Sabar itu ada batasnya, aku baik pada mereka yang baik padaku. Aku juga kejam pada mereka yang kejam padaku!" **** Sari marah saat tau uang bulanannya yang sedikit, masih harus dipotong suaminya karena alasan yang tak masuk akal. Sementara didepan matanya, sang suami memberikan separuh lebih gajinya untuk ibu dan adiknya sendiri. Sari yang merasa sabarnya sudah tertelan habis, memutuskan membalas setiap perlakuan licik sang suami.
View MoreAku sedang menyiapkan makan siang, saat mas Aldo datang dari kantornya untuk makan. Mas Aldo pegawai di Bank besar, jabatanya adalah collector, dia bertugas menagih para nasabahnya yang telat membayar, jadi setiap makan siang, mas Aldo akan pulang untuk makan di rumah.
Dia duduk di meja makan, lalu meletakkan uangnya di atas meja."Ini bulananmu!"Aku hitung tumpukan tipis uang di atas meja."Masak hanya ini mas uang bulanannya?"Dia menyendok nasi ke dalam piring lalu melihatku sebentar."Itu dulu lah Sar, nanti kalau kurang tambah saja dengan uangmu dulu!"What? Apa maksudnya ini! Bulan kemarin saja aku sudah bersabar dengan tujuh ratus ribu darinya. Masak ini masih harus bersabar lagi!"Bukannya gajimu naik mas, jadi enam juta?""Iya, memang kenapa?""Kenapa hanya tujuh ratus ribu aku dapat?"Geram sekali aku kali ini, belum sempat mas Aldo menjawab. Ibu mertuaku sudah datang. Saat dia masuk, mataku terasa terganggu.Cincin, dan gelangnya berderet di tangan. Bahkan kalungnya banyak menjuntai. Aku jadi teringat akar pada pohon beringin tua."Mana jatah bulanan ibu do! Ibu sudah janjian sama ibu-ibu di sini, mau beli seragam senam bareng"Aku memasang telinga baik-baik, Ibu baru saja menyebut jatah bulanan. Aku pandang mereka yang kini sedang duduk bersama di depan meja makan.Mas Aldo mengambil amplop dalam tasnya dan seperti singa kelaparan, Ibu menyambar amplop cokelat yang baru keluar itu.Dengan teliti ibu menghitung lembaran merah itu satu demi satu. Akupun ikut menghitungnya dalam hati, dua juta lima ratus aku hitung."Pas bu, tidak kurang. Aldo sudah simpan sendiri di amplop"Apa dia bilang, sudah di simpan sendiri. Jadi uang untuk ibu sudah dia simpankan sendiri dalam amplop dan uang untukku bahkan tak ada setengahnya."Iya, ibu percaya, cuma memastikan saja kan ngak salah" ibu mengambil nasi dan lauk di meja lalu duduk kembali memainkan ponsel nya.Aku pandang wajah dua manusia yang saling senyum di depanku itu, Aku bahkan mengeluarkan uangku sendiri untuk menambah biaya makan harian kami. Belum lagi gaya hidup mas Aldo yang tak selera bila makanan di meja tak mewah.Sekarang dengan tanpa bersalahnya mas Aldo memberi ibu uang yang bahkan berkali-kali lipat lebih banyak dari jatah bulananku.Aku bukan tak suka mas Aldo memberi uang pada ibunya, aku malah menyuruhnya memberi. Tapi jika itu memangkas dan memeras uang bulananku, tentu aku tak terima."Ibu mau kemana memang?""Ada pengajian di rumah hajah Safira. Tau kan kamu do, juragan beras kampung sebelah"Mas Aldo hanya menganggukkan kepala"Akmal minta sepatu baru, nanti dia ke sini ambil uangnya"Mataku membelalak mendengar lagi kalimat ibu. Kenapa tidak uang itu saja sebagian di berikan juga ke Akmal ?Sementara aku hanya melihat mas Aldo menganggukkan kepala. Apa maksudnya, dia akan memberi Akmal juga?Akmal adik bungsu mas Aldo, kuliah Semester enam. Ibu membiayai kuliah Akmal dari hasil toko sembako di pasar. Toko sembako yang ditinggalkan Almarhum Bapak mertua untuk di kelola.Jika dipikir, ibu termasuk orang mampu, mapan dan berada. Selain toko sembako, ibu masih punya dua petak sawah yang menghasilkan setiap kali panen, sebuah mobil pribadi dan mobil bak terbuka juga di tinggalkan Bapak.Ibu berdiri dan menatapku dengan senyuman yang entah berarti apa."Yang baru dapat duit jatahnya. Inget ya, jangan boros. Anakku kerja keras buat dapat itu. Beli makanan bergizi juga, obat penyubur, susu program hamil, biar cepat hamil kamu! Masak kalah sama Dena, anaknya bu Yuli itu nikah baru empat bulan, kemarim sudah tujuh bulanan!" Deg!Mengapa ibu harus mengaitkan semua dengan kehamilan, membandingkan aku dengan anak tetangga sebelah. Jika ditanya, Aku juga ingin seperti perempuan lain. Segera hamil, lalu memiliki banyak anak. Tapi memang belum rezekiku.Ibu bahkan bilang aku boros. Boros? Jangankan hidup Boros, berpikir untuk mencukupkan uang dari anaknya saja rasanya kepalaku buntu.Ibu menunjuk uang di tanganku wambil berlalu pergi. Aku hanya mampu memandangnya pias. Ibu juga membawa sepiring nasi berisi lauk dan sayur keluar bersamanya."Kenapa kamu? Ambilkan minum aku haus!"Aku masih terdiam dengan adengan demi adegan yang baru saja tersaji didepanku. Kini aku harus meminta penjelasan mas Aldo."Uang itu untuk ibu?"Mas Aldo menatapku tak suka. Kenapa memang, aku bertanya karena merasa aku pun punya hak untuk tau."Iya, kenapa?"Santai sekali dia menjawab."Dua juta lima ratus mas?" Kupastikan lagi jumlah yang kulihat tadi tak salah hitung."Kenapa sih! Ibu yang minta, biar saja lah. Lagian aku kasih ke ibuku sendiri to! Kenapa, kamu tak suka?"Aku terkejut, aku hanya bertanya dan meminta penjelasan, kenapa justeru bentakan yang aku terima." Bukan aku tak suka mas! Kamu beri ibu separuh gajimu, lalu untuk kita makan, tujuh ratus ribu?"Aku sudah diam selama ini, melihatnya memberi ibu dengan jumlah lebih dari yang dia berikan padaku. Aku bahkan menerima uang satu juta perbulan darinya tanpa banyak bertanya.Tapi sekarang, tujuh ratus ribu aku dapat darinya. Apa salah jika aku mempertanyakan pemberiannya pada ibu, yang bahkan lebih dari tiga kali lipat uang bulananku!"Biasanya kan kamu ngak kerja, tapi sekarang, aku lihat usahamu sedang maju, jadi Mulai sekarang aku potong uangmu segitu saja! Itu cukuplah untuk beli sayuran, kalau pun kurang, kamu kan ada simpanan. Kalau ngak mau simpananmu terpakai, Putar otaklah biar cukup!"Apa maksud ucapannya? Bukankah nafkahku adalah tanggung jawabnya. Aku berjualan, mengumpulkan uang untuk program bayi tabung.Aku juga ingin seperti yang lain, punya anak dan memiliki keturunan. Sudah lima tahun berumah tangga, namun tak juga diberi kepercayaan.Bahkan ibunya saja setiap kali bertemu hanya menyindir kehamilanku, rasanya hatiku bagai tersayat.Berkali-kali aku meminta mas Aldo untuk kedokter kandungan. Dia selalu menolak, dia bilang keluarganya subur dan banyak anak. Jadi dia pasti subur juga. Jadilah aku yang selalu menjadi bahan cibiran. Karena aku seorang anak tunggal."Mana minumku, kenapa diam?" Mas Aldo mebuyarkan lamunanku. Aku berjalan kesal kedapur mengambilkan mas Aldo minum. Berhenti sebentar aku mengatur napas. Rasa marah dan kecewa bercampur di dalam hatiku.Kuambilkan saja air putih, tak ada selera rasanya memanjakannya hari ini. Toh semua usahaku tak terlihat baik dimatanya.Saat aku keluar, Akmal sudah duduk di meja makan membuat darahku semakin mendidih melihat mas Aldo meletakkan uang di atas meja."Nih, jatah kamu. Kuliah yang benar, jangan menyusahkan ibu"Baiklah kalau begitu, jika aku tak dapat meminta uangmu mas. Jika bagimu aku harus memutar otak. Akan aku pakai otakku ini mencari uang tambahan!Braak!Aku letakkan dengan kasar gelas diatas meja. Tepat di atas lembaran uang yang berjajar disana. Sengaja memang "Kaget aku mbak Sari, nggak lihat di sini ada uang? Basah kan jadinya uang itu"Aku menatapnya tajam, Mas Aldo sekarang membelalak ke arahku dan aku tak perduli. Kulihat Akmal asyik sekali mengunyah paha ayam.Aku perhatikan isi piringnya lalu mulai kuhitung satu persatu, kuambil saja kalkulator di dekat ruang TV."Nasi, ayam goreng, tempe, sambal dan sayur sop. Dua puluh tiga ribu"Akmal dan suamiku menatap tajam, Aku pura-pura saja tak melihatnya."Maksud mbak apa sih?"Kuambil uang ditangan Akmal lima puluh ribu. Lalu berjalan ke dapur mengambilkannya kembalian lima ribu."Ini kembaliannya, ibu tadi juga ambil makan sama sepertimu, sekalian saja kamu bayar. Harusnya sih empat puluh enam ribu, tapi aku diskon seribu. Air putihnya gratis!"Kakak beradik itu sama-sama binggung dengan sikapku"Maksudnya, makanan ini aku harus bayar mbak?""Iya, sekarang mbak jualan. Buat nambah penghasilan. Mbak kan harus putar otak supaya bisa tetap hidup dengan uang dari masmu!"Aku lalu berjalan ke dapur, kulihat mas Aldo mengikutiku kedapur."Kamu kenapa suruh Akmal bayar makanannya? Makanan ibu tadi juga kamu hitung, Kamu masak bukannya pakai uangku? Jangan keterlaluan kamu!"Aku sekarang jualan di rumah!"Aku berucap tanpa menatap mas Aldo. Kusibukkam diri dengan mencuci semua prabotan dapur yang kotor karena terpakai."Jualan apa? Kapan kamu jualan"Mas Aldo mendekat kearahku. Aku masih tak mau melihatnya."Hari ini. Aku sekarang jualan di rumah. Tiap ambil makan, akan aku hitung. Kalau tak bisa bayar, ya akan aku catat sebagai hutang!"Dia pikir hanya dia yang bisa berbuat sesukanya? Aku juga bisa! Aku dua puluh lima jam bekerja di rumah tanpa minta gaji, melayani makannya, bajunya, ranjangnya, tak ada ucapan terimakasih barang secuil. Sekarang masih memotong uang bulananku!"Bukannya aku memberimu uang setiap bulan. Lalu kenapa semua masih di hitung beli? Kalau kamu jualan, modal dagangannya juga dari aku kan?"Aku menatap mas Aldo, lalu kulipat tanganku kedepan."Modal apa? Itu uangku. Uang darimu sudah habis aku pakai masak dua minggu. Dua minggu saja aku harus hemat. Bagaimana cukup untuk satu bulan!""Dua minggu kamu tak perlu bayar makan. Itu uangmu sendiri yang kamu titip ke aku. Setelah dua minggu