" Sejak kapan kamu begini?" Aku bertanya pada Akmal. Kami duduk di taman berdua. Sementara Rani di biarkan duduk didepan kami sendiri. Akmal mengharapkannya ke kolam air mancur. Dia merasa senang setiap kali melihat air itu melayang dan meluncur jatuh kedalam kolam.
"Sejak mbak memberi tau mbak Rani disini""Selama itu?" Aku terkejut dengan ucapannya. Ini sudah lebih dari sebulan sejak kutemukan Rani di taman kota.Dia hanya menganggukan kepala. Tatapannya lurus melihat punggung Rani. " Jika boleh mbak tau, kenapa? Bukankah kamu sangat membenci wanita yang sekarang duduk di kursi roda itu?"Akmal tersenyum tipis. "Aku memang tak menyukai caranya mendapatkan mas Aldo mbak. Namun tak adil juga dia disingkirkan hanya karena bayinya tak sempurna."Akmal benar. Tak adil memang apa yang sudah di lakukan Ibu dan kakaknya Aldo. Bagaimanapun Rani adalah gadis pilihan mereka untuk mengantikanku sebagai menantu. Bahkan AldoRumah bercat hijau yang megah, lebih tinggi dari bangunan lain di tempat ini. Pagarnya yang menjulang tinggi, mengingatkanku pada kastil dalam dongeng anak. Aku memarkirkan mobilku diseberang jalan. Di tepian lapangan bola, dibawah pohon mangga.Aku menyeberang setapak kecil itu. Menyenyuh pintu gerbang yang menjulang tinggi nan megah. Betulkah ini rumahnya?Aku melihat kesekitar tak ada siapapun yang bisa di tanyai. Bahkan gerbang ini terlunci dari dalam. Jika aku mengetuk, sopankah?""Ngolek i sopo nduk?" (Cari siapa nduk?)Lelaki tua berkaus camping dengan peluh menetes berjalan menghampiri. Rumput memyembul dalam kresek putih di punggungnya. "Rumah pak Handoko njeh?" Aku bertanya."Iyo, cari pak Haji atau bu Hajah?"Aku berfikir sebentar. "Em, dua-duanya pak. Tapi pintunya dikunci"Lelaki itu melihat ke arah gerbang. "Walah memang selalu di kunci ndok. Nih di pencet saja sakelarnya""Sakelar?" Aku melihat tangan Bapak tadi menunjuk.
Tubuh tua itu terguncang. Hanya parau tangis kudengar sejak tadi. Air mata yang mungkin dicoba tahan sejak lama. Berusaha tegar menghadapi pahitnya lara. Akhirnya tak lagi dapat di bendung."Mbak ini sebenarnya siapa?" Lelaki berbaju angkatan laut difoto kini duduk di depanku. Merangkul erat tubuh tua orang tuanya."Saya Sari, saya hanya kebetulan bertemu Rani karena takdir"Ibu Rani menatapku lekat. "Apa kamu ini istri pertamanya Aldo?""Betul bu, lebih tepatnya mantan istrinya sekarang"Wanita itu justru kembali menangis. Disekanya air mata yang terus menganak sungai. Tak tertahan, kini dia membenamkan wajah didada anak lelakinya.Sang ayah mengatur nafas. Aku tau bukan nafasnya yang sesak. Namun cerita pahit putrinya yang membuat segalanya sesak dirasa. "Sejujurnya, kami tak lagi punya muka dihadapan mbak Sari" Ayah Rani membuka kalimat. "Malu saya ini mbak, malu sebagai Bapak, saya gagal mendidiknya dengan baik!" Ucapnya dengan amarah yang tertahan."Sabar pak sabar" Anak lelaki
"Hay dek" Suara dari sebrang membawaku dalam senyuman. Dia tersenyum menatap layar. Nampak lelah tergambar dari gurat wajahnya, namun ia tetap terlihat baik-baik saja."Sudah keluar dari hutan mas?" Tanyaku. Dia sedang merebahkan diri di atas matras."Sudah, sekarang sedang di pos. Mungkin nanti sore kami kembali masuk hutan, ke post selanjutnya." "Oh, begitu. Sudah makan?" "Sudah, Tentara itu koki ajaib. Dia lebih pandai masak dari pada ibu rumah tangga. Dalam keadaan darurat" Tawanya.Aku ikut tertawa juga. "Baru masuk bulan ke dua, tapi rasanya lama sekali mas" "Sabar ya. ""Iya, aku sabar. Kalau saat ini bukan tugas, sudah kususul kamu ke Irian Jaya." " Jangan menyusul, nanti mas gak bisa patroli. Maunya dekat kamu saja dek." Goda.nya, berhasil membuatku malu-malu. "Dimana anak-anak?"Dia bertanya.Aku berjalan memperlihatkan Fatih yang sedang tidur. " Dia sedang tidur. Aisyah masih disekolah." ."Tampannya anakku. Mirip Ayahnya ya dek"Aku tersenyum mengiyakan saja. "Nanti
Pov Author Sari turun kelantai bawah. Setelah sebelumnya mengantarkan Aisyah sekolah. Dia kembali lagi kekamar untuk memejamkan mata barang sebentar. Sejak mimpinya kemarin, Sari seperti tersandera dalam fikiran buruknya sendiri. Matanya bahkan tak dapat terpejam sebentar saja. Hati dan fikirannya terus berbutar dalam tanya.Namun mendengar kegaduhan di bawah, ia putuskan untuk turun. Ia melihat mbak Yayuk dan mbak Nur duduk bersama ibu dan Kania di ruang tengah. Mereka Menatapnya canggung. Mbak Yayuk berdiri dan mendekati adik iparnya dengan langkah gontai. Sementara ibu Sari mendekap erat Kania.Mbak Yayuk memeluk Sari erat. Isakannya terdengar semakin kencang dan menyayat. "Maafkan Yuda ya dek. Maafkan Yuda" Ucapnya, membuat darah adik iparnya berdesir.Derup jantungnya kian berpacu, menyadari ada yang tak benar dari kedatangan mereka, Sari mengingat jelas mimpinya kemarin. "Ada apa mbak?" Dia bertanya, masih mencari jawaban yang tak ingin didengarnya."Duduklah dulu Sari" mbak Nu
