Kamu harus memutar mencari parkiran. Akhirnya Mas Yuda menepikan mobil diseberang jalan. Didepan deretan ruko yang berjajar. Aku Keluar. mobil setengah berlari."Dek, pelan saja" ucapnya memintaku berjalan lebih pelan."Mas, aku mau memastikan dia Rani atau bukan!." ucapku tak sabar."Iya, mas tau. Tapi kalau kamu jatuh bagaimana?" May Yuda mengandengku.Aku akhirnya menurut, berjalan digandeng mas Yuda. Kami mencari jembatan penyeberangan jalan. Dari atas jembatan tempatku berjalan aku tak lagi melihat wanita tadi."Kok dia gak ada ya mas? " Aku bertanya khawatir."Mungkin masih disana, hanya tak terlihat dari sini dek" Mas Yuda mencoba menenangkan ku.Kami turun jembatan penyeberangan, aku menarik tangan mas Yuda setengah berlari. Kami kembali berjalan agak jauh ke arah wanita tadi kulihat."Mas, dimana dia mas?" Aku melihat kesekitar. Tak lagi menemukannya di tempat tadi.Mas Yuda memperhatikan ke semua arah, baru saja kami berputar dia sudah tak ada di tempatnya."Kita jalan kesa
Kami membawa Rani ke rumah sakit besar. Namun Dokter merujuknya ke rumah sakit jiwa. Dirumah sakit jiwa, Rani tertidur setelah dimandikan dan berganti baju. Dia masih sering menolakku, namun tiba-tiba menagis meminta maaf.Depresi. Kalimat itu yang diucapkan dokter padaku dan mas Yuda. Rani terlalu takut akan sesuatu. Sehingga dia tertekan dan jadi tak bisa membedakan mana halusinasinya dan mana kenyataan."Apa yang akan kita lakukan mas?" Aku bertanya pada mas Yuda. Mengingat kami tak ada hubungan darah apapun dengannya, kami membutuhkan walinya untuk perawaran lebih lanjut.Terlebih Bayinya yang sekarang dirawat dirumah sakit sendirian, bayi itu butuh keluarganya untuk berjaga. Aku tak mungkin bisa selalu ada. Aku punya dua anak dirumah yang juga butuh perhatianku."Apa kita bisa menemui keluarga mas Aldo? Rani masih istrinya, mas Aldo dan keluarganya harus bertanggung jawab mas""Mas fikir juga begitu. Tapi jika kamu merasa tak nyaman dek, mas bisa kesana dengan Arya?"Benar. Mung
Pagi itu kami semua ikut kerumah mas Aldo. Tak hanya Fatih dan Aisyah. Kania, Siti, bahkan ibu juga ikut berkunjung. Ibu juga ingin mengunjungi mbak Yayuk. Selama ini, ibu belum pernah sekalipun kerumah mbak Yayuk.Mereka hanya akan menunggu dari rumah mbak Yayuk. Mas Yuda masih menunggu Arya dan Akmal datang. Akmal memutuskan ikut, setelah semalam dia menunggu bayi mas Aldo dan Rani dirumah sakit.Rumah ibu Ida terlihat sedikit ramai. Sepeda motor dan mobil banyak terparkir juga di depan rumah. Mungkin teman mas aldo datang, mas Aldo sering Kedatangan temannya dirumah. Dulu saat aku masih jadi istrinya, dia akan sangat senang memamerkan masakanku pada teman kerjanya."Mas Tri kemana mbak? Kok sepi." Mas Yuda bertanya saat kami baru saja masuk kedalam rumah."Mancing sama Zakka. Biasa, anak cowok memang akan lebih klop sama Bapaknya" mbak Yayuk bicara sambil mendekatiku. "Wadududuh ponakan ganteng ini, bobok terus." Mbak Yayuk mengambil Fatih dari gendonganku."Betul. Ini juga lebih k
Apa yang sebenarnya ada di fikiran kalian!" Akmal berteriak dihadapan semua orang. Membuat bisikan demi bisikan semakin terdengar sumbang."Berhentilah bicara Akmal, jangan membuat suasana semakin tak tenang!" Aldo membuka suara."Kamu memang harusnya tak tenang mas!""Maksud kalian apa sih, ada yang bisa jelaskan sesuatu?" Perempuan disamping Aldo akhirnya bicara."Gak apa dek. Sudah kita kedalam saja." Aldo mulai melangkah pergi."Anakmu sakit mas!" Kalimat itu akhirnya terlontar juga dari mulut Akmal. Membuat wajah ibu semakin marah padanya. "Teganya kamu membuang anakmu sendiri!""Anak mana?" Ucap ibu, dia berlagak tak tau. Jahat sekali sikap ibu ini."Anak mas Aldo dengan Rani! Dia sedang sakit bu, butuh kasih sayang mas Adlo, Bapaknya!""Kamu punya anak lain mas? Katakan Mas, siapa Rani itu?""Nanti mas jelaskan sayang. Nanti kita bicara lagi
Kami pulang kerumah. Masih tak percaya dengan apa yang kami lihat dirumah ibu mas aldo siang tadi. Mengapa dengan mudahnya hati patah berganti baru. Seperti rasa yang ada hanya sekedar sebuah tempat untuk singgah sebentar "Kenapa mas Aldo gampang sekali berganti pasangan ya mas?" Aku sedang duduk berdua dengan mas Yuda di balkon kamar. Fatih sudah tidur di boks bayinya, dan Aisyah memilih tidur dengan Siti dan Kania malam ini. Kami jadi memiliki waktu untuk berbagi rasa." mungkin selama ini yang dia lakukan adalah menikahi, bukan mencintai." Mas Yuda tidur dalam pangkuanku. Bulan kini bersinar terang. Kami juga menikmati bintang yang bertaburan begitu banyak malam ini.Aku mengusap kepalanya yang nyaris botak, potongan rambur yang tak pernah berubah sejak pertama kami bertemu. "Bukankah menikah itu karena sayang mas? Seperti aku, aku menerimamu karena memang aku merasakan ada cinta dan sayang untukmu.""Itu kamu, orang lain beda lagi" dia mengusap telapak tanganku di pipinya."Kal
"Siapa yang lempar ini!" Mas Yuda berteriak lantang. Memecah pagi kami yang damai. Dia terlihat marah kali ini.Bungkusan bangkai ayam, membusuk bercampur belatung jatuh di balik pagar rumah. Dua satpam kami mengejar seseorang yang melemparnya dengan sengaja dari celah pagar. Mbak Warti langsung membersihkanya.Perutku mual melihat belatung itu bergerak di antara cairan hitam pekar dan berbau. Kania bahkan sudah lari kekamar mandi sejak melihatnya tadi. Ayu dan santi langsung membawa Aisyah dan Fatih masuk kerumah."Kamu lihat yang lempar yu?" Aku menyusul Ayu diruang tengah."Cuma suara motor saja bu. Orangnya gak lihat"Jawabnya sambil mendorong Fatih dalam stroller."Saya juga gak lihat bu, cuma klebatan orang, pakai jaket hijau" Santi menambahkan."Bunda, bukan orang jahat kan bun?" Aisyah memeluk pinggulku erat. Gadis ini pasti takut ada lelaki jahat lagi akan mengambilnya."Bukan sayang. Aisyah jangan takut ya. Bunda yang akan jaga Isah." Aku jongkok memeluknya. Ia nampak keta
Setelah bersaksi di kantor polisi. Kami memutuskan menemui keluarga ojol itu. Sejak di pos hingga ke kantor polisi, sebenarnya dia tak berhenti memohon. Namun mas Yuda tetap kekeh membawanya kekantor polisi."Kenapa kita tidak lepaskan saja lelaki itu mas?"Aku menatap mas Yuda yang fokus melihat kearah jalan."Kenapa? Bukannya kamu sangat marah tadi dek?" Aku menghela nafas. Sedikit menyesal memperlakukan lelaki tadi begitu kasar. " Aku tau mas, tapi melihat dia yang mengiba karena dia tulang punggung keluarga. Aku jadi tak tega.""Karena dia tulang punggung keluarga dek, harusnya dia tak berbuat begitu!" Aku mendengar nada marah dalam kalimat mas Yuda."Dia terpaksa mas. Bukanya tadi dia bilang begitu. Mas juga dengar kan?"" Menafkahi itu kewajiban, tak lantas membenarkan sebuah kesalahan dek. Justru karena dia seorang ayah, harusnya dia malu menerima pekerjaan tak baik untuk memberikan anaknya makan!"Aku terdiam. Tak menyangka pemikiran mas Yuda sangat jauh kearah lain. "Orang
"Mas Yuda...!" Mbak Nadira berdiri, menatap mas Yuda berbeda. Tatapanya sendu, aku tau dia masih memiliki rasa yang sama seperti dulu.Kami datang kembali kekantor polisi. Mbak Nadira sudah disana sejak pagi tadi. Aku berdiri disamping mas Yuda, menyaksikan wanita itu menyentuh pipi suamiku."Kamu kesini untukku mas?" Begitu kalimat yang kudengar. Membuat hatiku berdesir menahan gejolak.Mas Yuda memjauhkan tangannya. Lalu perlahan berjalan kearah lain, menuju kursi di sudut ruangan. Sofa kulit berwarna coklat menyambut kami duduk. Ruang ini masih sebuah ruang devisi penyelidikan. Jadi kami masih bisa duduk nyaman dengan sofa yang empuk.Mataku dan mbak Nadira bertemu. Dia menunjukkan rasa tak sukanya. Bahkan sempat kudengar umpatan lirih dari bibirnya. Bisa saja aku membalas, namun harga diriku lebih dari sekedar mengumpat sampah.Aku duduk di dekat mas Yuda. Melingkarkan tangan ini di antara lengannya dan mengen