"Hari ini panas sekali," keluhku, menaruh kantong belanjaan di meja.
"Panas mengeluh, hujan mengeluh," tukas Lenni yang sedang memeras lemon.
Aku tertawa. "Begitulah aku."
"Calon Nyonya baru datang, dia sedang di kamar Edlyn," ujar Lenni.
"Oh, ya?"
Ada geleyar nyeri menyusup perlahan di aliran darah.
"Ada Pak Aksara juga," lanjut Lenni.
Aku menarik nafas panjang, meredam rasaku yang entah apa. Kecewa? Sedih? Patah hati?
"Tolong, antar lemon tea ini." Lenni menaruh nampan berisi tiga gelas es lemon tea.
"Kamu saja, Len," tolakku.
Lenni membulatkan matanya. "Sudah sana kamu saja."
Aku kembali menghela nafas. Kaki ini terasa berat melangkah ke kamar Edlyn. Di ujung teratas anak tangga, aku mendengar tawa Soraya dan Pak Aksara. Oke, aku bisa menghadapi apa pun.
Jariku mengetuk pintu kamar, terpampang lukisan satu keluarga yang sedang bercengkerama. Aku berjalan masuk kemudian meletakk
POV. AksaraDari pantulan kaca spion, aku melihat Hasna berdiri--dia sempat melambaikan tangan dengan ragu. Aku yakin dia akan menunggu, walaupun aku datang terlambat.Aku pasti datang, itu janjiku.Kali pertama melihatnya--di ruang kerja--dia sangat gugup. Kali kedua, saat mengantar kopi dan tanpa interupsi dia mendengarkan keluh kesahku tentang wanita. Wajahnya yang manis terlihat serius saat aku berbicara. Dan, ketika tersenyum dia telah meneteskan satu bulir rasa nyaman di hatiku.Kali ketiga, saat berani menentangku di ruang gym--dia seperti induk beruang yang menyerang musuh. Sikapnya pada Edlyn yang tulus, membuat hatiku menggelegak. Detak rasa yang lama hilang, bergejolak kembali.Beberapa kali berhubungan dengan wanita, tetapi tidak pernah melibatkan perasaan. Tidak ada keinginan untuk menetap selamanya.Jantungku menjadi tidak normal saat melihat
POV. AksaraEdlyn dan Hasna. Dua perempuan yang menggenapi kehidupanku. Tawa mereka seolah mengisi kekosongan di sudut kalbu. Aku yakin, Hasna adalah dermaga terakhir, jangkar telah menghujam kuat--tidak ada layar yang terkembang."Mama." Edlyn mengulang kembali memanggil Hasna. Ia memeluk Hasna erat, dan enggan terlepas.Aku melingkarkan kedua tanganku, merengkuh tubuh Edlyn dan Hasna. Menenggelamkan wajah di rambut Hasna, aroma bunga menelisik hidung. Kuhirup--akan tersimpan di memori."Papa modus," ujar Edlyn, mencoba mendorong tubuhku yang mendekap mereka berdua dengan kuat."Oke, Papa memang modus." Aku tertawa, melepaskan pelukan. "Tapi, kalian berdua adalah pusat kehidupanku."Rona merah di wajah Hasna semakin tercetak jelas. Dan aku menyukainya."Kalian bertiga sedang apa?" Soraya menatap curiga. "Aku mendengar suara ta
POV. AksaraSetiap Soraya datang ke rumah, Edlyn sudah menyiapkan pekerjaan untuk Soraya. Aku tahu Soraya mulai enggan datang ke rumah, tetapi Edlyn selalu berkata 'tidak ada pernikahan jika Mama tidak mau mencuci piring'.Waktu yang kujanjikan pada Hasna meleset, sudah hampir dua bulan. Aku juga menghubungi semua pegawai rumah, bahwa libur mereka di perpanjang.Sekarang. Hasna duduk tepat di seberangku, sedang memainkan sedotan gelas."Kenapa diam saja?" tanyaku."Apa yang harus kutanyakan?" Hasna balik bertanya."Misal, apa kau merindukanku?"Hasna tertawa lalu berucap, "Tidak perlu ditanyakan tentang hal merindu, aku tahu kamu merindukan diriku, Aksara.""Sepertinya hanya aku yang rindu berat," ujarku, jemariku menyusup di jemari tangan Hasna. "Aku ingin segera menghabiskan waktu bersamamu."Wajah canti
Empat hari. Aksara tidak berkabar. Panggilan telepon dan pesan tidak ada satu pun terbalas. Terakhir kali bertemu di kafe, tidak ada yang mencurigakan. Aku memutuskan mendatangi rumah Aksara.Ritme napasku seolah berhenti, aku tercekat membaca plang di pintu rumah Aksara. Rumah ini disita.Aku berputar ke arah belakang, tidak ada mobil terparkir di garasi. Rumah besar dan mewah itu sepi. Apa yang sebenarnya terjadi?Kenapa Aksara tidak memberi kabar? Di mana Edlyn dan Aksara sekarang?Aku mengendarai motor dengan pikiran tidak menentu. Seperti hendak menyusun puzzle, namun banyak kepingan yang hilang. Rumah disita, penghuninya menghilang.Brukk.Aku menabrak mobil di depanku. Aliran darah mengalir lebih cepat. Terdengar suara bantingan pintu mobil. Ah, itu pasti si pemilik mobil. Aku menarik napas, mengembuskan pelan-pelan."Lain kali mata
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn
"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara."Aku buat mie goreng.""Ayo, masuk."Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?""Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas."Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?""Baiklah, Nyonya."Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah."Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?""Sedikit," sahutku."Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.Aksara memang memberikan kejutan
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."Amanda tampak terperanjat."Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi.""Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn."Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn."Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn."Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap."Mama, pikir ....""Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."Amanda tampak terperanjat."Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi.""Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn."Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn."Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn."Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap."Mama, pikir ....""Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara."Aku buat mie goreng.""Ayo, masuk."Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?""Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas."Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?""Baiklah, Nyonya."Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah."Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?""Sedikit," sahutku."Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.Aksara memang memberikan kejutan
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn