Pagi hari pertama tanpa Amanda. Memang ada yang hilang dalam setiap helaan nafasku. Mata ini memandangi segelas susu di meja. Sadar Amanda tidak berada di rumah ini, tetapi aku tetap membuat susu untuknya.
Aku meraih tas, melangkah ke luar rumah dengan gontai. Aku sudah menyalakan mesin motor, saat Retno datang menghampiri. Dia tetangga belakang rumah.
"Mbak Hasna, itu Bu Rusti lagi nyebar gosip di warung Mak Rum. Katanya semalam Amanda dibawa germo. Dan Mbak Hasna menerima uang jutaan karena menjual Amanda." Retno memberitahu.
"Pagi-pagi sudah buat masalah," sahutku, geram. "Perlu dibungkam tuh mulut peyot."
Aku mengarahkan motor ke warung Mak Rum, aku masih punya waktu untuk mencakar pipi Bu Rusti.
Benar si lebah gosip tengah dikerumuni lebah lain. Saling berdengung di hari yang masih pagi.
"Apa yang kalian bicarakan?" Aku menggulung lengan kemejaku. "Amanda dibawa germo? Amanda simpanan om-om kaya raya?!"
"Katanya Bu Rusti begitu, ada bukti foto. Mbak Hasna tidak bisa mengelak," sinis Bu Siska.
Aku merangsek maju, Bu Rusti ketakutan hingga mundur sampai ke tembok warung.
"Mbak Hasna kalau macam-macam bisa aku tuntut pasal penganiayaan," ancam Bu Rusti.
"Kalau begitu aku bisa menuntut pasal pencemaran nama baik, mengunggah foto tanpa izin pemiliknya, menyebar berita bohong." Aku mencengkeram dagu Bu Rusti.
"Kenyataannya memang begitu," bela Bu Rusti.
"Kenyataannya yang mana?" Tanganku berpindah menarik rambut Bu Rusti. "Om tajir yang kamu maksud adalah Papanya Amanda, dan germo yang kamu maksud adalah neneknya Amanda. Jadi, sebelum menyebar berita dicek dulu."
Aku menghela napas dalam sambil melepas rambut Bu Rusti. Dia meringis kesakitan.
"Oh, jadi Ayahnya Manda ...."
"Papanya orang kaya ...." Bisik-bisik di belakangku.
"Sebaiknya Bu Rusti urus dan perhatikan Winda, bisa jadi dia yang jadi sugar baby," ucapku. "Ibu-ibu ini, pagi-pagi sudah ghibah, dosa."
Bu Rusti tampak semakin pucat, mungkin dia tidak menyangka aku bakalan beringas. Jika sudah mencapai titik hilang kesabaran, aku bisa berubah menjadi tornado.
Aku segera pergi dengan motor dari warung Mak Rum.
***Aku melepas celemek, mengambil tas dari dalam loker. Aku akan ke rumah Mandala. Memastikan kondisi Amanda baik-baik saja. Tidak sabar rasanya bertemu putriku, padahal baru hitungan jam kami tidak bertemu. Bagiku, seolah sudah ratusan hari.Angin sore menyusup di antara kulit dan jaket. Motorku melaju dengan kecepatan sedang di atas jalanan beraspal. Demi menemui Amanda, aku tidak pedulikan jika Bu Rosie mengeluarkan semua kata caci.
Mata tua abu-abu milik Bu Rosie setengah memicing saat membuka pintu. Aku pikir, perempuan di depanku tidak pernah tersenyum di sepanjang hidupnya.
"Ada apa?" tanyanya, sinis.
"Aku ingin bertemu Amanda, tidak mungkin aku ingin bertemu denganmu, Bu Rosie."
"Kurang ajar ...," desis Bu Rosie.
"Yang kurang ajar itu Bu Rosie, mempengaruhi Amanda," sahutku. "Tolong panggilkan Amanda."
"Amanda sedang keluar dengan Soraya, membeli beberapa baju. Pulang saja, besok ke sini lagi."
"Aku akan menunggu Amanda," putusku, duduk di kursi teras. "Tidak perlu khawatir, aku tidak akan masuk ke rumahmu."
"Terserah," sungut Bu Rosie, masuk kembali ke dalam rumahnya.
Sembari menunggu, aku berselancar di dunia maya. Scroll sana-sini. Berhenti pada berita tentang model terkenal yang ingin pensiun, Soraya Abimanyu. Alasannya karena dia ingin lebih fokus pada keluarga dan berencana memiliki seorang anak. Jadi dia istrinya Mandala. Tipe perempuan yang pas jadi menantu Bu Rosie. Ya, menantu idaman.
Kuembuskan nafas, kenapa aku masih merasakan luka? Terlintas kembali memori puluhan tahun silam, aku yang usai lulus SMA dan Mandala--yang masih kuliah semester genap, nekat menikah. Cinta kami berdua bagai hasrat yang terus membara, yang tidak mungkin padam. Pada awalnya, Mandala gigih memperjuangkan hubungan kami. Namun, peristiwa berdarah merubah segalanya. Bu Rosie menusuk dirinya sendiri.
