"Hasna!"
Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga.
"Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi.
"Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup W******p arisan. Si Rusti yang menyebarkan."
Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.
Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"
Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala."
"Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah.
"Iya, Mbak."
Kuceritakan pada Mbak Niken tentang Amanda yang mengenal Mandala secara kebetulan. Juga mengenai barang-barang pemberian Mandala.
Mbak Niken diam sejenak, lalu berkata, "Lebih baik kamu memberitahu Mandala bahwa Amanda anak kandungnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."
Kepalaku menengadah, melihat angkasa yang membiru indah.
"Aku tahu, kamu menyimpan rasa sakit dan luka yang mungkin belum sembuh," lanjut Mbak Niken. "Tapi, jujur adalah jalan yang terbaik, Hasna."
"Ya, aku tidak boleh menutupi kenyataan ...," sahutku lirih.
Mbak Niken menepuk pundakku. "Walaupun jujur kadang berbuah pahit."
Semoga saja tidak ada pahit maupun getir. Aku merogoh ponsel dari saku celana. Dengan ragu menelepon Mandala.
"Halo, Hasna," sapa Mandala.
"Bisa kita bertemu? Kalau bisa sekarang."
"Kalau sekarang aku tidak bisa, bagaimana kalau nanti jam makan siang?Kita bertemu di kedai kopi dekat kantorku."
"Baik," sahutku, kemudian mematikan sambungan telepon. Aku masuk shift dua, jadi bisa menemui Mandala.
"Aku pulang dulu, Hasna," pamit Mbak Niken. "Mau masak dulu."
Aku mengamati Mbak Niken sampai menghilang. Setelah Ibu meninggal dua tahun silam, Mbak Nikenlah tempat satu-satunya yang mau menampung keluh kesahku.
***Setelah memarkirkan sepeda motor, aku melangkah masuk ke dalam kedai kopi. Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok Mandala. Dia kudapati melambaikan tangannya. Kutenteramkan hati yang bergejolak, telapak tanganku berkeringat dingin. Cemas, gugup.
"Hei," sapaku, gagu.
Mandala berdiri, menarik kursi untukku. "Aku sudah pesankan mochaccino, aku ingat dulu kamu suka mochaccino."
"Terima kasih."
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Mandala menatapku serius.
"A-ku ...." Kugenapi paru-paruku dengan oksigen sebelum melanjutkan bicara. "Kemarin kamu bertanya 'apakah Amanda anakku?' Dia--"
Aku kembali terdiam. Kaku sekali lidah ini untuk berbicara.
"Hasna?"
Dan, sekali lagi aku menarik nafas panjang. "Amanda adalah putrimu."
"Benarkah itu?" Pendar mata Mandala sangat bahagia.
"Dia putrimu, terlahir dari rahimku. Perempuan yang tidak diharapkan keluargamu, perempuan yang disingkirkan keluargamu. Dan kamu memilih tidak memperjuangkan hubungan kita," kataku, meluapkan emosi yang seharusnya tidak meledak.
Air muka Mandala terlihat kelu. "Hasna, aku--"
"Aku juga akan memberitahu Amanda," imbuhku, mengusap sudut mata yang basah. "Kamu boleh menemui Amanda, aku tidak akan menghalangi. Satu lagi, aku tidak suka mochaccino. Aku sudah berubah."
Gegas aku meninggalkan Mandala, keluar dari kedai kopi. Rasa kecewa pada Mandala muncul kembali--lelaki yang kunikahi di saat usiaku masih belia, 18 tahun. Seharusnya aku bisa menahan emosi. Namun, kenangan lama mendesak tanpa bisa kukendalikan.
***Amanda memasang foto lawas Mandala yang aku berikan. Satu-satunya foto yang tersisa. Dia sangat bahagia ketika aku memberitahu bahwa Mandala adalah Papanya.
"Teman-temanku tidak percaya kalau Papaku orang kaya, mereka pikir aku halu," keluh Amanda.
"Tidak perlu dihiraukan, Manda," sahutku, memindah-mindah channel telivisi. Semua acara di televisi tidak menarik.
"Istrinya Papa ternyata model terkenal, Ma. Kemarin waktu ketemu dia orangnya ramah sekali dan baik. Terus ketemu juga sama Oma Rosie, orangnya jutek banget," kata Amanda menceritakan pertemuan pertamanya dengan keluarga Mandala.
"Baguslah."
Entah mengapa aku tidak suka jika Amanda menghabiskan waktu bersama Mandala dan istrinya, tetapi aku sudah berjanji tidak akan menghalangi mereka bertemu. Aku tidak mungkin mencerabut hak Amanda karena egoku semata.
Suara ketukan di pintu membuatku bangkit dari duduk. Sudah malam, siapa yang bertandang?
"Selamat malam, Hasna." Bu Rosie tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai seperti serigala.
"Bu Rosie tidak salah rumah?"
"Aku tidak salah rumah. Aku mau menjemput cucuku, aku tidak akan membiarkan Amanda tinggal di gubuk reyot ini," jawab Bu Rosie.
Aku tertawa. "Cucu? Dulu Bu Rosie tidak mengakui aku sebagai menantu, tapi mengakui anakku sebagai cucu. Lucu sekali."
"Amanda putrinya Mandala, ada darahku yang mengalir di dalam tubuh Amanda," papar Bu Rosie angkuh.
"Aku tidak mengizinkan Amanda tinggal di rumahmu. Tidak akan pernah!" teriakku marah.
"Tapi, aku mau tinggal dengan Papa, Ma," ujar Amanda yang sudah menyandang tas ranselnya. "Sebenarnya tadi aku ingin minta izin, tetapi Mama pasti tidak mengizinkan."
"Amanda ...?" Aku memandangi Amanda tidak percaya.
"Kamu tidak perlu bawa baju kumalmu, besok kita beli yang baru, yang lebih mahal dan berkelas," kata Bu Rosie mencemooh. "Ayo, Manda."
Aku mencekal lengan Amanda. "Mama tidak mengizinkan kamu pergi."
"Aku sudah gede, Ma. Aku berhak memutuskan ingin tinggal dengan siapa." Amanda mengibaskan tanganku dengan kasar.
"Kamu tega meninggalkan mama sendirian?"
"Aku tidak meninggalkan mama, aku hanya pindah ke rumah Papa," kilah Amanda. Dia berlari keluar rumah, masuk ke dalam mobil sedan yang menunggunya.
"Amanda!" panggilku, berlari menyusulnya. "Tunggu!" Aku mengetuk kaca jendela mobil.
"Mama jangan lebay, tidak perlu drama. Kita masih bisa bertemu," sahut Amanda enteng.
"Amanda ...." Nyaris suaraku tercekal di tenggorokan.
"Aku pergi dulu." Amanda menutup jendela mobil.
"Kami pergi, Hasna." Bu Rosie tersenyum penuh kemenangan, dia kemudian masuk ke dalam mobil.
Aku hanya terpaku melihat mobil yang membawa Amanda mulai bergerak. Amanda bukan bayi lagi yang bisa kugendong ke mana pun.
Inilah yang kutakutkan. Pengakuanku menyebabkan aku kehilangan hal terpenting dan terindah. Setetes air mata bergulir di pipi. Sedih dan hancur. Merangkap sempurna di hati.
Pagi hari pertama tanpa Amanda. Memang ada yang hilang dalam setiap helaan nafasku. Mata ini memandangi segelas susu di meja. Sadar Amanda tidak berada di rumah ini, tetapi aku tetap membuat susu untuknya.Aku meraih tas, melangkah ke luar rumah dengan gontai. Aku sudah menyalakan mesin motor, saat Retno datang menghampiri. Dia tetangga belakang rumah."Mbak Hasna, itu Bu Rusti lagi nyebar gosip di warung Mak Rum. Katanya semalam Amanda dibawa germo. Dan Mbak Hasna menerima uang jutaan karena menjual Amanda." Retno memberitahu."Pagi-pagi sudah buat masalah," sahutku, geram. "Perlu dibungkam tuh mulut peyot."Aku mengarahkan motor ke warung Mak Rum, aku masih punya waktu untuk mencakar pipi Bu Rusti.Benar si lebah gosip tengah dikerumuni lebah lain. Saling berdengung di hari yang masih pagi."Apa yang kalian bicarakan?" Aku menggulung lengan kemejaku. "Amanda dibawa germo? Amanda simpanan om-om kaya raya?!""Katanya Bu Rusti be
"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon."Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor."Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda.""Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala."Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong
Aku berdiri di sisi tempat tidur Edlyn, kasihan gadis itu. Dia kesepian, menanggulangi rasa sedih sendirian. Rindu yang membuncah terhadap sang Ibu, disimpannya rapi. Aku menyelimuti tubuh Edlyn, membawa piring kotor bekas mie--keluar dari kamar."Kenapa kamu belum pulang?" Garneta sudah berdiri di belakangku."Mulai hari ini saya menginap, tapi hanya sementara sampai Bik Yuni kembali," jawabku, kemudian berjalan melewatinya."Siapa yang menyuruhmu menginap?!" Suara itu menggelegar."Lenni." Aku memutar kembali badanku, berhadapan dengan Garneta. "Dia sudah meminta izin pada Pak Aksara.""Suatu hari aku akan memecat perempuan tua itu," sungut Garneta. "Jika aku sudah resmi--"Aku meninggalkan lawan bicaraku yang sedang emosi entah karena apa."Eh, Hasna! Tolong buatkan susu," pinta Garneta."Baik."Untuk ukuran wanita kela
"Edlyn, bisa jelaskan kenapa kamu berkelahi dengan temanmu?" tanya Pak Aksara sembari membuka pintu mobil."Karena dia merebut kasih sayang mamaku!" teriak Edlyn.Dahiku berkerut. Mama? Sorayakah Mamanya Edlyn? Soraya mantan istri Pak Aksara?"Bukan temanmu yang merebut kasih sayang Mamamu! Tapi Mamamu yang tidak mau memberikan kasih sayangnya padamu, Lyn!" Pak Aksara mengusap wajahnya dengan kasar. "Masuk ke mobil," perintahnya kemudian."Aku tidak mau, aku pulang naik motor dengan Bu Hasna," tolak Edlyn, tangannya menggamit lenganku."Lyn, kamu harus menuruti Papamu," bujukku.Edlyn tetap menolak, akhirnya Pak Aksara menyuruhku ikut naik mobil, sementara motorku dikendarai Ridwan--sopir pribadi Pak Aksara."Papa berencana akan memindahkanmu ke sekolah lain," kata Pak Aksara."Aku tidak mau pindah sekolah. Papa jangan khawatir, aku tidak akan menyerang Amanda lagi. Aku janji," sahut Edlyn.Mobil yang kami tumpangi
Aku memberikan catatan tambahan pada Lenni, ada beberapa barang yang dibeli Edlyn. Lenni memakai kacamata, fokus pada printilan angka. Lalu dia mulai sibuk dengan kalkulator."Ada dua es krim. Siapa yang makan?" Mata Lenni menatapku tajam, kacamatanya melorot sampai hidung."Aku," sahut Edlyn, yang juga sibuk dengan adonan tepung. "Satu aku berikan pada Bu Hasna, kalau makan dua es krim takut pipiku melar.Aku merogoh ke dalam kantong celana kulot panjang yang kupakai, mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu ke Lenni. "Ini aku ganti uangnya.""Eh, tidak perlu Bu Hasna," sergah Edlyn. "Papa tidak bakalan marah kok.""Ini adalah bentuk kejujuran kami, Non Edlyn," ujar Lenni."Lyn, minyaknya sudah panas ...." Aku mengingatkan.Buru-buru Edlyn mematikan kompor, dia nyengir lalu berkata, "Corndog-nya belum siap digoreng."Aku sibuk menaruh dan merapikan makanan kering di lemari kabinet dapur bagian atas. Makanan yang lama yang ters
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."Amanda tampak terperanjat."Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi.""Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn."Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn."Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn."Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap."Mama, pikir ....""Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara."Aku buat mie goreng.""Ayo, masuk."Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?""Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas."Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?""Baiklah, Nyonya."Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah."Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?""Sedikit," sahutku."Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.Aksara memang memberikan kejutan
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua."Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan."Sudah, Pa," jawab Amanda."Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar."Ada apa?" tanyaku."Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik.""Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas."Hasn