Aku dan ibu sudah bangun sejak pagi buta. Bahkan sebelum Azan subuh terdengar kami sudah sibuk memasak didapur. "Ikannya sudah digoreng bu, tinggal bikin sup buat Aisyah. Nanti saja Sari buat, biar anget" aku mengangkat ikan terakhir dari pengorengan dan meniriskannya pada wadah yang sudah ada."Yasudah, ibu juga sudah selesai. Nanti setelah subuh baru kita masukkan kedalam wadah tertutup." Ibu melepas tali celemek dari lehernya dan mengantungnya di sisi dapur.Hari ini kami akan pergi berlibur. Setelah menangis semalam aku memikirkan untuk membuat kenangan sebelum mas Yuda berangkat. Aisyah akan sangat senang tentunya, jika bisa menghabiskan waktu bersama Ayah botak sebelum mereka berpisah.Suara azan terdengar saat aku menaiki tangga. Mas Yuda sudah bangun dan bersiap sholat dengan sarung tenun merah kesukaanya. "Shalat berjamaah?" Tanyanya padaku.Aku menganggukan kepala dengan senyum yang lebar. "Iya mas, adek ambil wudhu dulu." Tentu saja aku ingin sholat bersamanya, karena set
" Ingat pesan mas ya dek. Ingat semua yang sudah adek lalui untuk bahagia. Ingat selalu untuk kuat dan berjuang." Dia membelai wajahku. Kugengam tangan kekarnya yang hangat. "Insyaallah mas. Segeralah pulang. Aku dan anak-anak menunggumu." Bisikku ditelinganya. Dia menarikku dalam dekapan. Tumpah lagi air mata ini. Meski mencoba kuat, nyatanya batinku tetaplah rapuh.Mas Yuda melepaskan pelukanku, mencium kening ini dengan hangat. Dia mengendong Fatih dan menciumnya juga dan terakhir Aisyah. Gadis kecil itu tiba-tiba merajuk. Menutup wajahnya dalam perut mbak Yayuk."Cantik... Tak mau peluk Ayah?" Mas Yuda merayunya. Menariknya perlahan dalam gendongan.Aisyah memeluk erat Ayahnya. Tangisnya pecah dalam gendongan mas Yuda. "Hey sayangku, bukankah kita sudah bicara. Aisyah akan jaga bunda kan? Komandan Aisyah jangan nangis dong!" Mas Yuda masih merayu. Gadis kecil itu perlahan mengangkat wajahnya. "Aisyah sayang
" Sejak kapan kamu begini?" Aku bertanya pada Akmal. Kami duduk di taman berdua. Sementara Rani di biarkan duduk didepan kami sendiri. Akmal mengharapkannya ke kolam air mancur. Dia merasa senang setiap kali melihat air itu melayang dan meluncur jatuh kedalam kolam."Sejak mbak memberi tau mbak Rani disini""Selama itu?" Aku terkejut dengan ucapannya. Ini sudah lebih dari sebulan sejak kutemukan Rani di taman kota.Dia hanya menganggukan kepala. Tatapannya lurus melihat punggung Rani. " Jika boleh mbak tau, kenapa? Bukankah kamu sangat membenci wanita yang sekarang duduk di kursi roda itu?"Akmal tersenyum tipis. "Aku memang tak menyukai caranya mendapatkan mas Aldo mbak. Namun tak adil juga dia disingkirkan hanya karena bayinya tak sempurna."Akmal benar. Tak adil memang apa yang sudah di lakukan Ibu dan kakaknya Aldo. Bagaimanapun Rani adalah gadis pilihan mereka untuk mengantikanku sebagai menantu. Bahkan Aldo
Rumah bercat hijau yang megah, lebih tinggi dari bangunan lain di tempat ini. Pagarnya yang menjulang tinggi, mengingatkanku pada kastil dalam dongeng anak. Aku memarkirkan mobilku diseberang jalan. Di tepian lapangan bola, dibawah pohon mangga.Aku menyeberang setapak kecil itu. Menyenyuh pintu gerbang yang menjulang tinggi nan megah. Betulkah ini rumahnya?Aku melihat kesekitar tak ada siapapun yang bisa di tanyai. Bahkan gerbang ini terlunci dari dalam. Jika aku mengetuk, sopankah?""Ngolek i sopo nduk?" (Cari siapa nduk?)Lelaki tua berkaus camping dengan peluh menetes berjalan menghampiri. Rumput memyembul dalam kresek putih di punggungnya. "Rumah pak Handoko njeh?" Aku bertanya."Iyo, cari pak Haji atau bu Hajah?"Aku berfikir sebentar. "Em, dua-duanya pak. Tapi pintunya dikunci"Lelaki itu melihat ke arah gerbang. "Walah memang selalu di kunci ndok. Nih di pencet saja sakelarnya""Sakelar?" Aku melihat tangan Bapak tadi menunjuk.
