Aku celingukan, mencari mobil yang mengantar Amanda. "Kamu ke sini naik apa?"
"Taksi."
"Mama akan mengantarmu pulang," ujarku.
"Aku tidak mau pulang ke rumah Papa," tolak Amanda, kepalanya menggeleng lemah.
"Heh, kenapa?" tanyaku, heran.
"Aku ingin tinggal dengan Mama lagi." Lirih suara Amanda menjawab. Dia terlihat lelah dan menahan nyeri.
"Malam ini, kamu sementara tidur di rumah Pak Aksara. Besok kita baru pulang ke rumah."
Amanda agak ragu saat memasuki rumah. "Bagaimana kalau Edlyn mengusirku?"
"Edlyn anak yang baik, dia tidak akan mengusirmu," jelasku.
Aku membantu melepaskan sepatu Amanda, menyelimuti tubuhnya. Mata Amanda mengamati kamar--pada Lenni yang tidur tengkurap dan suara mendengkurnya yang khas.
"Tidurlah ...." Aku membelai rambut Amanda.
"Mama ... aku sayang mama. Selama
Aku menyuapi Amanda dengan bubur nasi. Semoga dia benar-benar ingin tinggal denganku, bukan karena emosi sesaatnya."Nanti sore kita pulang ke rumah," ucapku, menyodorkan segelas air putih dengan sedotan.Amanda menggangguk. "Bubur buatan Mama enak," puji Amanda."Obatmu mana?" Aku meraih tas ransel ukuran sedang milik Amanda."Aku lupa tidak bawa, karena buru-buru," jawab Amanda.Aku bangkit dari kursi meja makan. Menaruh mangkuk dan gelas di wastafel dapur. Amanda harus minum pereda nyeri yang diresepkan dokter."Mama akan mengambil obatmu. Kamu sama Lenni, dia baik seperti Bude Niken.""Ya, aku mirip bidadari dari khayangan." Lenni yang sedang menekuri ponsel menyahut. "Sudah sana ambil obatnya, biar Manda bersamaku. Eh, Hasna, kalah perlu bawa sambal buat jaga-jaga.""Hahahaha, tidak perlu Lenni."
"Hatiku," jawab Pak Aksara.Heh?Aku melongo. Menatap wajah Pak Aksara. Hati sama dengan cinta. Dia mencintaiku?"Hati Pak Aksara untuk saya ...?""Ayo, tolong carikan, jangan diam melongo seperti itu."Pak Aksara tidak menjawab pertanyaanku, dia malah melangkahkan kaki keluar dari dapur."Hasna, buruan!"Dengan pikiran penuh pertanyaan aku mengikuti langkah Pak Aksara menuju kamarnya di lantai atas."Coba kamu cari ...." Pak Aksara membuka pintu lemari besar dari kayu jati.Jemariku menyusuri jajaran kemeja, aku menata dari warna tergelap ke warna terang. Aku ingat, kemarin menggantungkan kemeja biru muda di dekat deretan kemeja putih. Kenapa jadi tidak ada?"Bagaimana? Tidak ada, 'kan?"Aku tidak menyerah. Berjongkok memeriksa bagian bawah, sampai kepalaku melongok ke dalam lemari.
"Hari ini panas sekali," keluhku, menaruh kantong belanjaan di meja."Panas mengeluh, hujan mengeluh," tukas Lenni yang sedang memeras lemon.Aku tertawa. "Begitulah aku.""Calon Nyonya baru datang, dia sedang di kamar Edlyn," ujar Lenni."Oh, ya?"Ada geleyar nyeri menyusup perlahan di aliran darah."Ada Pak Aksara juga," lanjut Lenni.Aku menarik nafas panjang, meredam rasaku yang entah apa. Kecewa? Sedih? Patah hati?"Tolong, antar lemon tea ini." Lenni menaruh nampan berisi tiga gelas es lemon tea."Kamu saja, Len," tolakku.Lenni membulatkan matanya. "Sudah sana kamu saja."Aku kembali menghela nafas. Kaki ini terasa berat melangkah ke kamar Edlyn. Di ujung teratas anak tangga, aku mendengar tawa Soraya dan Pak Aksara. Oke, aku bisa menghadapi apa pun.Jariku mengetuk pintu kamar, terpampang lukisan satu keluarga yang sedang bercengkerama. Aku berjalan masuk kemudian meletakk
POV. AksaraDari pantulan kaca spion, aku melihat Hasna berdiri--dia sempat melambaikan tangan dengan ragu. Aku yakin dia akan menunggu, walaupun aku datang terlambat.Aku pasti datang, itu janjiku.Kali pertama melihatnya--di ruang kerja--dia sangat gugup. Kali kedua, saat mengantar kopi dan tanpa interupsi dia mendengarkan keluh kesahku tentang wanita. Wajahnya yang manis terlihat serius saat aku berbicara. Dan, ketika tersenyum dia telah meneteskan satu bulir rasa nyaman di hatiku.Kali ketiga, saat berani menentangku di ruang gym--dia seperti induk beruang yang menyerang musuh. Sikapnya pada Edlyn yang tulus, membuat hatiku menggelegak. Detak rasa yang lama hilang, bergejolak kembali.Beberapa kali berhubungan dengan wanita, tetapi tidak pernah melibatkan perasaan. Tidak ada keinginan untuk menetap selamanya.Jantungku menjadi tidak normal saat melihat
POV. AksaraEdlyn dan Hasna. Dua perempuan yang menggenapi kehidupanku. Tawa mereka seolah mengisi kekosongan di sudut kalbu. Aku yakin, Hasna adalah dermaga terakhir, jangkar telah menghujam kuat--tidak ada layar yang terkembang."Mama." Edlyn mengulang kembali memanggil Hasna. Ia memeluk Hasna erat, dan enggan terlepas.Aku melingkarkan kedua tanganku, merengkuh tubuh Edlyn dan Hasna. Menenggelamkan wajah di rambut Hasna, aroma bunga menelisik hidung. Kuhirup--akan tersimpan di memori."Papa modus," ujar Edlyn, mencoba mendorong tubuhku yang mendekap mereka berdua dengan kuat."Oke, Papa memang modus." Aku tertawa, melepaskan pelukan. "Tapi, kalian berdua adalah pusat kehidupanku."Rona merah di wajah Hasna semakin tercetak jelas. Dan aku menyukainya."Kalian bertiga sedang apa?" Soraya menatap curiga. "Aku mendengar suara ta
POV. AksaraSetiap Soraya datang ke rumah, Edlyn sudah menyiapkan pekerjaan untuk Soraya. Aku tahu Soraya mulai enggan datang ke rumah, tetapi Edlyn selalu berkata 'tidak ada pernikahan jika Mama tidak mau mencuci piring'.Waktu yang kujanjikan pada Hasna meleset, sudah hampir dua bulan. Aku juga menghubungi semua pegawai rumah, bahwa libur mereka di perpanjang.Sekarang. Hasna duduk tepat di seberangku, sedang memainkan sedotan gelas."Kenapa diam saja?" tanyaku."Apa yang harus kutanyakan?" Hasna balik bertanya."Misal, apa kau merindukanku?"Hasna tertawa lalu berucap, "Tidak perlu ditanyakan tentang hal merindu, aku tahu kamu merindukan diriku, Aksara.""Sepertinya hanya aku yang rindu berat," ujarku, jemariku menyusup di jemari tangan Hasna. "Aku ingin segera menghabiskan waktu bersamamu."Wajah canti
Empat hari. Aksara tidak berkabar. Panggilan telepon dan pesan tidak ada satu pun terbalas. Terakhir kali bertemu di kafe, tidak ada yang mencurigakan. Aku memutuskan mendatangi rumah Aksara.Ritme napasku seolah berhenti, aku tercekat membaca plang di pintu rumah Aksara. Rumah ini disita.Aku berputar ke arah belakang, tidak ada mobil terparkir di garasi. Rumah besar dan mewah itu sepi. Apa yang sebenarnya terjadi?Kenapa Aksara tidak memberi kabar? Di mana Edlyn dan Aksara sekarang?Aku mengendarai motor dengan pikiran tidak menentu. Seperti hendak menyusun puzzle, namun banyak kepingan yang hilang. Rumah disita, penghuninya menghilang.Brukk.Aku menabrak mobil di depanku. Aliran darah mengalir lebih cepat. Terdengar suara bantingan pintu mobil. Ah, itu pasti si pemilik mobil. Aku menarik napas, mengembuskan pelan-pelan."Lain kali mata
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn