Untuk Hapsari, belahan jiwaku.Bila kau baca surat ini, maka berarti aku tak dapat pulang memelukmu. Mas harus menunaikan bakti mas pada negeri, tanpa bisa memilih karena keadaan dan takir. Bila surat ini sampai di tanganmu, berarti mas tak mampu lagi bertahan. Harus pergi karena tugas yang mas emban.Saat kami pergi berjuang, sekeras mungkin kami berjuang, bertahan agar bisa pulang, memeluk hangat kembali anak dan istri terkasih. Namun bila hanya raga yang sampai, percayalah di hati kami tertulis nama kalian.Mas menulis ini karena mas tau, hari ini dan esok bisa saja mas harus rela pergi tanpamu Dek. Mas menulis ini hanya ingin kau tau, betapa mas berjuang agar tetap bisa pulang.Jangan menyalahkan dunia atas apa yang sudah tergaris. Percayalah, jika takdir ini berlaku untukmu, itu karena kamu mampu. terimakasih sudah membuatku sempurna. Menyempurnakan rasaku dan cintaku. Maafkan mas hanya dapat membawa raga ini pulang, maafkan mas tak dapat memenuhi janji mas untukmu dan anak-an
"Assalamualaikum mak, mau ambil pesanan"Aku masih memperhatikan lelaki itu. Dia memakai baju koko warna abu dan celana kain hitam. Aku melihatnya dan dia sempat melihatku sebentar lalu mengalihkan pandangannya.Mak Idah berjalan keteras. "Lho mas Atnan, kok tumben ambil sendiri?""Iya Mak, yang lain sedang bantu Umi di rumah.""Owalah, saya ambil dulu mas pesanannya" mak Idah kembali masuk.Aku memperhatikannya lagi. Iya, aku jadi ingat dia mas Atnan. Beberapa kali kami pernah bertemu, namun setelah aku menikah, dia tak pernah terlihat lagi."Mas Atnan ya?" Aku mencoba bertanya. Namun dia hanya tersenyum. Seperti menjaga jarak.Apa dia lupa padaku? Padahal kami pernah mengobrol lama di toko. tokoku dan warung makan usahanya berhadapan, tapi aku tak pernah sekalipun melihatnya."Ini mas pesanannya. Mak bantu bawakan kemobil ya?" Mak Idah membawa sekeranjang besar sayuran segar di tangannya."Mbotensah mak, Saya bawa saja. Ini uang sayurnya. Dua hari lagi saya ambil sayur seperti bias
Pagi hari aku sudah berangkat, lebih dulu aku kerumah mbak Yayuk. Ada yang ingin aku bicarakan padanya mengenai harta peninggalan mas Yuda.Kuparkir mobil di depan gerbang. Rumah yang dulu aku tempati, kini sudah jadi taman bermain, beberapa anak bari saja di antar kedalam. Dan dua guru yang baru kulihat berdiri di pagar sekolahnya. Akhirnya rumah ini lebih bermanfaat untuk banyak orang.Aku membuka gerbang rumah mbak Yayuk. Kakiku mulai melangkah masuk kedalam rumah, bau masakan mbak Yayuk sudah terbang hingga ke depan jalan. "Wangi sekali mbak"Mbak Yayuk yang sedang menumis bumbu melihat kearahku. "Hey, sudah sarapa? Makan ya, mbak masak semur ayam"Aku hanya tersenyum. Rasa masakan bagiku kini tak lagu nikmat, aku makan hanya untuk sekedar mengisi perut. Karema harus menyusui Fatih dan memompa ASiku untuknya."Sedang masak apa mbak?" Aku beralih melihat wajan di atas kompor."Ini, bumbu sop galantin. Mbak mau jenguk bu salamah nanti siang. Yang rumahnya di gang depan itu."Aku me
Ibu masih terlihat menangis. Beberapa warga memeluknya dengan erat. Sebentar kemudian mobil lain mendekat. Lalu seseorang turun daru dalam mobil."Mas Alan" Ucapku pelan. Tiba-tiba aku begitu khawatir, terlihat mas Alan datang dengan membawa Arcila dan Almira, tanpa mbak Asya.Mbak Nur tiba-tiba berlari kearah kami. "Mbak, siapa yang meninggal?""Kamu belum dengar Sari?" Mbak Nur berbalik tanya.Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tau mbak. Memang siapa?""Asya..."Astagfirullah...!Tubuhku tiba-tiba bergetar karena terkejut. Mbak Asya meninggal? Kenapa mbak Asya bisa meninggal? Bukankah kudengar terakhir kali dia akan menikah lagi."Jangan bercanda kamu Nur, bukanya Asya mau menikah bulan depan?" Mbak Yayuk bertanya. Sepertinya sama sepertiku, mbak Yayuk juga terkejut dan tak percaya."Masak berita orang mati aku buat-buat to mbak. Kalau aku buat-buat, menurut mbak siapa yang ada dalam peti itu?""Gak tau Nur, Aldo mungkin lebih pantas!" Ucap mbak Yayuk. "Lelaki tak tau diri itu pa
"Aku hanya ingin bersamamu dek sari!" Mas Aldo mencegahku pulang dari toko.Entah hari keberapa ini, dia terus datang kemari. Tanpa henti dan tak kenal lelah. Aku bahkan merasa benar-benar sudah terganggu."Biarkan aku bersamamu dek..." Dia mencengkeram tanganku dengan erat. Kucoba melepasnya, namun tetap saja tak bisa. " Dengarkan dulu sari, aku dulu begitu takut pada ibu. Sekarang aku tak takut lagi." Dia mulai memaksa."Lepaskan! " Teriakku akhirnya. Setalah berkali kali kucoba bersabar.Satpam tokoku sedang di dalam, membantu mengurusi barang yang masuk. Jadilah aku didepan sendiri. Mengurusi manusia tak tau malu ini."Aku tak bisa lagi melepaskanmu Sari. Aku masih mencintaimu" Dia menatapku memelas. Dia fikir aku akan tersentuh? Dimataku, Aldo hanyalah barang bekas yang sudah kubuang. "Apa maumu mas?""Kembali padamu. Aku mohon. Mas janji dek, mas tak akan menyakitimu. M
Sejak pagi mas Aldo masih terus menghubungi. Bahkan semalam dia pergi kerumah. Entah berapa lama dia ada di depan gerbang. Mungkin srbsiknya aku pindah saja. Rasanya tak nyaman diteror hamoit setiap hari.Dan setelah kufikirkan semalaman. Ada baiknya memang aku menerima tawaran untuk datang ke warung mas Atnan. Rasanya berterimakasih saja tak cukup. Mas Atnan sudah membantuku dari mas Aldo.Akhirnya menjelang siang, Kuberanikan diri mampir kewarung mas Atnan. Aku membawakan beberapa cemilan dan buah juga. Sebagai rasa terimakasih sudah membantuku kemarin saat mas Aldo kembali datang menganggu."Ada yang bisa dibantu kak?" Seorang pelayan wanita memberikan menunya padaku.Aku menerimanya. "Eh, saya mau pesan nasi ayam saja mbak. Untuk dua puluh delapan orang. Kirim untuk makan siang di toko depan ya"Wanita itu mencatat pesananku. Aku masih mencoba mencari-cari dimana mas Atnan berada."Em, maaf.. ada lagi yang lain bu?""Oh, tidak. Itu saja. Dimana kasirnya?" Wanita itu mengantarkan
"Assalamualaikum " ibu datang bersama Kania dan anak-anak. Melihat mas Atnan dudukdi dalam saung bersamaku, membuat ibu menatapku penuh tanya."Ibu ingat, ini mas Atnan. Anaknya Bu lurah."Ibu duduk memperhatikan lelaki itu. "Oh, ibu ingat yang kemarun pas kita pulang ambil satur sama mak Idah kan?""Betul bu, itu saya. Apa kabar...""Baik mas, baik. Kok bisa sama-sama disini?" Kembali ibu mewawancara diriku."Oh, ini tempat makan punya mas Atnan bude" Kania ikut menjelaskan. Gadis sok tau inu tersenyum menggodaku. Dasar!Ibu nampak terkejut. Seban baru tau jika anak bu lurah itu polisi yang sukses punya tempat makan."Jadi beli sayur di rumah sana itu untuk di bawa kemari?""Iya bu. Betul. Tadinya kakak yang mengelola. Tapi sekarang diserahkan kesaya. Yasudah kalau begitu silahkan pesan. Saya pindah meja saja" Mas Atnan."Makan bareng saja nak, biar ramai" ibu memberikan tawaran."Iya mas, tadi bilang mau ikut bergabung. Gak apa-apa." Aku juga meminta."Betul mas, gak perlu gak enak
"Assalamualaikum..." Suara itu membuatku melihat kearahnya. "Mas Atnan?"Saat aku sedang kalut. Mas Atnan datang tepat didepanku. Bisakah aku meminta bantuanmu juga mas?"Ada apa mbak?" Ia tampak terkejut melihatku yang tergugu"Bisa bantu saya mas. Anak saya hilang mas.""Aisyah?Aku menggelengkan kepala. "Fatih mas""Kok bisa? Dia kan masih kecil mbak. Yasudah kita kemobil dulu. Kita cari sama-sama. Nanti mbak bisa cerita kronoliginya sambil jalan."Aku menganggukkan kepala. Segera saja aku pergi menuju mobilku. Mas Atnan meminta kunci mobilku dan membukakanku pintu untuk masuk. Aku duduk di samping kemudi dan mas Atnan menyusul masuk. Tanpa berfikir panjang, kami pergi.***"Jadi Fatih di ambil mantan suami mbak kemarin itu? Aku menganggukan kepala."Secara biologis dia memang ayahnya mas. Tapi secara hukum fatih masuk anak saya dan mas Yuda. Entah bagaimana mas Yuda menuliskan Fatih anaknya yang sah.""Lalu Aisyah?""Dia anak angkat saya."Mas Atnan terdiam. "Mbak masih ingat kema