Strategi yang jitu untuk memisahkan aku dari Mandala. Keluarga Mandala mengajukan pembatalan pernikahan, sementara Mandala melanjutkan kuliahnya di luar negeri.
"Hasna, kamu di sini?"
Aku mendongak, Mandala sudah berdiri di ujung teras. "Aku menunggu Amanda," sahutku.
Sembari melonggarkan dasi, Mandala duduk tepat di sampingku. Aroma woody dan citrus tercium hidungku, aroma yang sama yang pernah kupeluk, dulu sekali. Aku menggeser tubuhku, mencipta jarak.
"Maaf, aku tidak tahu jika Mama mengajak Amanda tinggal di sini," kata Mandala, bersandar di punggung kursi.
"Tolong jaga dan rawat Amanda dengan baik selama dia tinggal denganmu," ucapku, menahan diri untuk tidak menangis. Karena ada sesak yang menghimpit.
"Aku pasti akan merawat Amanda dengan baik."
Kami berdua terdiam. Sore sudah merambat ke malam, lampu teras menyala terang, sehingga aku bisa dengan jelas melihat wajah lelaki di sampingku.
Mobil Toyota Vellfire memasuki halaman rumah, seorang sopir bergegas membukakan pintu. Kulihat Amanda turun, disusul perempuan tinggi yang modis--Soraya.
Refleks aku berdiri, menatap putriku yang berubah dari segi penampilan. Sayang, air muka Amanda tidak senang melihatku.
"Aku tidak mau ikut Mama pulang," ujar Amanda saat jarak kami sudah dekat.
"Mama tidak akan memaksamu." Aku meraih tangannya. "Kamu boleh tinggal bersama Papamu, rumah mama selalu terbuka untukmu. Datanglah kapan saja."
"Ya," sahut Amanda, dingin.
Aku merengkuh Amanda ke dalam pelukanku dan berkata, "Ingat, Manda ... mama sayang kamu. Ma-ma sa-yang Manda."
Satu ciuman kudaratkan di kening Amanda, mengelus pipinya, memandangi wajahnya lama sekali, seolah ini adalah pertemuan terakhir.
"Mama pulang dulu," pamitku, netraku beralih pada Mandala. "Aku akan membuat perhitungan jika kalian tidak menjaga Amanda dengan baik."
Soraya merangkul pinggang Mandala. "Keluarga ini orang berpendidikan tinggi, jadi kami tahu mendidik anak," katanya kemudian.
"Iya, aku tahu itu. Namun, juga harus diseimbangkan dengan pendidikan agama." Kuulas segaris senyum di bibir.
Sekali lagi, aku mencium pipi Amanda sebelum melangkahkan kedua kaki. Air mata yang ingin tumpah ruah, kutahan sedemikian kuat. Aku tidak ingin menangis di hadapan mereka.
***[Manda, kapan Mama bisa bertemu? Mama kangen.]
[Aku hari ini sibuk, Ma. Setelah pulang sekolah, aku ada les bahasa Inggris dilanjut les piano.]
Itu pesan dua hari yang lalu. Lebih dari seminggu aku tidak bertemu Amanda. Dia selalu beralasan sibuk.
"Datang saja ke sekolah Manda," saran Mbak Niken, mencomot pisang goreng. "Atau hubungi si Mandala, sebagai Papa harusnya dia bisa mengajari Manda bersikap baik pada ibu kandungnya."
Aku mengesah. "Aku pikir Manda akan merindukan aku, tetapi sepertinya aku mulai dilupakan anak sendiri."
"Nangis kalau ingin nangis, teriak kalau ingin teriak," ujar Mbak Niken masih melahap pisang goreng.
Aku berdiri, mengambil kunci motor di atas kulkas.
"Mau ke mana?"
"Ke sekolah Amanda."
"Hati-hati, rumahmu biar aku yang jaga." Mbak Niken menyengir, aku tahu alasannya betah nongkrong di rumahku. Dia sedang bertengkar dengan suaminya.
"Awas, kalau ada yang hilang." Aku bercanda.
.
Sampai di sekolah Amanda, aku menuju ruang guru. Meminta izin untuk menemui Amanda sebentar saja.
"Bu Hasna, ada keperluan apa?" tanya Pak Khalid, wali kelas Hasna--setelah mempersilakan aku duduk.
"Saya ingin menemui Amanda," jawabku.
"Lho, Amanda sudah pindah sekolah. Bu Hasna tidak tahu? Lima hari yang lalu Omanya yang mengurus semua keperluan administrasi," jelas Pak Khalid.
"Pindah sekolah, Pak?" tanyaku, terkejut tidak percaya.
"Iya, Bu Hasna."
"Boleh tahu pindah ke sekolah mana?"
