Setelah bersaksi di kantor polisi. Kami memutuskan menemui keluarga ojol itu. Sejak di pos hingga ke kantor polisi, sebenarnya dia tak berhenti memohon. Namun mas Yuda tetap kekeh membawanya kekantor polisi."Kenapa kita tidak lepaskan saja lelaki itu mas?"Aku menatap mas Yuda yang fokus melihat kearah jalan."Kenapa? Bukannya kamu sangat marah tadi dek?" Aku menghela nafas. Sedikit menyesal memperlakukan lelaki tadi begitu kasar. " Aku tau mas, tapi melihat dia yang mengiba karena dia tulang punggung keluarga. Aku jadi tak tega.""Karena dia tulang punggung keluarga dek, harusnya dia tak berbuat begitu!" Aku mendengar nada marah dalam kalimat mas Yuda."Dia terpaksa mas. Bukanya tadi dia bilang begitu. Mas juga dengar kan?"" Menafkahi itu kewajiban, tak lantas membenarkan sebuah kesalahan dek. Justru karena dia seorang ayah, harusnya dia malu menerima pekerjaan tak baik untuk memberikan anaknya makan!"Aku terdiam. Tak menyangka pemikiran mas Yuda sangat jauh kearah lain. "Orang
"Mas Yuda...!" Mbak Nadira berdiri, menatap mas Yuda berbeda. Tatapanya sendu, aku tau dia masih memiliki rasa yang sama seperti dulu.Kami datang kembali kekantor polisi. Mbak Nadira sudah disana sejak pagi tadi. Aku berdiri disamping mas Yuda, menyaksikan wanita itu menyentuh pipi suamiku."Kamu kesini untukku mas?" Begitu kalimat yang kudengar. Membuat hatiku berdesir menahan gejolak.Mas Yuda memjauhkan tangannya. Lalu perlahan berjalan kearah lain, menuju kursi di sudut ruangan. Sofa kulit berwarna coklat menyambut kami duduk. Ruang ini masih sebuah ruang devisi penyelidikan. Jadi kami masih bisa duduk nyaman dengan sofa yang empuk.Mataku dan mbak Nadira bertemu. Dia menunjukkan rasa tak sukanya. Bahkan sempat kudengar umpatan lirih dari bibirnya. Bisa saja aku membalas, namun harga diriku lebih dari sekedar mengumpat sampah.Aku duduk di dekat mas Yuda. Melingkarkan tangan ini di antara lengannya dan mengen
Pov Author"Apa kami bahagia mas?" Alan menatap tajam Yuda. Mantan kakak iparnya ini, kini terlihat lebih bersih dan berseri."Bahagia dengan apa?""Pernikahanmu sekarang?.""Apa kamu melihat kesedihan padaku saat ini?"Alan tersenyum. "Ya aku bisa melihat dirimu berbeda mas. Dunia sesempit ini ternyata, kamu menikahi mantan adik iparku." Alan mengambil kopi di meja, menghirupnya sebentar dan meneguknya sedikit."Aku tak punya banyak waktu Alan, katakan saja apa alasanmu memintaku bicara berdua?"Alan meletakkan cangkir kecil itu du meja. "Kamu sudah bertemu mbak Nadira mas?""Sudah. Kenapa?""Keadaannya memprihatinkan ya mas?"Yuda melipat tangannya di dada. Menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap tajam kearah Alan. "Hanya itu yang ingin kamu tanyakan?" Yuda mengangkat kedua alisnya."Maksud mas Yuda?""Kamu hanya ingin bertanya apakah aku prihatin dengan Nadira?""Yaa mas, aku tau kamu pasti juga melihatnya menderita. Aku ingin kamu melepaskannya.""Kamu memintaku melepaskan
