"Kami baru saja pulang dari dokter kandungan. Akan ada bayi di rumah ini," ucap Garneta.
Edlyn tidak mengalihkan mata dari buku yang dibacanya. "Aku benci bayi, apalagi bayi di dalam kandunganmu."
"Kita akan menjadi keluarga yang bahagia," lanjut Garneta, matanya memandangku penuh kemenangan. Kepalanya bersandar di bahu Pak Aksara.
"Hasna, tolong panggil semua pegawai. Aku ingin memberitahu kabar bahagia ini," perintah Pak Aksara.
"Baik, Pak," sahutku. Sebenarnya apa yang direncanakan Pak Aksara? Berita mengenai dirinya telah menikah dengan Garneta sudah menyebar karena ulah Bu Rosie.
Aku memanggil semua pekerja di rumah ini, ada Lenni, Pak Wirjo, Roni dan Pak Heri--satpam rumah.
Gegas aku turun dari tempat tidur, tanganku menyambar kunci motor. Berlari keluar kamar."Hasna, mau ke mana?" Pak Aksara mendadak muncul dari dapur saat aku mencapai pintu belakang."Sa ... ya ... harus pergi ke rumah sakit. Putri saya mengalami kecelakaan," sahutku sembari membuka pintu.Dengan tangan gemetar aku berusaha memasukkan kunci motor. Persendianku terasa luluh lantak, aku tidak bisa konsentrasi hingga kunci jatuh di lantai.Aku menarik nafas perlahan, mencoba untuk tenang. Kemudian aku merunduk, mencari kunci motor."Ban motor bagian belakang kempis."Kedua tanganku menekan ban bagian belakang, benar kempis. Aku terduduk, di saat seperti ini motorku tidak bisa diajak kompromi."Masuk mobil," suruh Pak Aksara. "Aku akan mengantarmu.""Saya ... bisa ....""Jangan membantah! kamu ingin cepat sampai ke rumah sakit atau tidak!?"Aku bangkit berd
"Kamu agak kurusan," ujar Lenni. "Wajahmu kuyu, istirahatlah. Biar aku membereskan cucian.""Tidak, Lenni. Pekerjaan ini tanggung jawabku," tolakku."Tapi, sudah malam, istirahatlah ...." bujuk Lenni. "Jangan sampai kamu jatuh sakit.""Bik Yuni tidak kembali ke sini lagi?""Iya, tadi dia sudah memberitahu Pak Aksara lewat telepon. Ini gaji pertamamu, Hasna."Aku menerima amplop cokelat yang diulurkan Lenni."Aku tidur duluan ya ...." Lenni beranjak dari ruang cuci.Kenapa jumlah gaji yang kuterima utuh? Harusnya dipotong, karena aku izin satu minggu karena Amanda kecelakaan. Aku menyusul Lenni ke kamar tidur."Lenni, gajiku kok utuh satu bulan?""Maksudmu?""Aku pernah satu minggu tidak bekerja, harusnya kan dipotong ....""Tanya saja sama Pak bos," sahut Lenni, menarik selimut bersiap ke pulau mimpi."Pak bos sudah pulang?""Ada tuh ... di ruang kerja, baru saja aku
Aku memegang lengan Edlyn, memberi tanda untuk tenang. Selama aku menjaga Amanda di rumah sakit, dia tidak menolak eksistensiku. Sekarang Amanda berulah lagi. Sesuatu atau seseorang telah membasuh kembali kerapuhannya."Dengar Manda, sekali lagi mama katakan, mama tidak pernah menyumpahimu," tandasku. "Wajahmu rusak, bahumu patah itu bukan salah mama."Amanda melengos."Koreksi dirimu. Masalah kontrak iklan dan sinetron kamu bisa menggapainya kembali.""Tapi, wajahku menyerupai monster!" pekik Amanda."Papamu punya banyak uang! Dia bisa membiayai operasi plastik." Aku menarik nafas dalam. "Keputusan hidupmu ada di tanganmu sendiri, Manda. Kamu mau bangkit atau hanya duduk meratapi nasib dan menyalahkan orang lain."Sudah beberapa kali aku ingin mengabaikan Amanda, tetapi nyatanya aku tidak bisa melihat dia menderita."Mama pulang dulu," pamitku, berjalan k