"Sekolah Bina Harapan, sekolah elite itu, Bu ...."
Kenapa aku tidak diberitahu? Bagaimanapun aku adalah Ibunya. Aku mengalah membiarkan Amanda tinggal bersama mereka, bukan berarti mereka bisa menyingkirkan aku.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Bu Hasna."
Aku pun menuju sekolah baru Amanda, kebetulan sudah jam pulang sekolah. Aku memarkir motor di pinggir jalan, lalu berdiri di dekat pintu gerbang. Melihat satu per satu murid-murid yang ke luar. Mobil-mobil kelas atas sudah merapat.
Bisa kulihat Amanda sedang berjalan dengan temannya, bercanda dengan riang. Putriku yang kurindukan, hadir di pelupuk mata.
"Manda!" panggilku.
Amanda hanya menoleh sebentar, dia tidak berhenti atau menghampiriku. Langkahnya malah dipercepat menuju mobil yang sudah menunggunya.
Aku berlari menyusulnya. "Manda, tunggu!"
"Apaan, sih ...?" Amanda menyingkirkan tanganku yang memegang ujung lengan bajunya.
"Bisa kita ngobrol sebentar sambil makan es krim?"
"Aku sibuk."
"Sebentar saja," bujukku.
"Mama, jangan pernah datang ke sekolah dengan penampilan seperti itu ...." Amanda memandangiku.
Aku ikut menelisik penampilanku, celana jeans, kaus warna putih dengan luaran kemeja panjang warna pastel. Sepatu flat warna hitam--yang kubeli di pasar malam.
"Apa yang salah dengan baju mama?" tanyaku.
"Setidaknya Mama beli baju yang sedikit berkelas. Lihat motor Mama yang butut itu, lebih baik naik taksi saja kalau ke sekolahku."
"Kamu sekarang malu dengan mama?" Kutatap tajam mata Amanda. "Mama yang mengandungmu, melahirkanmu, merawatmu sampai sebesar ini. Ribuan titik peluhmu tidak mampu melunasi semuanya," paparku dengan suara yang bergetar.
"Mama juga jahat, menyembunyikan aku dari Papa dan Oma selama ini. Mama egois, hanya menuruti sakit hati sehingga hakku bertemu Papa dihalangi."
Aku terenyak dengan ucapan Amanda. Racun mulai disiram ke dalam otaknya.
"Lain kali saja kita makan es krim." Amanda masuk ke dalam mobil.
Nyawaku serasa dicerabut perlahan dari raga. Bu Rosie, rupanya kau berulah lagi. Kali ini aku tidak akan menyerah.
"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon."Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor."Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda.""Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala."Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi
Aku memberikan catatan tambahan pada Lenni, ada beberapa barang yang dibeli Edlyn. Lenni memakai kacamata, fokus pada printilan angka. Lalu dia mulai sibuk dengan kalkulator."Ada dua es krim. Siapa yang makan?" Mata Lenni menatapku tajam, kacamatanya melorot sampai hidung."Aku," sahut Edlyn, yang juga sibuk dengan adonan tepung. "Satu aku berikan pada Bu Hasna, kalau makan dua es krim takut pipiku melar.Aku merogoh ke dalam kantong celana kulot panjang yang kupakai, mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu ke Lenni. "Ini aku ganti uangnya.""Eh, tidak perlu Bu Hasna," sergah Edlyn. "Papa tidak bakalan marah kok.""Ini adalah bentuk kejujuran kami, Non Edlyn," ujar Lenni."Lyn, minyaknya sudah panas ...." Aku mengingatkan.Buru-buru Edlyn mematikan kompor, dia nyengir lalu berkata, "Corndog-nya belum siap digoreng."Aku sibuk menaruh dan merapikan makanan kering di lemari kabinet dapur bagian atas. Makanan yang lama yang ters
Edlyn berteriak keras, sepertinya dia ingin mengeluarkan penat jiwa yang sudah lama terendap. Lirih isakannya berubah raungan yang mencabik telinga. Dia memelukku kuat.Setiap orang yang melintas, melihat kami dengan kerut yang dalam seolah berkata, mereka berdua gila. Duduk di pelataran parkiran mobil, berpelukan dan yang satunya histeris.Gila. Mungkin kadar gila sudah tinggi, sehingga menangis dan berteriak adalah pilihan terbaik. Setelah reda gejolak hati, Edlyn mulai tenang.Kedua tanganku menangkup pipi Edlyn yang basah. "Lyn, kita pulang. Apa kamu kuat berdiri? Kalau tidak kuat, aku bisa menggendongmu."Edlyn tertawa kecil. "Apa Bu Hasna kuat?""Jujur, aku tidak kuat menggendongmu. Ayo." Aku membimbing Edlyn berdiri, kami berdua masuk ke dalam mobil."Sudah dulu, aku harus kerja lagi ...." Roni buru-buru mematikan sambungan telepon.Siapa y