baru aku hitung makanmu mas"Dia menatapku dengan wajah yang sinis. Aku juga menatapnya sinis. Enak saja! Selama ini aku sudah diam, tapi justeru semakin di injak-injak. Gajinya saja naik, masak bulananku malah dipotong!"Aku juga buka laundry. Perkilo empat ribu! Sabun mandi, odol, sikat, shampo di lemari itu juga jualanku. Kamu kalau ambil bayar!"Aku menangkap ketidak sukaan pada raut wajahnya. Hah, aku tak perduli. Hatiku sudah jenggah dengan sikapnya yang begitu pelit pada istri sendiri!Aku berjalan masuk masuk, perlahan mencoba tersenyum dalam canggung. Mencari jawaban dari Kania dan Ibu. Namun keduanya hanya diam. Kania menarikku kedekatnya."Ada apa Kan?" Dia hanya senyum-senyum tak menjawab. Ingin aku toyor kepalanya, namun tak enak hati, di pandang banyak matan."Apa kabar Mbak Sari?" Seorang wanita dengan jimbab panjang menyapaku. Wajahnya tak asing, tentu saja, aku tau dia ibu mas Atnan."Baik bu, Alhamdulillah. Ibu lurah sehat?""Sehat, bahkan siap untuk mantu."Aku terdiam. Tak tau kemana arah pembicaraan wanita itu."Jadi seperti yang sudah diutarakan keluarga nak Atnan nduk, mereka datang untuk meminangmu."Mataku membulat sempurna. Tak ada angin dan hujan kenapa pelangi datang setelah badai?"Me_melamarku?" Aku menatap wajah mas Atnan denang lekat. Lelaki itu hanya tersenyum simpul.Jawaban apa itu!"Iya nduk, bagaimana? Apakah kamu sudsh siap menerima nak Atnan?" Ibu kembali bertanya.Aku masih terdiam. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, namun apakah hat
Ku gandeng ibu mas Aldo turun. Aku memang harus memapahnya masuk. Mata sayu wanita itu berkaca. Menatap kedepan kami. Aku melihat kemana arah mata itu sekarang. Rupanya wajah yang ia kenal tengah sibuk mengurus kertas-kertas di depannya. Sehingga ia tak memperhatikan siapa yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya.Iya, aku membawa ibu Ida menemui Akmal. Anak lelakinya yang dia usir dari rumah. Namun justru merubah hidup lelaki itu jauh lebih baik. Akmal kini memiliki tempat fotocopy dan percetakan. Ia membuka usaha itu dengan kerja keras dan bantuan mas Yuda.Dia jadi lelaki yang halus dan santun. Bahkan jambang dan janggutnya terlihat memanjang sekarang. Akmal kini jauh lebih dewasa dan meneduhkan."Assalamualaikum" Aku mengucap salam."Waalaikumsalam. Ada perlu a..." Dia terdiam, saat melihatku memapah ibu kandungnya berdiri, tepat di depan matanya sekarang. "Ibu?" Begitu kalimat yang kudengar. Entah mengapa membuat darah
"Mengapa kau membawa Fatih pergi?" Aku bertanya tanpa berbasa-basi lagi. Kesabaranku pada mas Aldo sudah ada diujungnya.Dia terdiam, membuang wajahnya kearah lain. Aku menemuinya di kantor polisi. Mas Aldo ternyata juga masuk daftar pencarian orang. Penipuan, adalah kasus yang kini juga menjeratnya."Baiklah, jika kamu hanya diam, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini terakhir kalinya aku kemari!"Aku berdiri, melangkah menuju pintu. "Aku hanya ingin memeluk anakku!"Suaranya sumbang. Membuat kakiku berhenti melangkah. Aku berbalik, melihat punggungnya yang kecil di balik baju orange bertuliskan Tahanan itu."Anak siapa? Fatih bukan anakmu!""Dia anakku! Aku tau dia anakku Sari!" Dia kini berdiri, namun belum melihatku."Anak yang tak kau akui sejak dalam kandungan? Bukankah mulutmu sendiri yang bilang 'hanya anak Rani darah dagingku'. Itu kan yang kau katakan?" Dia diam, tak ada jawaban."Lalu sekarang dimana Veronica? Hem... Kau bahkan tak bisa menjadi ayah yang baik untuk bayi malan