Tubuh tua itu terguncang. Hanya parau tangis kudengar sejak tadi. Air mata yang mungkin dicoba tahan sejak lama. Berusaha tegar menghadapi pahitnya lara. Akhirnya tak lagi dapat di bendung."Mbak ini sebenarnya siapa?" Lelaki berbaju angkatan laut difoto kini duduk di depanku. Merangkul erat tubuh tua orang tuanya."Saya Sari, saya hanya kebetulan bertemu Rani karena takdir"Ibu Rani menatapku lekat. "Apa kamu ini istri pertamanya Aldo?""Betul bu, lebih tepatnya mantan istrinya sekarang"Wanita itu justru kembali menangis. Disekanya air mata yang terus menganak sungai. Tak tertahan, kini dia membenamkan wajah didada anak lelakinya.Sang ayah mengatur nafas. Aku tau bukan nafasnya yang sesak. Namun cerita pahit putrinya yang membuat segalanya sesak dirasa. "Sejujurnya, kami tak lagi punya muka dihadapan mbak Sari" Ayah Rani membuka kalimat. "Malu saya ini mbak, malu sebagai Bapak, saya gagal mendidiknya dengan baik!" Ucapnya dengan amarah yang tertahan."Sabar pak sabar" Anak lelaki
"Hay dek" Suara dari sebrang membawaku dalam senyuman. Dia tersenyum menatap layar. Nampak lelah tergambar dari gurat wajahnya, namun ia tetap terlihat baik-baik saja."Sudah keluar dari hutan mas?" Tanyaku. Dia sedang merebahkan diri di atas matras."Sudah, sekarang sedang di pos. Mungkin nanti sore kami kembali masuk hutan, ke post selanjutnya." "Oh, begitu. Sudah makan?" "Sudah, Tentara itu koki ajaib. Dia lebih pandai masak dari pada ibu rumah tangga. Dalam keadaan darurat" Tawanya.Aku ikut tertawa juga. "Baru masuk bulan ke dua, tapi rasanya lama sekali mas" "Sabar ya. ""Iya, aku sabar. Kalau saat ini bukan tugas, sudah kususul kamu ke Irian Jaya." " Jangan menyusul, nanti mas gak bisa patroli. Maunya dekat kamu saja dek." Goda.nya, berhasil membuatku malu-malu. "Dimana anak-anak?"Dia bertanya.Aku berjalan memperlihatkan Fatih yang sedang tidur. " Dia sedang tidur. Aisyah masih disekolah." ."Tampannya anakku. Mirip Ayahnya ya dek"Aku tersenyum mengiyakan saja. "Nanti
Pov Author Sari turun kelantai bawah. Setelah sebelumnya mengantarkan Aisyah sekolah. Dia kembali lagi kekamar untuk memejamkan mata barang sebentar. Sejak mimpinya kemarin, Sari seperti tersandera dalam fikiran buruknya sendiri. Matanya bahkan tak dapat terpejam sebentar saja. Hati dan fikirannya terus berbutar dalam tanya.Namun mendengar kegaduhan di bawah, ia putuskan untuk turun. Ia melihat mbak Yayuk dan mbak Nur duduk bersama ibu dan Kania di ruang tengah. Mereka Menatapnya canggung. Mbak Yayuk berdiri dan mendekati adik iparnya dengan langkah gontai. Sementara ibu Sari mendekap erat Kania.Mbak Yayuk memeluk Sari erat. Isakannya terdengar semakin kencang dan menyayat. "Maafkan Yuda ya dek. Maafkan Yuda" Ucapnya, membuat darah adik iparnya berdesir.Derup jantungnya kian berpacu, menyadari ada yang tak benar dari kedatangan mereka, Sari mengingat jelas mimpinya kemarin. "Ada apa mbak?" Dia bertanya, masih mencari jawaban yang tak ingin didengarnya."Duduklah dulu Sari" mbak Nu