Lenni menyuruhku membeli daging sapi, dia senang sekali menyuruhku. Aku memilih membeli di supermarket dekat rumah. Sebelum balik, aku menyempatkan membeli jus buah mangga--jus kesukaan Amanda. Kemudian duduk di bangku berderet di luar supermarket."Dunia ini, kota ini sempit sekali, kenapa kita selalu bertemu?"Sang super model yang sudah pensiun duduk di sebelahku."Jika tidak suka bertemu denganku kenapa menghampiri diriku?" Aku menatap tajam Soraya."Ada yang ingin aku sampaikan, Hasna. Aku tidak akan mempertahankan pernikahan dengan Mandala. Untuk apa tetap di samping lelaki yang sudah tidak mencintaiku? Lebih baik aku lepaskan.""Itu tidak penting bagiku," sungutku."Aku telah menemukan seseorang yang lebih kaya dan pastinya memujaku. Ah, hidup tidak perlu di bikin susah," kata Soraya.Aku mengacuhkan Soraya."Kembalilah pada Mandala, Hasna. Aku tidak akan menghalangi kalian.""Aku tidak akan kembali ke
Aku celingukan, mencari mobil yang mengantar Amanda. "Kamu ke sini naik apa?""Taksi.""Mama akan mengantarmu pulang," ujarku."Aku tidak mau pulang ke rumah Papa," tolak Amanda, kepalanya menggeleng lemah."Heh, kenapa?" tanyaku, heran."Aku ingin tinggal dengan Mama lagi." Lirih suara Amanda menjawab. Dia terlihat lelah dan menahan nyeri."Malam ini, kamu sementara tidur di rumah Pak Aksara. Besok kita baru pulang ke rumah."Amanda agak ragu saat memasuki rumah. "Bagaimana kalau Edlyn mengusirku?""Edlyn anak yang baik, dia tidak akan mengusirmu," jelasku.Aku membantu melepaskan sepatu Amanda, menyelimuti tubuhnya. Mata Amanda mengamati kamar--pada Lenni yang tidur tengkurap dan suara mendengkurnya yang khas."Tidurlah ...." Aku membelai rambut Amanda."Mama ... aku sayang mama. Selama
Aku menyuapi Amanda dengan bubur nasi. Semoga dia benar-benar ingin tinggal denganku, bukan karena emosi sesaatnya."Nanti sore kita pulang ke rumah," ucapku, menyodorkan segelas air putih dengan sedotan.Amanda menggangguk. "Bubur buatan Mama enak," puji Amanda."Obatmu mana?" Aku meraih tas ransel ukuran sedang milik Amanda."Aku lupa tidak bawa, karena buru-buru," jawab Amanda.Aku bangkit dari kursi meja makan. Menaruh mangkuk dan gelas di wastafel dapur. Amanda harus minum pereda nyeri yang diresepkan dokter."Mama akan mengambil obatmu. Kamu sama Lenni, dia baik seperti Bude Niken.""Ya, aku mirip bidadari dari khayangan." Lenni yang sedang menekuri ponsel menyahut. "Sudah sana ambil obatnya, biar Manda bersamaku. Eh, Hasna, kalah perlu bawa sambal buat jaga-jaga.""Hahahaha, tidak perlu Lenni."
"Hatiku," jawab Pak Aksara.Heh?Aku melongo. Menatap wajah Pak Aksara. Hati sama dengan cinta. Dia mencintaiku?"Hati Pak Aksara untuk saya ...?""Ayo, tolong carikan, jangan diam melongo seperti itu."Pak Aksara tidak menjawab pertanyaanku, dia malah melangkahkan kaki keluar dari dapur."Hasna, buruan!"Dengan pikiran penuh pertanyaan aku mengikuti langkah Pak Aksara menuju kamarnya di lantai atas."Coba kamu cari ...." Pak Aksara membuka pintu lemari besar dari kayu jati.Jemariku menyusuri jajaran kemeja, aku menata dari warna tergelap ke warna terang. Aku ingat, kemarin menggantungkan kemeja biru muda di dekat deretan kemeja putih. Kenapa jadi tidak ada?"Bagaimana? Tidak ada, 'kan?"Aku tidak menyerah. Berjongkok memeriksa bagian bawah, sampai kepalaku melongok ke dalam lemari.
"Hari ini panas sekali," keluhku, menaruh kantong belanjaan di meja."Panas mengeluh, hujan mengeluh," tukas Lenni yang sedang memeras lemon.Aku tertawa. "Begitulah aku.""Calon Nyonya baru datang, dia sedang di kamar Edlyn," ujar Lenni."Oh, ya?"Ada geleyar nyeri menyusup perlahan di aliran darah."Ada Pak Aksara juga," lanjut Lenni.Aku menarik nafas panjang, meredam rasaku yang entah apa. Kecewa? Sedih? Patah hati?"Tolong, antar lemon tea ini." Lenni menaruh nampan berisi tiga gelas es lemon tea."Kamu saja, Len," tolakku.Lenni membulatkan matanya. "Sudah sana kamu saja."Aku kembali menghela nafas. Kaki ini terasa berat melangkah ke kamar Edlyn. Di ujung teratas anak tangga, aku mendengar tawa Soraya dan Pak Aksara. Oke, aku bisa menghadapi apa pun.Jariku mengetuk pintu kamar, terpampang lukisan satu keluarga yang sedang bercengkerama. Aku berjalan masuk kemudian meletakk