Kugendong Fatih yang menangis. Kupeluk dan kutenangkan dia dulu. " anak bunda sayang. Ini bunda" kutimang dia dalam dekapan. Kini tangisnya mulai reda. Dia memegang botol susunya dengan erat. Aku berjalan menuju pintu, tapi kudengar suara air dari dalam kamar mandi. Aku mendekat kearah pintu kamar mandi. Ada orang di dalam!Kutempelkan telingaku didaun pintu. Bunyi air itu sumakin jelas. "Sebentar nak, uti lagi buang air. Ini sudah selesai. Kamu jangan nangis lagi dong. Nanti mereka dengar!" Ibu ternyata ada di dalam. Aku kunci saja ibu dari luar. Biar saja dia berteriak-teriak didalam."Siapa itu! Hey siapa itu" suaranya berteriak mencoba membuka pintu."Jangan pernah lagi menyentuh anakku bu Ida!" Aku bicara dari luar. "Sari? Buka sari. Kembalikan Alex cucuku?"Alex? Keren amat namanya. Dikasih nama Muhammad Fatih kok jadi Alex. Kayak nama kedai Bakso di dekat Radio umum."Lha emang ibu punya cucu nama Alex?""Diam kamu. Keluarkan aku!""Diam ibu! Aku panggil polisi mau? Anakku b
"Assalamualaikum..." Suara itu membuatku melihat kearahnya. "Mas Atnan?"Saat aku sedang kalut. Mas Atnan datang tepat didepanku. Bisakah aku meminta bantuanmu juga mas?"Ada apa mbak?" Ia tampak terkejut melihatku yang tergugu"Bisa bantu saya mas. Anak saya hilang mas.""Aisyah?Aku menggelengkan kepala. "Fatih mas""Kok bisa? Dia kan masih kecil mbak. Yasudah kita kemobil dulu. Kita cari sama-sama. Nanti mbak bisa cerita kronoliginya sambil jalan."Aku menganggukkan kepala. Segera saja aku pergi menuju mobilku. Mas Atnan meminta kunci mobilku dan membukakanku pintu untuk masuk. Aku duduk di samping kemudi dan mas Atnan menyusul masuk. Tanpa berfikir panjang, kami pergi.***"Jadi Fatih di ambil mantan suami mbak kemarin itu? Aku menganggukan kepala."Secara biologis dia memang ayahnya mas. Tapi secara hukum fatih masuk anak saya dan mas Yuda. Entah bagaimana mas Yuda menuliskan Fatih anaknya yang sah.""Lalu Aisyah?""Dia anak angkat saya."Mas Atnan terdiam. "Mbak masih ingat kema
"Assalamualaikum " ibu datang bersama Kania dan anak-anak. Melihat mas Atnan dudukdi dalam saung bersamaku, membuat ibu menatapku penuh tanya."Ibu ingat, ini mas Atnan. Anaknya Bu lurah."Ibu duduk memperhatikan lelaki itu. "Oh, ibu ingat yang kemarun pas kita pulang ambil satur sama mak Idah kan?""Betul bu, itu saya. Apa kabar...""Baik mas, baik. Kok bisa sama-sama disini?" Kembali ibu mewawancara diriku."Oh, ini tempat makan punya mas Atnan bude" Kania ikut menjelaskan. Gadis sok tau inu tersenyum menggodaku. Dasar!Ibu nampak terkejut. Seban baru tau jika anak bu lurah itu polisi yang sukses punya tempat makan."Jadi beli sayur di rumah sana itu untuk di bawa kemari?""Iya bu. Betul. Tadinya kakak yang mengelola. Tapi sekarang diserahkan kesaya. Yasudah kalau begitu silahkan pesan. Saya pindah meja saja" Mas Atnan."Makan bareng saja nak, biar ramai" ibu memberikan tawaran."Iya mas, tadi bilang mau ikut bergabung. Gak apa-apa." Aku juga meminta."Betul mas, gak perlu gak enak
