POV. Aksara
Edlyn dan Hasna. Dua perempuan yang menggenapi kehidupanku. Tawa mereka seolah mengisi kekosongan di sudut kalbu. Aku yakin, Hasna adalah dermaga terakhir, jangkar telah menghujam kuat--tidak ada layar yang terkembang.
"Mama." Edlyn mengulang kembali memanggil Hasna. Ia memeluk Hasna erat, dan enggan terlepas.
Aku melingkarkan kedua tanganku, merengkuh tubuh Edlyn dan Hasna. Menenggelamkan wajah di rambut Hasna, aroma bunga menelisik hidung. Kuhirup--akan tersimpan di memori.
"Papa modus," ujar Edlyn, mencoba mendorong tubuhku yang mendekap mereka berdua dengan kuat.
"Oke, Papa memang modus." Aku tertawa, melepaskan pelukan. "Tapi, kalian berdua adalah pusat kehidupanku."
Rona merah di wajah Hasna semakin tercetak jelas. Dan aku menyukainya.
"Kalian bertiga sedang apa?" Soraya menatap curiga. "Aku mendengar suara ta
POV. AksaraSetiap Soraya datang ke rumah, Edlyn sudah menyiapkan pekerjaan untuk Soraya. Aku tahu Soraya mulai enggan datang ke rumah, tetapi Edlyn selalu berkata 'tidak ada pernikahan jika Mama tidak mau mencuci piring'.Waktu yang kujanjikan pada Hasna meleset, sudah hampir dua bulan. Aku juga menghubungi semua pegawai rumah, bahwa libur mereka di perpanjang.Sekarang. Hasna duduk tepat di seberangku, sedang memainkan sedotan gelas."Kenapa diam saja?" tanyaku."Apa yang harus kutanyakan?" Hasna balik bertanya."Misal, apa kau merindukanku?"Hasna tertawa lalu berucap, "Tidak perlu ditanyakan tentang hal merindu, aku tahu kamu merindukan diriku, Aksara.""Sepertinya hanya aku yang rindu berat," ujarku, jemariku menyusup di jemari tangan Hasna. "Aku ingin segera menghabiskan waktu bersamamu."Wajah canti
Empat hari. Aksara tidak berkabar. Panggilan telepon dan pesan tidak ada satu pun terbalas. Terakhir kali bertemu di kafe, tidak ada yang mencurigakan. Aku memutuskan mendatangi rumah Aksara.Ritme napasku seolah berhenti, aku tercekat membaca plang di pintu rumah Aksara. Rumah ini disita.Aku berputar ke arah belakang, tidak ada mobil terparkir di garasi. Rumah besar dan mewah itu sepi. Apa yang sebenarnya terjadi?Kenapa Aksara tidak memberi kabar? Di mana Edlyn dan Aksara sekarang?Aku mengendarai motor dengan pikiran tidak menentu. Seperti hendak menyusun puzzle, namun banyak kepingan yang hilang. Rumah disita, penghuninya menghilang.Brukk.Aku menabrak mobil di depanku. Aliran darah mengalir lebih cepat. Terdengar suara bantingan pintu mobil. Ah, itu pasti si pemilik mobil. Aku menarik napas, mengembuskan pelan-pelan."Lain kali mata
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn
"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara."Aku buat mie goreng.""Ayo, masuk."Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?""Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas."Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?""Baiklah, Nyonya."Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah."Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?""Sedikit," sahutku."Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.Aksara memang memberikan kejutan
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."Amanda tampak terperanjat."Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi.""Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn."Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn."Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn."Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap."Mama, pikir ....""Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan