"Aku tidak mau diantar Mama ke sekolah."
Aku yang sudah memakai jaket dan meraih kunci motor dari atas kulkas, memandangi Amanda dengan heran. "Kenapa tidak mau?"
"Aku malu naik motor butut," sahut Amanda. "Dewi akan menjemputku."
"Tapi, Dewi belum punya SIM. Bahaya," sergahku.
"Bodo amat." Amanda bergegas ke luar rumah tanpa berpamitan.
Perlahan aku menghela napas, duduk lunglai di kursi meja makan. Amanda--putriku--tiga bulan lagi usianya genap 15 tahun. Tiap ukir wajahnya sangat mirip denganku.
Akhir-akhir ini sikap Amanda berubah, dia menjadi lebih penuntut. Dia Juga malu dengan kondisi kehidupan kami yang pas-pasan.
Ah, pagi ini aku ingat--harus membayar hutang di warung Mak Rum. Sekalian belanja, aku akan memasak semur ayam kesukaan Amanda. Setelah mengunci pintu, kulangkahkan kedua kaki menuju warung Mak Rum. Sinar mentari pagi cukup menyilaukan mata, warna kuning berpendar terang.
"Eh, Mbak Hasna ...." Perempuan yang selalu memakai daster dan celana olahraga itu tersenyum lebar. "Mau bayar hutang, ya?"
"Iya," jawabku singkat.
"Andaikan semua yang berhutang, membayar tepat waktu seperti Mbak Hasna, aku akan berteriak-teriak senang di atas genteng. Sayangnya, banyak yang molor ... kadang susah ditagih," keluh Mak Rum. "Mbak Hasna sedang libur kerja?"
Aku mengangguk.
"Weh, ada Mak Hasna. Kebetulan sekali." Bu Rusti yang baru datang terlihat senang melihatku. "Mengenai si Amanda ...."
Dahiku mengernyit. "Ada apa dengan Amanda, Bu? Apa dia nakal di sekolah?"
"Lebih dari itu." Bu Rusti bersemangat sekali.
"Maksudnya?" Aku sama sekali tidak mengerti.
"Winda kemarin lihat Amanda di mall, belanjaannya banyak banget. Amanda di gandeng mesra lelaki yang lebih tua, yang pantas jadi Papanya," ujar Bu Rusti.
"Jangan menuduh sembarangan, Bu Rusti. Mungkin anakmu salah lihat," sahut Mak Rum.
"Sebentar." Bu Rusti mengeluarkan ponsel dari dalam dompetnya. "Aku punya buktinya. Akan kukirim ya, Mbak Hasna."
Benar, tidak lama kemudian ada bunyi notifikasi pesan di ponselku. Bu Rusti mengirim satu foto.
"Bagaimana, Mbak Hasna? Aku tidak berbohong, kan?"
Mataku masih menelisik foto, antara percaya dan tidak, tetapi gadis di dalam foto memang benar Amanda. Sedangkan lelaki yang bersamanya tidak jelas wajahnya, karena menunduk dan tertutup topi baseball.
Mak Rum mendekat, dia ikut melihat foto di ponselku. "Iya, itu Amanda. Tapi, tidak bergandengan tangan. Ah, Bu Rusti sukanya melebih-lebihkan."
"Amanda itu sugar baby," ucap Bu Rusti seenaknya. "Peliharaan om-om kaya raya."
Dadaku menggelegak mendengar ucapan Bu Rusti. "Jaga bicaramu!" teriakku. Sugar baby adalah julukan halus untuk perempuan muda yang menjadi simpanan lelaki kaya.
"Kenyataannya memang begitu, jangan menutup mata. Atau jangan-jangan Mbak Hasna sudah tahu dan mendukung Amanda," tuduh Bu Rusti. Kedua sudut bibirnya mengembang senyum sinis.
"Aku berharap ada orang yang menyumpal mulutmu dengan cabe," kataku pada Bu Rusti. Si lebah gosip yang selalu mendengung di seluruh kompleks perumahan.
Lekas aku membayar hutang pada Mak Rum. Dan, berlalu pergi dari warung.
Tidak mungkin. Tidak mungkin.
Amanda tidak akan melakukan hal seperti itu. Ya, tidak mungkin.
Namun, foto Amanda bersama lelaki di mall tidak bisa diingkari. Tidak bisa ditampik. Gemuruh menyergap di bilik hati. Seolah ada ribuan jarum yang merajam jantung.
Sampai di rumah, aku lantas menggeledah kamar tidur Amanda. Di laci, di lemari. Nihil. Aku tidak menemukan apa pun. Tidak ada barang-barang yang mencurigakan. Aku melongok ke bawah tempat tidur, juga bersih.
Sebentar.
Aku yang hendak berdiri, merunduk kembali ke bawah tempat tidur. Aku melihat beberapa kantong belanja menempel di bagian bawah tempat tidur yang terbuat dari kayu, dengan cara di lakban. Dengan susah payah kuambil satu per satu.
Irama detak jantungku semakin cepat ketika barang-barang mahal terpapar di mata. Ada ponsel keluaran terbaru, merek buah apel--yang harganya tidak mungkin mampu bisa kubeli. Tas ransel, dua pasang sepatu, baju, dan ....
Satu gepok uang tunai 5 juta.
Astaga.
Aku terkulai lemas. Amandaku ... adalah anak baik-baik. Dia tidak mungkin menjual dirinya demi barang-barang dan uang.
Rasanya ngilu sekali. Amandaku bukan sugar baby seperti yang dikatakan Bu Rusti. Bukan.
Hari sudah bergulir sore. Sisi gelap mulai merangkak perlahan. Aku menyurukkan wajah di atas meja, dada ini serasa dipukul godam berkali-kali. Ini semua salahku, terlalu sibuk bekerja. Tidak memperhatikan Amanda dengan baik.Bekerja di toko roti menuntutku bekerja dua shift. Amanda sering menghabiskan waktu sendiri di rumah. Pontang-panting aku mencukupi kebutuhan hidup kami berdua.Aku mendengar suara Amanda yang berbalasan dengan suara Dewi. Kemudian suara kenop pintu terbuka, dan langkah kaki yang mulai mendekat."Mama, kenapa tidur di meja makan?"Aku mendongak. "Dari mana saja sampai pulang sore?""Oh, nonton pertandingan basket antar sekolah," jawab Amanda sembari melangkah masuk ke dalam kamarnya.Aku beranjak dari kursi, berjalan pelan ke kamar tidur Amanda. Kudapati dia berdiri termangu, menatap nanar barang-barang mahalnya yang berserak di lantai."Jawab dengan jujur, kamu memperoleh barang-barang itu dari mana?""A-k
Cukup lama aku mematung di sisi tempat tidurku.Setelah puluhan tahun senyap, tanpa sua, tanpa sapa apalagi aksara. Lelaki yang telah memahat cinta sekaligus lara, satu jam yang lalu tepat berdiri di depanku. Garis-garis wajahnya masih sama. Aku tidak menyangka, Om Dala yang dikenal Amanda adalah dia.Aku menghela napas lemah. Menarik diri di balik selimut. Tadi aku mampu meredam gejolak, nyatanya sekarang aku kelimpungan dengan rasa yang tidak bisa kuterjemahkan. Sehingga aku sulit merapatkan kedua mata."Mandala ...." gumamku lirih. Nama yang punah dari mulutku untuk sekian lama.Aku menutup wajah dengan bantal, menghalau suara denting hujan di atap juga menghalau rasa yang tidak tenteram. Mencoba menenggelamkan diri dalam lelap.Alarm yang berasal dari ponsel, berderit di telinga. Ah, kenapa cepat sekali hari menjelma pagi? Sepertinya baru satu detik aku tertidur pulas.
"Hasna!"Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga."Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi."Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup WhatsApp arisan. Si Rusti yang menyebarkan."Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala.""Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah."Iya, Mbak."Kuceritakan pada
Pagi hari pertama tanpa Amanda. Memang ada yang hilang dalam setiap helaan nafasku. Mata ini memandangi segelas susu di meja. Sadar Amanda tidak berada di rumah ini, tetapi aku tetap membuat susu untuknya.Aku meraih tas, melangkah ke luar rumah dengan gontai. Aku sudah menyalakan mesin motor, saat Retno datang menghampiri. Dia tetangga belakang rumah."Mbak Hasna, itu Bu Rusti lagi nyebar gosip di warung Mak Rum. Katanya semalam Amanda dibawa germo. Dan Mbak Hasna menerima uang jutaan karena menjual Amanda." Retno memberitahu."Pagi-pagi sudah buat masalah," sahutku, geram. "Perlu dibungkam tuh mulut peyot."Aku mengarahkan motor ke warung Mak Rum, aku masih punya waktu untuk mencakar pipi Bu Rusti.Benar si lebah gosip tengah dikerumuni lebah lain. Saling berdengung di hari yang masih pagi."Apa yang kalian bicarakan?" Aku menggulung lengan kemejaku. "Amanda dibawa germo? Amanda simpanan om-om kaya raya?!""Katanya Bu Rusti be
"Mama tidak perlu datang ke sekolah, Oma Rosie dan Mama Soraya yang akan mengurus semua keperluan sekolah," kata Amanda, menutup pintu mobil agak kasar. Mobil mewah itu pun meluncur di jalanan, membawa Amanda pergi.Hah, Mama Soraya? Aku tersenyum sendiri, rasa getir melingkup di dada.Aku merogoh ponsel yang berdering dari dalam tas, Mandala menelepon."Halo," sahutku sembari berjalan kembali ke motor."Apa bisa datang ke kantorku? Kita perlu bicara tentang Amanda.""Bisa, tunggu saja." Aku langsung mematikan panggilan. Kebetulan sekali aku juga ingin bicara dengan Mandala.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika kakiku berderap di lobi kantor Mandala. Aku berhenti di meja resepsionis, bertanya ruangan Mandala."Anda sudah ditunggu Pak Mandala. Silakan ikuti saya."Aku mengikuti perempuan mungil itu, sepatu high heels-nya
"Mama sekarang sensitif," sungut Amanda, menyambar tote bag. "Kenyataannya rumah ini mirip gubuk di tengah sawah.""Cukup!" teriakku, geram.Amanda tampak kaget, pucat."Mulai detik ini, mama tidak berharap kamu datang ke rumah ini. Mama tidak akan memintamu datang menemui mama. Terserah kamu mau melakukan apa," ucapku, berusaha merendahkan intonasi suara."Baik. Aku malah suka," sahut Amanda. "Jadi aku tidak ada beban untuk berkewajiban menemui mama."Aku tidak tahu apa keputusanku tepat. Semakin menarik Amanda, dia semakin melepaskan diri. Semakin kuikat kencang, dia semakin berontak. Dalam tahap ini aku ingin menepi. Memberikan kelonggaran pada Amanda. Apakah dia akan kembali? Hanya waktu yang bisa menjawab."Taksinya sudah datang, Mama akan mengantarmu.""Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Amanda berjalan keluar rumah.Setelah meng
Aku meraih selimut yang sering digunakan Amanda, bergelung di dalamnya--seolah dia ada di dekatku. Walaupun ada rasa sakit yang dahsyat, tetapi aku tidak bisa membenci putriku sendiri.Saking lelahnya aku pun terlelap jauh, melalui malam yang panjang, dan berhenti ketika pagi sudah menggenapi hari. Waktu berjalan maju, akan seperti itu sampai dunia lebur.Lenni memintaku datang tepat pukul tujuh pagi, jadi lekas aku mengeluarkan motor setelah minum secangkir kopi."Kamu kerja di mana, Hasna?" Mbak Niken sudah berdiri di teras, tangannya menenteng rantang makanan. "Pagi-pagi sudah berangkat.""Bersih-bersih di rumah besar, alias asisten rumah tangga," jawabku sambil menyalakan mesin motor."Wah, aku membawa bubur ayam untukmu, terus bagaimana?" tanya Mbak Niken, konyol.Aku turun dari motor, meraih rantang warna hijau muda dari tangan Mbak Niken. "Kebetulan aku belum sarapa
Aku mengusap lengan yang perih, kuku Amanda berbekas di permukaan kulit. Siluetnya menghilang dari pandangan."Dia murid baru, tapi kami tidak satu kelas, agak sombong. Aku tidak begitu menyukainya," ujar Edlyn."Agak sombong?""Iya. Menurutku dia juga norak.""Oh, begitu, ya?" Aku menghela nafas."Terima kasih, Bu Hasna. Sudah mengantar seragam olahraga, tadi pagi berangkatnya terburu-buru," ucap Edlyn, tersenyum. "Aku masuk kelas dulu.""Sama-sama, Lyn," sahutku.Edlyn berlari kecil meninggalkan pos satpam. Aku masih berdiri sejenak, melihat gedung sekolah bercat putih, lalu pada anak-anak yang sedang olahraga basket.Aku memutar badan, berjalan keluar dari pelataran sekolah--melewati pintu gerbang yang tinggi. Mengaitkan tali helm, meluncur dengan motor kembali ke rumah besar di kawasan elite.Lenni langsung menyongsong