Peti kayu tertutup bendera kebanggaan, memeluk jasadmu dalam pembaringan. Tubuhmu masih tegap mas, wajahmu bersih, kau tersenyum dalam tidur panjang. Dada bidang yang hangat, tempat kami bersandar kini dingin, tak mampu lagi menenangkan jiwaku. Kini hanya dapat kupeluk kenangan, kini hanya dapat kutemukan dirimu dalam dingin dan diam. Mengapa dunia begitu kejam, menerbangkanku dalam bahagia ke kumpulan awan, lalu menghempaskanku kembali pada kepedihan."Sabar mbak, mas Yuda sudah tenang, ikhlaskan ya mbak" Siti mendekapku sejak Jenazah itu masuk kedalam rumah.Mas Sutrino dan mbak Yayuk yang mengurus semuanya. Aku hanya menunggunya pulang kerumah kami. Rumah yang ada banyak leluconnya setiap hari. Dia selalu membuatku tertawa dalam candanya.Aku terkulai tak berdaya, memeluk rindu namun yang datang hanya raga tanpa jiwa. Bagaimana harus kujalani hariku tanpa hadirmu mas? bila mencintaimu seperti candu, berapa lama aku harus berjuang menyembuhkan kehilanganku."Minum dulu mbak." Kani
Untuk Hapsari, belahan jiwaku.Bila kau baca surat ini, maka berarti aku tak dapat pulang memelukmu. Mas harus menunaikan bakti mas pada negeri, tanpa bisa memilih karena keadaan dan takir. Bila surat ini sampai di tanganmu, berarti mas tak mampu lagi bertahan. Harus pergi karena tugas yang mas emban.Saat kami pergi berjuang, sekeras mungkin kami berjuang, bertahan agar bisa pulang, memeluk hangat kembali anak dan istri terkasih. Namun bila hanya raga yang sampai, percayalah di hati kami tertulis nama kalian.Mas menulis ini karena mas tau, hari ini dan esok bisa saja mas harus rela pergi tanpamu Dek. Mas menulis ini hanya ingin kau tau, betapa mas berjuang agar tetap bisa pulang.Jangan menyalahkan dunia atas apa yang sudah tergaris. Percayalah, jika takdir ini berlaku untukmu, itu karena kamu mampu. terimakasih sudah membuatku sempurna. Menyempurnakan rasaku dan cintaku. Maafkan mas hanya dapat membawa raga ini pulang, maafkan mas tak dapat memenuhi janji mas untukmu dan anak-an
"Assalamualaikum mak, mau ambil pesanan"Aku masih memperhatikan lelaki itu. Dia memakai baju koko warna abu dan celana kain hitam. Aku melihatnya dan dia sempat melihatku sebentar lalu mengalihkan pandangannya.Mak Idah berjalan keteras. "Lho mas Atnan, kok tumben ambil sendiri?""Iya Mak, yang lain sedang bantu Umi di rumah.""Owalah, saya ambil dulu mas pesanannya" mak Idah kembali masuk.Aku memperhatikannya lagi. Iya, aku jadi ingat dia mas Atnan. Beberapa kali kami pernah bertemu, namun setelah aku menikah, dia tak pernah terlihat lagi."Mas Atnan ya?" Aku mencoba bertanya. Namun dia hanya tersenyum. Seperti menjaga jarak.Apa dia lupa padaku? Padahal kami pernah mengobrol lama di toko. tokoku dan warung makan usahanya berhadapan, tapi aku tak pernah sekalipun melihatnya."Ini mas pesanannya. Mak bantu bawakan kemobil ya?" Mak Idah membawa sekeranjang besar sayuran segar di tangannya."Mbotensah mak, Saya bawa saja. Ini uang sayurnya. Dua hari lagi saya ambil sayur seperti bias
Pagi hari aku sudah berangkat, lebih dulu aku kerumah mbak Yayuk. Ada yang ingin aku bicarakan padanya mengenai harta peninggalan mas Yuda.Kuparkir mobil di depan gerbang. Rumah yang dulu aku tempati, kini sudah jadi taman bermain, beberapa anak bari saja di antar kedalam. Dan dua guru yang baru kulihat berdiri di pagar sekolahnya. Akhirnya rumah ini lebih bermanfaat untuk banyak orang.Aku membuka gerbang rumah mbak Yayuk. Kakiku mulai melangkah masuk kedalam rumah, bau masakan mbak Yayuk sudah terbang hingga ke depan jalan. "Wangi sekali mbak"Mbak Yayuk yang sedang menumis bumbu melihat kearahku. "Hey, sudah sarapa? Makan ya, mbak masak semur ayam"Aku hanya tersenyum. Rasa masakan bagiku kini tak lagu nikmat, aku makan hanya untuk sekedar mengisi perut. Karema harus menyusui Fatih dan memompa ASiku untuknya."Sedang masak apa mbak?" Aku beralih melihat wajan di atas kompor."Ini, bumbu sop galantin. Mbak mau jenguk bu salamah nanti siang. Yang rumahnya di gang depan itu."Aku me