Menjelang malam, deru mobil mas Yuda masuk kedalam garasi. Aku yang tengah belajar dengan Aisyah menunggunya masuk kedalam dengan cemas."Bunda, mangga itu 'g' nya berapa sih?" Gadis yang akan segera masuk sekolah dasar itu bertanya. Dia memang sudah lancar membaca. Hanya terkadang masih sulit membedakan mana yang harus mendapat dua huruf yang sama."Dua sayangku. Mangga itu 'g' nya ada dua."Gadis itu menganggukkan kepalanya, dia sibuk menyibakkan poninya yang mulai panjang menutup sedikit matanya."Sini bunda jepit rambutnya. Besok kita potong ya poninya." Kujepit poni itu kesamping. Gadis dengan lesung pipi itu kembali sibuk menulis. Dia duduk di atas karpet untuk belajar."Assalamualaikum" Suara mas Yuda masuk kedalam rumah. Dia lewat pintu samping yang berada tepat di sebelah sofa tempat kamu duduk sekarang."Waalaikumsalam." Aku berdiri mengambil tangannya. Kucium perlahan tangan yang selalu membuatku damai. " Mau minum mas?"Mas Yuda duduk sebentar di sofa belakang Aisyah. Meng
Aku dan ibu sudah bangun sejak pagi buta. Bahkan sebelum Azan subuh terdengar kami sudah sibuk memasak didapur. "Ikannya sudah digoreng bu, tinggal bikin sup buat Aisyah. Nanti saja Sari buat, biar anget" aku mengangkat ikan terakhir dari pengorengan dan meniriskannya pada wadah yang sudah ada."Yasudah, ibu juga sudah selesai. Nanti setelah subuh baru kita masukkan kedalam wadah tertutup." Ibu melepas tali celemek dari lehernya dan mengantungnya di sisi dapur.Hari ini kami akan pergi berlibur. Setelah menangis semalam aku memikirkan untuk membuat kenangan sebelum mas Yuda berangkat. Aisyah akan sangat senang tentunya, jika bisa menghabiskan waktu bersama Ayah botak sebelum mereka berpisah.Suara azan terdengar saat aku menaiki tangga. Mas Yuda sudah bangun dan bersiap sholat dengan sarung tenun merah kesukaanya. "Shalat berjamaah?" Tanyanya padaku.Aku menganggukan kepala dengan senyum yang lebar. "Iya mas, adek ambil wudhu dulu." Tentu saja aku ingin sholat bersamanya, karena set
" Ingat pesan mas ya dek. Ingat semua yang sudah adek lalui untuk bahagia. Ingat selalu untuk kuat dan berjuang." Dia membelai wajahku. Kugengam tangan kekarnya yang hangat. "Insyaallah mas. Segeralah pulang. Aku dan anak-anak menunggumu." Bisikku ditelinganya. Dia menarikku dalam dekapan. Tumpah lagi air mata ini. Meski mencoba kuat, nyatanya batinku tetaplah rapuh.Mas Yuda melepaskan pelukanku, mencium kening ini dengan hangat. Dia mengendong Fatih dan menciumnya juga dan terakhir Aisyah. Gadis kecil itu tiba-tiba merajuk. Menutup wajahnya dalam perut mbak Yayuk."Cantik... Tak mau peluk Ayah?" Mas Yuda merayunya. Menariknya perlahan dalam gendongan.Aisyah memeluk erat Ayahnya. Tangisnya pecah dalam gendongan mas Yuda. "Hey sayangku, bukankah kita sudah bicara. Aisyah akan jaga bunda kan? Komandan Aisyah jangan nangis dong!" Mas Yuda masih merayu. Gadis kecil itu perlahan mengangkat wajahnya. "Aisyah sayang
" Sejak kapan kamu begini?" Aku bertanya pada Akmal. Kami duduk di taman berdua. Sementara Rani di biarkan duduk didepan kami sendiri. Akmal mengharapkannya ke kolam air mancur. Dia merasa senang setiap kali melihat air itu melayang dan meluncur jatuh kedalam kolam."Sejak mbak memberi tau mbak Rani disini""Selama itu?" Aku terkejut dengan ucapannya. Ini sudah lebih dari sebulan sejak kutemukan Rani di taman kota.Dia hanya menganggukan kepala. Tatapannya lurus melihat punggung Rani. " Jika boleh mbak tau, kenapa? Bukankah kamu sangat membenci wanita yang sekarang duduk di kursi roda itu?"Akmal tersenyum tipis. "Aku memang tak menyukai caranya mendapatkan mas Aldo mbak. Namun tak adil juga dia disingkirkan hanya karena bayinya tak sempurna."Akmal benar. Tak adil memang apa yang sudah di lakukan Ibu dan kakaknya Aldo. Bagaimanapun Rani adalah gadis pilihan mereka untuk mengantikanku sebagai menantu. Bahkan Aldo
Rumah bercat hijau yang megah, lebih tinggi dari bangunan lain di tempat ini. Pagarnya yang menjulang tinggi, mengingatkanku pada kastil dalam dongeng anak. Aku memarkirkan mobilku diseberang jalan. Di tepian lapangan bola, dibawah pohon mangga.Aku menyeberang setapak kecil itu. Menyenyuh pintu gerbang yang menjulang tinggi nan megah. Betulkah ini rumahnya?Aku melihat kesekitar tak ada siapapun yang bisa di tanyai. Bahkan gerbang ini terlunci dari dalam. Jika aku mengetuk, sopankah?""Ngolek i sopo nduk?" (Cari siapa nduk?)Lelaki tua berkaus camping dengan peluh menetes berjalan menghampiri. Rumput memyembul dalam kresek putih di punggungnya. "Rumah pak Handoko njeh?" Aku bertanya."Iyo, cari pak Haji atau bu Hajah?"Aku berfikir sebentar. "Em, dua-duanya pak. Tapi pintunya dikunci"Lelaki itu melihat ke arah gerbang. "Walah memang selalu di kunci ndok. Nih di pencet saja sakelarnya""Sakelar?" Aku melihat tangan Bapak tadi menunjuk.
Aku berjalan masuk masuk, perlahan mencoba tersenyum dalam canggung. Mencari jawaban dari Kania dan Ibu. Namun keduanya hanya diam. Kania menarikku kedekatnya."Ada apa Kan?" Dia hanya senyum-senyum tak menjawab. Ingin aku toyor kepalanya, namun tak enak hati, di pandang banyak matan."Apa kabar Mbak Sari?" Seorang wanita dengan jimbab panjang menyapaku. Wajahnya tak asing, tentu saja, aku tau dia ibu mas Atnan."Baik bu, Alhamdulillah. Ibu lurah sehat?""Sehat, bahkan siap untuk mantu."Aku terdiam. Tak tau kemana arah pembicaraan wanita itu."Jadi seperti yang sudah diutarakan keluarga nak Atnan nduk, mereka datang untuk meminangmu."Mataku membulat sempurna. Tak ada angin dan hujan kenapa pelangi datang setelah badai?"Me_melamarku?" Aku menatap wajah mas Atnan denang lekat. Lelaki itu hanya tersenyum simpul.Jawaban apa itu!"Iya nduk, bagaimana? Apakah kamu sudsh siap menerima nak Atnan?" Ibu kembali bertanya.Aku masih terdiam. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, namun apakah hat
Ku gandeng ibu mas Aldo turun. Aku memang harus memapahnya masuk. Mata sayu wanita itu berkaca. Menatap kedepan kami. Aku melihat kemana arah mata itu sekarang. Rupanya wajah yang ia kenal tengah sibuk mengurus kertas-kertas di depannya. Sehingga ia tak memperhatikan siapa yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya.Iya, aku membawa ibu Ida menemui Akmal. Anak lelakinya yang dia usir dari rumah. Namun justru merubah hidup lelaki itu jauh lebih baik. Akmal kini memiliki tempat fotocopy dan percetakan. Ia membuka usaha itu dengan kerja keras dan bantuan mas Yuda.Dia jadi lelaki yang halus dan santun. Bahkan jambang dan janggutnya terlihat memanjang sekarang. Akmal kini jauh lebih dewasa dan meneduhkan."Assalamualaikum" Aku mengucap salam."Waalaikumsalam. Ada perlu a..." Dia terdiam, saat melihatku memapah ibu kandungnya berdiri, tepat di depan matanya sekarang. "Ibu?" Begitu kalimat yang kudengar. Entah mengapa membuat darah
"Mengapa kau membawa Fatih pergi?" Aku bertanya tanpa berbasa-basi lagi. Kesabaranku pada mas Aldo sudah ada diujungnya.Dia terdiam, membuang wajahnya kearah lain. Aku menemuinya di kantor polisi. Mas Aldo ternyata juga masuk daftar pencarian orang. Penipuan, adalah kasus yang kini juga menjeratnya."Baiklah, jika kamu hanya diam, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini terakhir kalinya aku kemari!"Aku berdiri, melangkah menuju pintu. "Aku hanya ingin memeluk anakku!"Suaranya sumbang. Membuat kakiku berhenti melangkah. Aku berbalik, melihat punggungnya yang kecil di balik baju orange bertuliskan Tahanan itu."Anak siapa? Fatih bukan anakmu!""Dia anakku! Aku tau dia anakku Sari!" Dia kini berdiri, namun belum melihatku."Anak yang tak kau akui sejak dalam kandungan? Bukankah mulutmu sendiri yang bilang 'hanya anak Rani darah dagingku'. Itu kan yang kau katakan?" Dia diam, tak ada jawaban."Lalu sekarang dimana Veronica? Hem... Kau bahkan tak bisa menjadi ayah yang baik untuk bayi malan
Kugendong Fatih yang menangis. Kupeluk dan kutenangkan dia dulu. " anak bunda sayang. Ini bunda" kutimang dia dalam dekapan. Kini tangisnya mulai reda. Dia memegang botol susunya dengan erat. Aku berjalan menuju pintu, tapi kudengar suara air dari dalam kamar mandi. Aku mendekat kearah pintu kamar mandi. Ada orang di dalam!Kutempelkan telingaku didaun pintu. Bunyi air itu sumakin jelas. "Sebentar nak, uti lagi buang air. Ini sudah selesai. Kamu jangan nangis lagi dong. Nanti mereka dengar!" Ibu ternyata ada di dalam. Aku kunci saja ibu dari luar. Biar saja dia berteriak-teriak didalam."Siapa itu! Hey siapa itu" suaranya berteriak mencoba membuka pintu."Jangan pernah lagi menyentuh anakku bu Ida!" Aku bicara dari luar. "Sari? Buka sari. Kembalikan Alex cucuku?"Alex? Keren amat namanya. Dikasih nama Muhammad Fatih kok jadi Alex. Kayak nama kedai Bakso di dekat Radio umum."Lha emang ibu punya cucu nama Alex?""Diam kamu. Keluarkan aku!""Diam ibu! Aku panggil polisi mau? Anakku b
"Assalamualaikum..." Suara itu membuatku melihat kearahnya. "Mas Atnan?"Saat aku sedang kalut. Mas Atnan datang tepat didepanku. Bisakah aku meminta bantuanmu juga mas?"Ada apa mbak?" Ia tampak terkejut melihatku yang tergugu"Bisa bantu saya mas. Anak saya hilang mas.""Aisyah?Aku menggelengkan kepala. "Fatih mas""Kok bisa? Dia kan masih kecil mbak. Yasudah kita kemobil dulu. Kita cari sama-sama. Nanti mbak bisa cerita kronoliginya sambil jalan."Aku menganggukkan kepala. Segera saja aku pergi menuju mobilku. Mas Atnan meminta kunci mobilku dan membukakanku pintu untuk masuk. Aku duduk di samping kemudi dan mas Atnan menyusul masuk. Tanpa berfikir panjang, kami pergi.***"Jadi Fatih di ambil mantan suami mbak kemarin itu? Aku menganggukan kepala."Secara biologis dia memang ayahnya mas. Tapi secara hukum fatih masuk anak saya dan mas Yuda. Entah bagaimana mas Yuda menuliskan Fatih anaknya yang sah.""Lalu Aisyah?""Dia anak angkat saya."Mas Atnan terdiam. "Mbak masih ingat kema
"Assalamualaikum " ibu datang bersama Kania dan anak-anak. Melihat mas Atnan dudukdi dalam saung bersamaku, membuat ibu menatapku penuh tanya."Ibu ingat, ini mas Atnan. Anaknya Bu lurah."Ibu duduk memperhatikan lelaki itu. "Oh, ibu ingat yang kemarun pas kita pulang ambil satur sama mak Idah kan?""Betul bu, itu saya. Apa kabar...""Baik mas, baik. Kok bisa sama-sama disini?" Kembali ibu mewawancara diriku."Oh, ini tempat makan punya mas Atnan bude" Kania ikut menjelaskan. Gadis sok tau inu tersenyum menggodaku. Dasar!Ibu nampak terkejut. Seban baru tau jika anak bu lurah itu polisi yang sukses punya tempat makan."Jadi beli sayur di rumah sana itu untuk di bawa kemari?""Iya bu. Betul. Tadinya kakak yang mengelola. Tapi sekarang diserahkan kesaya. Yasudah kalau begitu silahkan pesan. Saya pindah meja saja" Mas Atnan."Makan bareng saja nak, biar ramai" ibu memberikan tawaran."Iya mas, tadi bilang mau ikut bergabung. Gak apa-apa." Aku juga meminta."Betul mas, gak perlu gak enak