Sejak pagi mas Aldo masih terus menghubungi. Bahkan semalam dia pergi kerumah. Entah berapa lama dia ada di depan gerbang. Mungkin srbsiknya aku pindah saja. Rasanya tak nyaman diteror hamoit setiap hari.Dan setelah kufikirkan semalaman. Ada baiknya memang aku menerima tawaran untuk datang ke warung mas Atnan. Rasanya berterimakasih saja tak cukup. Mas Atnan sudah membantuku dari mas Aldo.Akhirnya menjelang siang, Kuberanikan diri mampir kewarung mas Atnan. Aku membawakan beberapa cemilan dan buah juga. Sebagai rasa terimakasih sudah membantuku kemarin saat mas Aldo kembali datang menganggu."Ada yang bisa dibantu kak?" Seorang pelayan wanita memberikan menunya padaku.Aku menerimanya. "Eh, saya mau pesan nasi ayam saja mbak. Untuk dua puluh delapan orang. Kirim untuk makan siang di toko depan ya"Wanita itu mencatat pesananku. Aku masih mencoba mencari-cari dimana mas Atnan berada."Em, maaf.. ada lagi yang lain bu?""Oh, tidak. Itu saja. Dimana kasirnya?" Wanita itu mengantarkan
"Aku hanya ingin bersamamu dek sari!" Mas Aldo mencegahku pulang dari toko.Entah hari keberapa ini, dia terus datang kemari. Tanpa henti dan tak kenal lelah. Aku bahkan merasa benar-benar sudah terganggu."Biarkan aku bersamamu dek..." Dia mencengkeram tanganku dengan erat. Kucoba melepasnya, namun tetap saja tak bisa. " Dengarkan dulu sari, aku dulu begitu takut pada ibu. Sekarang aku tak takut lagi." Dia mulai memaksa."Lepaskan! " Teriakku akhirnya. Setalah berkali kali kucoba bersabar.Satpam tokoku sedang di dalam, membantu mengurusi barang yang masuk. Jadilah aku didepan sendiri. Mengurusi manusia tak tau malu ini."Aku tak bisa lagi melepaskanmu Sari. Aku masih mencintaimu" Dia menatapku memelas. Dia fikir aku akan tersentuh? Dimataku, Aldo hanyalah barang bekas yang sudah kubuang. "Apa maumu mas?""Kembali padamu. Aku mohon. Mas janji dek, mas tak akan menyakitimu. M
Ibu masih terlihat menangis. Beberapa warga memeluknya dengan erat. Sebentar kemudian mobil lain mendekat. Lalu seseorang turun daru dalam mobil."Mas Alan" Ucapku pelan. Tiba-tiba aku begitu khawatir, terlihat mas Alan datang dengan membawa Arcila dan Almira, tanpa mbak Asya.Mbak Nur tiba-tiba berlari kearah kami. "Mbak, siapa yang meninggal?""Kamu belum dengar Sari?" Mbak Nur berbalik tanya.Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tau mbak. Memang siapa?""Asya..."Astagfirullah...!Tubuhku tiba-tiba bergetar karena terkejut. Mbak Asya meninggal? Kenapa mbak Asya bisa meninggal? Bukankah kudengar terakhir kali dia akan menikah lagi."Jangan bercanda kamu Nur, bukanya Asya mau menikah bulan depan?" Mbak Yayuk bertanya. Sepertinya sama sepertiku, mbak Yayuk juga terkejut dan tak percaya."Masak berita orang mati aku buat-buat to mbak. Kalau aku buat-buat, menurut mbak siapa yang ada dalam peti itu?""Gak tau Nur, Aldo mungkin lebih pantas!" Ucap mbak Yayuk. "Lelaki tak tau diri itu pa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments