmu. Ayo." Aku membimbing Edlyn berdiri, kami berdua masuk ke dalam mobil."Sudah dulu, aku harus kerja lagi ...." Roni buru-buru mematikan sambungan telepon.Siapa y
Sore. Sudah selesai semua pekerjaan. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi foto Amanda. Sedang apa dia sekarang? Bagaimana kabarnya hari ini? Sepulang sekolah dia selalu bercerita tentang teman-temannya, guru yang galak atau kakak kelas yang ganteng. Aku rindu masa itu. Netraku melihat balsem milik Roni yang belum aku kembalikan. Aku meraih balsem, melangkahkan kedua kaki menuju kamar Roni. "Kita bertemu di hotel Anggrek? Kamar 32? Kita bisa membicarakan ini di rumah ... ya, aku tahu tidak aman, karena di rumah banyak mata. Oke, oke aku segera menemuimu." Aku yang berdiri di depan pintu kamar Roni, berlari cepat--bersembunyi di dekat jam besar. Roni pasti menemui Garneta. Aku akan ke hotel Anggrek, untuk mendapatkan bukti. 'Tunggu Hasna, kenapa kau peduli dengan masalah mereka?' bisik hatiku. Aku tidak peduli, aku hanya tidak bisa me
Aku mengambil botol sambal dari dalam kulkas."Kenapa bawa sambal, Hasna? Itu sambal baru kubuat tadi pagi, buat persediaan.""Buat mengoles bibir mereka. Besok aku buatkan lagi," sahutku, setengah berlari menuju pintu keluar."Hasna, tunggu!" Lenni berlari menyusulku, napasnya terengah-engah--kedua tangannya bertumpu di lutut."Mau ikut?""Hiss, siapa yang mau ikut," jawab Lenni. "Jangan melakukan hal bodoh, bagaimana kalau kamu dituntut karena melakukan tindakan tidak menyenangkan? Mereka orang berduit.""Aku tidak takut," tandasku."Hasna, tunggu di situ ...." Lenni masuk ke dalam rumah, selang beberapa saat dia kembali. "Ini kunci motor dan jaketnya."Aku menepuk jidat sendiri. Lenni hafal di mana aku menaruh kunci--pada gantungan baju belakang pintu."Oh, ya, Hasna ... sambal itu sangat pedas level seratus, Pak Aksara suka sekali sambal super pedas. Gunakan sedikit saja.""Aku tidak janji." Aku tertawa
Aku sedang mengelap meja ruang keluarga ketika Pak Aksara dan Garneta pulang. Garneta menggamit lengan Pak Aksara, wajah perempuan itu sangat bahagia. Hari ini Pak Aksara pulang lebih cepat dan mengantar Garneta periksa ke dokter kandungan."Kami baru saja pulang dari dokter kandungan. Akan ada bayi di rumah ini," ucap Garneta.Edlyn tidak mengalihkan mata dari buku yang dibacanya. "Aku benci bayi, apalagi bayi di dalam kandunganmu.""Kita akan menjadi keluarga yang bahagia," lanjut Garneta, matanya memandangku penuh kemenangan. Kepalanya bersandar di bahu Pak Aksara."Hasna, tolong panggil semua pegawai. Aku ingin memberitahu kabar bahagia ini," perintah Pak Aksara."Baik, Pak," sahutku. Sebenarnya apa yang direncanakan Pak Aksara? Berita mengenai dirinya telah menikah dengan Garneta sudah menyebar karena ulah Bu Rosie.Aku memanggil semua pekerja di rumah ini, ada Lenni, Pak Wirjo, Roni dan Pak Heri--satpam rumah.
Gegas aku turun dari tempat tidur, tanganku menyambar kunci motor. Berlari keluar kamar."Hasna, mau ke mana?" Pak Aksara mendadak muncul dari dapur saat aku mencapai pintu belakang."Sa ... ya ... harus pergi ke rumah sakit. Putri saya mengalami kecelakaan," sahutku sembari membuka pintu.Dengan tangan gemetar aku berusaha memasukkan kunci motor. Persendianku terasa luluh lantak, aku tidak bisa konsentrasi hingga kunci jatuh di lantai.Aku menarik nafas perlahan, mencoba untuk tenang. Kemudian aku merunduk, mencari kunci motor."Ban motor bagian belakang kempis."Kedua tanganku menekan ban bagian belakang, benar kempis. Aku terduduk, di saat seperti ini motorku tidak bisa diajak kompromi."Masuk mobil," suruh Pak Aksara. "Aku akan mengantarmu.""Saya ... bisa ....""Jangan membantah! kamu ingin cepat sampai ke rumah sakit atau tidak!?"Aku bangkit berd
"Kamu agak kurusan," ujar Lenni. "Wajahmu kuyu, istirahatlah. Biar aku membereskan cucian.""Tidak, Lenni. Pekerjaan ini tanggung jawabku," tolakku."Tapi, sudah malam, istirahatlah ...." bujuk Lenni. "Jangan sampai kamu jatuh sakit.""Bik Yuni tidak kembali ke sini lagi?""Iya, tadi dia sudah memberitahu Pak Aksara lewat telepon. Ini gaji pertamamu, Hasna."Aku menerima amplop cokelat yang diulurkan Lenni."Aku tidur duluan ya ...." Lenni beranjak dari ruang cuci.Kenapa jumlah gaji yang kuterima utuh? Harusnya dipotong, karena aku izin satu minggu karena Amanda kecelakaan. Aku menyusul Lenni ke kamar tidur."Lenni, gajiku kok utuh satu bulan?""Maksudmu?""Aku pernah satu minggu tidak bekerja, harusnya kan dipotong ....""Tanya saja sama Pak bos," sahut Lenni, menarik selimut bersiap ke pulau mimpi."Pak bos sudah pulang?""Ada tuh ... di ruang kerja, baru saja aku