Sejak pagi mas Aldo masih terus menghubungi. Bahkan semalam dia pergi kerumah. Entah berapa lama dia ada di depan gerbang. Mungkin srbsiknya aku pindah saja. Rasanya tak nyaman diteror hamoit setiap hari.Dan setelah kufikirkan semalaman. Ada baiknya memang aku menerima tawaran untuk datang ke warung mas Atnan. Rasanya berterimakasih saja tak cukup. Mas Atnan sudah membantuku dari mas Aldo.Akhirnya menjelang siang, Kuberanikan diri mampir kewarung mas Atnan. Aku membawakan beberapa cemilan dan buah juga. Sebagai rasa terimakasih sudah membantuku kemarin saat mas Aldo kembali datang menganggu."Ada yang bisa dibantu kak?" Seorang pelayan wanita memberikan menunya padaku.Aku menerimanya. "Eh, saya mau pesan nasi ayam saja mbak. Untuk dua puluh delapan orang. Kirim untuk makan siang di toko depan ya"Wanita itu mencatat pesananku. Aku masih mencoba mencari-cari dimana mas Atnan berada."Em, maaf.. ada lagi yang lain bu?""Oh, tidak. Itu saja. Dimana kasirnya?" Wanita itu mengantarkan
"Aku hanya ingin bersamamu dek sari!" Mas Aldo mencegahku pulang dari toko.Entah hari keberapa ini, dia terus datang kemari. Tanpa henti dan tak kenal lelah. Aku bahkan merasa benar-benar sudah terganggu."Biarkan aku bersamamu dek..." Dia mencengkeram tanganku dengan erat. Kucoba melepasnya, namun tetap saja tak bisa. " Dengarkan dulu sari, aku dulu begitu takut pada ibu. Sekarang aku tak takut lagi." Dia mulai memaksa."Lepaskan! " Teriakku akhirnya. Setalah berkali kali kucoba bersabar.Satpam tokoku sedang di dalam, membantu mengurusi barang yang masuk. Jadilah aku didepan sendiri. Mengurusi manusia tak tau malu ini."Aku tak bisa lagi melepaskanmu Sari. Aku masih mencintaimu" Dia menatapku memelas. Dia fikir aku akan tersentuh? Dimataku, Aldo hanyalah barang bekas yang sudah kubuang. "Apa maumu mas?""Kembali padamu. Aku mohon. Mas janji dek, mas tak akan menyakitimu. M
Ibu masih terlihat menangis. Beberapa warga memeluknya dengan erat. Sebentar kemudian mobil lain mendekat. Lalu seseorang turun daru dalam mobil."Mas Alan" Ucapku pelan. Tiba-tiba aku begitu khawatir, terlihat mas Alan datang dengan membawa Arcila dan Almira, tanpa mbak Asya.Mbak Nur tiba-tiba berlari kearah kami. "Mbak, siapa yang meninggal?""Kamu belum dengar Sari?" Mbak Nur berbalik tanya.Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tau mbak. Memang siapa?""Asya..."Astagfirullah...!Tubuhku tiba-tiba bergetar karena terkejut. Mbak Asya meninggal? Kenapa mbak Asya bisa meninggal? Bukankah kudengar terakhir kali dia akan menikah lagi."Jangan bercanda kamu Nur, bukanya Asya mau menikah bulan depan?" Mbak Yayuk bertanya. Sepertinya sama sepertiku, mbak Yayuk juga terkejut dan tak percaya."Masak berita orang mati aku buat-buat to mbak. Kalau aku buat-buat, menurut mbak siapa yang ada dalam peti itu?""Gak tau Nur, Aldo mungkin lebih pantas!" Ucap mbak Yayuk. "Lelaki tak tau diri itu pa