Peti kayu tertutup bendera kebanggaan, memeluk jasadmu dalam pembaringan. Tubuhmu masih tegap mas, wajahmu bersih, kau tersenyum dalam tidur panjang. Dada bidang yang hangat, tempat kami bersandar kini dingin, tak mampu lagi menenangkan jiwaku. Kini hanya dapat kupeluk kenangan, kini hanya dapat kutemukan dirimu dalam dingin dan diam. Mengapa dunia begitu kejam, menerbangkanku dalam bahagia ke kumpulan awan, lalu menghempaskanku kembali pada kepedihan."Sabar mbak, mas Yuda sudah tenang, ikhlaskan ya mbak" Siti mendekapku sejak Jenazah itu masuk kedalam rumah.Mas Sutrino dan mbak Yayuk yang mengurus semuanya. Aku hanya menunggunya pulang kerumah kami. Rumah yang ada banyak leluconnya setiap hari. Dia selalu membuatku tertawa dalam candanya.Aku terkulai tak berdaya, memeluk rindu namun yang datang hanya raga tanpa jiwa. Bagaimana harus kujalani hariku tanpa hadirmu mas? bila mencintaimu seperti candu, berapa lama aku harus berjuang menyembuhkan kehilanganku."Minum dulu mbak." Kani
Aku berjalan masuk masuk, perlahan mencoba tersenyum dalam canggung. Mencari jawaban dari Kania dan Ibu. Namun keduanya hanya diam. Kania menarikku kedekatnya."Ada apa Kan?" Dia hanya senyum-senyum tak menjawab. Ingin aku toyor kepalanya, namun tak enak hati, di pandang banyak matan."Apa kabar Mbak Sari?" Seorang wanita dengan jimbab panjang menyapaku. Wajahnya tak asing, tentu saja, aku tau dia ibu mas Atnan."Baik bu, Alhamdulillah. Ibu lurah sehat?""Sehat, bahkan siap untuk mantu."Aku terdiam. Tak tau kemana arah pembicaraan wanita itu."Jadi seperti yang sudah diutarakan keluarga nak Atnan nduk, mereka datang untuk meminangmu."Mataku membulat sempurna. Tak ada angin dan hujan kenapa pelangi datang setelah badai?"Me_melamarku?" Aku menatap wajah mas Atnan denang lekat. Lelaki itu hanya tersenyum simpul.Jawaban apa itu!"Iya nduk, bagaimana? Apakah kamu sudsh siap menerima nak Atnan?" Ibu kembali bertanya.Aku masih terdiam. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, namun apakah hat
Ku gandeng ibu mas Aldo turun. Aku memang harus memapahnya masuk. Mata sayu wanita itu berkaca. Menatap kedepan kami. Aku melihat kemana arah mata itu sekarang. Rupanya wajah yang ia kenal tengah sibuk mengurus kertas-kertas di depannya. Sehingga ia tak memperhatikan siapa yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya.Iya, aku membawa ibu Ida menemui Akmal. Anak lelakinya yang dia usir dari rumah. Namun justru merubah hidup lelaki itu jauh lebih baik. Akmal kini memiliki tempat fotocopy dan percetakan. Ia membuka usaha itu dengan kerja keras dan bantuan mas Yuda.Dia jadi lelaki yang halus dan santun. Bahkan jambang dan janggutnya terlihat memanjang sekarang. Akmal kini jauh lebih dewasa dan meneduhkan."Assalamualaikum" Aku mengucap salam."Waalaikumsalam. Ada perlu a..." Dia terdiam, saat melihatku memapah ibu kandungnya berdiri, tepat di depan matanya sekarang. "Ibu?" Begitu kalimat yang kudengar. Entah mengapa membuat darah
"Mengapa kau membawa Fatih pergi?" Aku bertanya tanpa berbasa-basi lagi. Kesabaranku pada mas Aldo sudah ada diujungnya.Dia terdiam, membuang wajahnya kearah lain. Aku menemuinya di kantor polisi. Mas Aldo ternyata juga masuk daftar pencarian orang. Penipuan, adalah kasus yang kini juga menjeratnya."Baiklah, jika kamu hanya diam, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini terakhir kalinya aku kemari!"Aku berdiri, melangkah menuju pintu. "Aku hanya ingin memeluk anakku!"Suaranya sumbang. Membuat kakiku berhenti melangkah. Aku berbalik, melihat punggungnya yang kecil di balik baju orange bertuliskan Tahanan itu."Anak siapa? Fatih bukan anakmu!""Dia anakku! Aku tau dia anakku Sari!" Dia kini berdiri, namun belum melihatku."Anak yang tak kau akui sejak dalam kandungan? Bukankah mulutmu sendiri yang bilang 'hanya anak Rani darah dagingku'. Itu kan yang kau katakan?" Dia diam, tak ada jawaban."Lalu sekarang dimana Veronica? Hem... Kau bahkan tak bisa menjadi ayah yang baik untuk bayi malan
Kugendong Fatih yang menangis. Kupeluk dan kutenangkan dia dulu. " anak bunda sayang. Ini bunda" kutimang dia dalam dekapan. Kini tangisnya mulai reda. Dia memegang botol susunya dengan erat. Aku berjalan menuju pintu, tapi kudengar suara air dari dalam kamar mandi. Aku mendekat kearah pintu kamar mandi. Ada orang di dalam!Kutempelkan telingaku didaun pintu. Bunyi air itu sumakin jelas. "Sebentar nak, uti lagi buang air. Ini sudah selesai. Kamu jangan nangis lagi dong. Nanti mereka dengar!" Ibu ternyata ada di dalam. Aku kunci saja ibu dari luar. Biar saja dia berteriak-teriak didalam."Siapa itu! Hey siapa itu" suaranya berteriak mencoba membuka pintu."Jangan pernah lagi menyentuh anakku bu Ida!" Aku bicara dari luar. "Sari? Buka sari. Kembalikan Alex cucuku?"Alex? Keren amat namanya. Dikasih nama Muhammad Fatih kok jadi Alex. Kayak nama kedai Bakso di dekat Radio umum."Lha emang ibu punya cucu nama Alex?""Diam kamu. Keluarkan aku!""Diam ibu! Aku panggil polisi mau? Anakku b
"Assalamualaikum..." Suara itu membuatku melihat kearahnya. "Mas Atnan?"Saat aku sedang kalut. Mas Atnan datang tepat didepanku. Bisakah aku meminta bantuanmu juga mas?"Ada apa mbak?" Ia tampak terkejut melihatku yang tergugu"Bisa bantu saya mas. Anak saya hilang mas.""Aisyah?Aku menggelengkan kepala. "Fatih mas""Kok bisa? Dia kan masih kecil mbak. Yasudah kita kemobil dulu. Kita cari sama-sama. Nanti mbak bisa cerita kronoliginya sambil jalan."Aku menganggukkan kepala. Segera saja aku pergi menuju mobilku. Mas Atnan meminta kunci mobilku dan membukakanku pintu untuk masuk. Aku duduk di samping kemudi dan mas Atnan menyusul masuk. Tanpa berfikir panjang, kami pergi.***"Jadi Fatih di ambil mantan suami mbak kemarin itu? Aku menganggukan kepala."Secara biologis dia memang ayahnya mas. Tapi secara hukum fatih masuk anak saya dan mas Yuda. Entah bagaimana mas Yuda menuliskan Fatih anaknya yang sah.""Lalu Aisyah?""Dia anak angkat saya."Mas Atnan terdiam. "Mbak masih ingat kema
"Assalamualaikum " ibu datang bersama Kania dan anak-anak. Melihat mas Atnan dudukdi dalam saung bersamaku, membuat ibu menatapku penuh tanya."Ibu ingat, ini mas Atnan. Anaknya Bu lurah."Ibu duduk memperhatikan lelaki itu. "Oh, ibu ingat yang kemarun pas kita pulang ambil satur sama mak Idah kan?""Betul bu, itu saya. Apa kabar...""Baik mas, baik. Kok bisa sama-sama disini?" Kembali ibu mewawancara diriku."Oh, ini tempat makan punya mas Atnan bude" Kania ikut menjelaskan. Gadis sok tau inu tersenyum menggodaku. Dasar!Ibu nampak terkejut. Seban baru tau jika anak bu lurah itu polisi yang sukses punya tempat makan."Jadi beli sayur di rumah sana itu untuk di bawa kemari?""Iya bu. Betul. Tadinya kakak yang mengelola. Tapi sekarang diserahkan kesaya. Yasudah kalau begitu silahkan pesan. Saya pindah meja saja" Mas Atnan."Makan bareng saja nak, biar ramai" ibu memberikan tawaran."Iya mas, tadi bilang mau ikut bergabung. Gak apa-apa." Aku juga meminta."Betul mas, gak perlu gak enak
Sejak pagi mas Aldo masih terus menghubungi. Bahkan semalam dia pergi kerumah. Entah berapa lama dia ada di depan gerbang. Mungkin srbsiknya aku pindah saja. Rasanya tak nyaman diteror hamoit setiap hari.Dan setelah kufikirkan semalaman. Ada baiknya memang aku menerima tawaran untuk datang ke warung mas Atnan. Rasanya berterimakasih saja tak cukup. Mas Atnan sudah membantuku dari mas Aldo.Akhirnya menjelang siang, Kuberanikan diri mampir kewarung mas Atnan. Aku membawakan beberapa cemilan dan buah juga. Sebagai rasa terimakasih sudah membantuku kemarin saat mas Aldo kembali datang menganggu."Ada yang bisa dibantu kak?" Seorang pelayan wanita memberikan menunya padaku.Aku menerimanya. "Eh, saya mau pesan nasi ayam saja mbak. Untuk dua puluh delapan orang. Kirim untuk makan siang di toko depan ya"Wanita itu mencatat pesananku. Aku masih mencoba mencari-cari dimana mas Atnan berada."Em, maaf.. ada lagi yang lain bu?""Oh, tidak. Itu saja. Dimana kasirnya?" Wanita itu mengantarkan
"Aku hanya ingin bersamamu dek sari!" Mas Aldo mencegahku pulang dari toko.Entah hari keberapa ini, dia terus datang kemari. Tanpa henti dan tak kenal lelah. Aku bahkan merasa benar-benar sudah terganggu."Biarkan aku bersamamu dek..." Dia mencengkeram tanganku dengan erat. Kucoba melepasnya, namun tetap saja tak bisa. " Dengarkan dulu sari, aku dulu begitu takut pada ibu. Sekarang aku tak takut lagi." Dia mulai memaksa."Lepaskan! " Teriakku akhirnya. Setalah berkali kali kucoba bersabar.Satpam tokoku sedang di dalam, membantu mengurusi barang yang masuk. Jadilah aku didepan sendiri. Mengurusi manusia tak tau malu ini."Aku tak bisa lagi melepaskanmu Sari. Aku masih mencintaimu" Dia menatapku memelas. Dia fikir aku akan tersentuh? Dimataku, Aldo hanyalah barang bekas yang sudah kubuang. "Apa maumu mas?""Kembali padamu. Aku mohon. Mas janji dek, mas tak akan menyakitimu. M
Ibu masih terlihat menangis. Beberapa warga memeluknya dengan erat. Sebentar kemudian mobil lain mendekat. Lalu seseorang turun daru dalam mobil."Mas Alan" Ucapku pelan. Tiba-tiba aku begitu khawatir, terlihat mas Alan datang dengan membawa Arcila dan Almira, tanpa mbak Asya.Mbak Nur tiba-tiba berlari kearah kami. "Mbak, siapa yang meninggal?""Kamu belum dengar Sari?" Mbak Nur berbalik tanya.Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tau mbak. Memang siapa?""Asya..."Astagfirullah...!Tubuhku tiba-tiba bergetar karena terkejut. Mbak Asya meninggal? Kenapa mbak Asya bisa meninggal? Bukankah kudengar terakhir kali dia akan menikah lagi."Jangan bercanda kamu Nur, bukanya Asya mau menikah bulan depan?" Mbak Yayuk bertanya. Sepertinya sama sepertiku, mbak Yayuk juga terkejut dan tak percaya."Masak berita orang mati aku buat-buat to mbak. Kalau aku buat-buat, menurut mbak siapa yang ada dalam peti itu?""Gak tau Nur, Aldo mungkin lebih pantas!" Ucap mbak Yayuk. "Lelaki tak tau diri itu pa