"Mas Yuda...!" Mbak Nadira berdiri, menatap mas Yuda berbeda. Tatapanya sendu, aku tau dia masih memiliki rasa yang sama seperti dulu.
Kami datang kembali kekantor polisi. Mbak Nadira sudah disana sejak pagi tadi. Aku berdiri disamping mas Yuda, menyaksikan wanita itu menyentuh pipi suamiku."Kamu kesini untukku mas?" Begitu kalimat yang kudengar. Membuat hatiku berdesir menahan gejolak.Mas Yuda memjauhkan tangannya. Lalu perlahan berjalan kearah lain, menuju kursi di sudut ruangan. Sofa kulit berwarna coklat menyambut kami duduk. Ruang ini masih sebuah ruang devisi penyelidikan. Jadi kami masih bisa duduk nyaman dengan sofa yang empuk.Mataku dan mbak Nadira bertemu. Dia menunjukkan rasa tak sukanya. Bahkan sempat kudengar umpatan lirih dari bibirnya. Bisa saja aku membalas, namun harga diriku lebih dari sekedar mengumpat sampah.Aku duduk di dekat mas Yuda. Melingkarkan tangan ini di antara lengannya dan mengenPov Author"Apa kami bahagia mas?" Alan menatap tajam Yuda. Mantan kakak iparnya ini, kini terlihat lebih bersih dan berseri."Bahagia dengan apa?""Pernikahanmu sekarang?.""Apa kamu melihat kesedihan padaku saat ini?"Alan tersenyum. "Ya aku bisa melihat dirimu berbeda mas. Dunia sesempit ini ternyata, kamu menikahi mantan adik iparku." Alan mengambil kopi di meja, menghirupnya sebentar dan meneguknya sedikit."Aku tak punya banyak waktu Alan, katakan saja apa alasanmu memintaku bicara berdua?"Alan meletakkan cangkir kecil itu du meja. "Kamu sudah bertemu mbak Nadira mas?""Sudah. Kenapa?""Keadaannya memprihatinkan ya mas?"Yuda melipat tangannya di dada. Menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap tajam kearah Alan. "Hanya itu yang ingin kamu tanyakan?" Yuda mengangkat kedua alisnya."Maksud mas Yuda?""Kamu hanya ingin bertanya apakah aku prihatin dengan Nadira?""Yaa mas, aku tau kamu pasti juga melihatnya menderita. Aku ingin kamu melepaskannya.""Kamu memintaku melepaskan
Menjelang malam, deru mobil mas Yuda masuk kedalam garasi. Aku yang tengah belajar dengan Aisyah menunggunya masuk kedalam dengan cemas."Bunda, mangga itu 'g' nya berapa sih?" Gadis yang akan segera masuk sekolah dasar itu bertanya. Dia memang sudah lancar membaca. Hanya terkadang masih sulit membedakan mana yang harus mendapat dua huruf yang sama."Dua sayangku. Mangga itu 'g' nya ada dua."Gadis itu menganggukkan kepalanya, dia sibuk menyibakkan poninya yang mulai panjang menutup sedikit matanya."Sini bunda jepit rambutnya. Besok kita potong ya poninya." Kujepit poni itu kesamping. Gadis dengan lesung pipi itu kembali sibuk menulis. Dia duduk di atas karpet untuk belajar."Assalamualaikum" Suara mas Yuda masuk kedalam rumah. Dia lewat pintu samping yang berada tepat di sebelah sofa tempat kamu duduk sekarang."Waalaikumsalam." Aku berdiri mengambil tangannya. Kucium perlahan tangan yang selalu membuatku damai. " Mau minum mas?"Mas Yuda duduk sebentar di sofa belakang Aisyah. Meng
Aku dan ibu sudah bangun sejak pagi buta. Bahkan sebelum Azan subuh terdengar kami sudah sibuk memasak didapur. "Ikannya sudah digoreng bu, tinggal bikin sup buat Aisyah. Nanti saja Sari buat, biar anget" aku mengangkat ikan terakhir dari pengorengan dan meniriskannya pada wadah yang sudah ada."Yasudah, ibu juga sudah selesai. Nanti setelah subuh baru kita masukkan kedalam wadah tertutup." Ibu melepas tali celemek dari lehernya dan mengantungnya di sisi dapur.Hari ini kami akan pergi berlibur. Setelah menangis semalam aku memikirkan untuk membuat kenangan sebelum mas Yuda berangkat. Aisyah akan sangat senang tentunya, jika bisa menghabiskan waktu bersama Ayah botak sebelum mereka berpisah.Suara azan terdengar saat aku menaiki tangga. Mas Yuda sudah bangun dan bersiap sholat dengan sarung tenun merah kesukaanya. "Shalat berjamaah?" Tanyanya padaku.Aku menganggukan kepala dengan senyum yang lebar. "Iya mas, adek ambil wudhu dulu." Tentu saja aku ingin sholat bersamanya, karena set
" Ingat pesan mas ya dek. Ingat semua yang sudah adek lalui untuk bahagia. Ingat selalu untuk kuat dan berjuang." Dia membelai wajahku. Kugengam tangan kekarnya yang hangat. "Insyaallah mas. Segeralah pulang. Aku dan anak-anak menunggumu." Bisikku ditelinganya. Dia menarikku dalam dekapan. Tumpah lagi air mata ini. Meski mencoba kuat, nyatanya batinku tetaplah rapuh.Mas Yuda melepaskan pelukanku, mencium kening ini dengan hangat. Dia mengendong Fatih dan menciumnya juga dan terakhir Aisyah. Gadis kecil itu tiba-tiba merajuk. Menutup wajahnya dalam perut mbak Yayuk."Cantik... Tak mau peluk Ayah?" Mas Yuda merayunya. Menariknya perlahan dalam gendongan.Aisyah memeluk erat Ayahnya. Tangisnya pecah dalam gendongan mas Yuda. "Hey sayangku, bukankah kita sudah bicara. Aisyah akan jaga bunda kan? Komandan Aisyah jangan nangis dong!" Mas Yuda masih merayu. Gadis kecil itu perlahan mengangkat wajahnya. "Aisyah sayang
" Sejak kapan kamu begini?" Aku bertanya pada Akmal. Kami duduk di taman berdua. Sementara Rani di biarkan duduk didepan kami sendiri. Akmal mengharapkannya ke kolam air mancur. Dia merasa senang setiap kali melihat air itu melayang dan meluncur jatuh kedalam kolam."Sejak mbak memberi tau mbak Rani disini""Selama itu?" Aku terkejut dengan ucapannya. Ini sudah lebih dari sebulan sejak kutemukan Rani di taman kota.Dia hanya menganggukan kepala. Tatapannya lurus melihat punggung Rani. " Jika boleh mbak tau, kenapa? Bukankah kamu sangat membenci wanita yang sekarang duduk di kursi roda itu?"Akmal tersenyum tipis. "Aku memang tak menyukai caranya mendapatkan mas Aldo mbak. Namun tak adil juga dia disingkirkan hanya karena bayinya tak sempurna."Akmal benar. Tak adil memang apa yang sudah di lakukan Ibu dan kakaknya Aldo. Bagaimanapun Rani adalah gadis pilihan mereka untuk mengantikanku sebagai menantu. Bahkan Aldo
Rumah bercat hijau yang megah, lebih tinggi dari bangunan lain di tempat ini. Pagarnya yang menjulang tinggi, mengingatkanku pada kastil dalam dongeng anak. Aku memarkirkan mobilku diseberang jalan. Di tepian lapangan bola, dibawah pohon mangga.Aku menyeberang setapak kecil itu. Menyenyuh pintu gerbang yang menjulang tinggi nan megah. Betulkah ini rumahnya?Aku melihat kesekitar tak ada siapapun yang bisa di tanyai. Bahkan gerbang ini terlunci dari dalam. Jika aku mengetuk, sopankah?""Ngolek i sopo nduk?" (Cari siapa nduk?)Lelaki tua berkaus camping dengan peluh menetes berjalan menghampiri. Rumput memyembul dalam kresek putih di punggungnya. "Rumah pak Handoko njeh?" Aku bertanya."Iyo, cari pak Haji atau bu Hajah?"Aku berfikir sebentar. "Em, dua-duanya pak. Tapi pintunya dikunci"Lelaki itu melihat ke arah gerbang. "Walah memang selalu di kunci ndok. Nih di pencet saja sakelarnya""Sakelar?" Aku melihat tangan Bapak tadi menunjuk.
Tubuh tua itu terguncang. Hanya parau tangis kudengar sejak tadi. Air mata yang mungkin dicoba tahan sejak lama. Berusaha tegar menghadapi pahitnya lara. Akhirnya tak lagi dapat di bendung."Mbak ini sebenarnya siapa?" Lelaki berbaju angkatan laut difoto kini duduk di depanku. Merangkul erat tubuh tua orang tuanya."Saya Sari, saya hanya kebetulan bertemu Rani karena takdir"Ibu Rani menatapku lekat. "Apa kamu ini istri pertamanya Aldo?""Betul bu, lebih tepatnya mantan istrinya sekarang"Wanita itu justru kembali menangis. Disekanya air mata yang terus menganak sungai. Tak tertahan, kini dia membenamkan wajah didada anak lelakinya.Sang ayah mengatur nafas. Aku tau bukan nafasnya yang sesak. Namun cerita pahit putrinya yang membuat segalanya sesak dirasa. "Sejujurnya, kami tak lagi punya muka dihadapan mbak Sari" Ayah Rani membuka kalimat. "Malu saya ini mbak, malu sebagai Bapak, saya gagal mendidiknya dengan baik!" Ucapnya dengan amarah yang tertahan."Sabar pak sabar" Anak lelaki
"Hay dek" Suara dari sebrang membawaku dalam senyuman. Dia tersenyum menatap layar. Nampak lelah tergambar dari gurat wajahnya, namun ia tetap terlihat baik-baik saja."Sudah keluar dari hutan mas?" Tanyaku. Dia sedang merebahkan diri di atas matras."Sudah, sekarang sedang di pos. Mungkin nanti sore kami kembali masuk hutan, ke post selanjutnya." "Oh, begitu. Sudah makan?" "Sudah, Tentara itu koki ajaib. Dia lebih pandai masak dari pada ibu rumah tangga. Dalam keadaan darurat" Tawanya.Aku ikut tertawa juga. "Baru masuk bulan ke dua, tapi rasanya lama sekali mas" "Sabar ya. ""Iya, aku sabar. Kalau saat ini bukan tugas, sudah kususul kamu ke Irian Jaya." " Jangan menyusul, nanti mas gak bisa patroli. Maunya dekat kamu saja dek." Goda.nya, berhasil membuatku malu-malu. "Dimana anak-anak?"Dia bertanya.Aku berjalan memperlihatkan Fatih yang sedang tidur. " Dia sedang tidur. Aisyah masih disekolah." ."Tampannya anakku. Mirip Ayahnya ya dek"Aku tersenyum mengiyakan saja. "Nanti