Klek!
Pintu kamar itu terkuak, membiarkan bayangan sang empunya memasuki ruangan. Dara, yang sedang asyik dengan pekerjaannya, membalikkan tubuhnya dan terkejut, sepasang matanya membulat. Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan senyum menyeringai, seperti seekor serigala yang baru saja menemukan mangsa barunya. Mata Daiva berbinar penuh nafsu ketika melihat Dara yang cantik berada di dalam kamar pribadinya. Dengan langkah gontai, akibat mabuk yang masih mengguncang tubuhnya, Daiva menghampiri Dara yang berdiri mematung di samping ranjang king size. Udara di sekitarnya terasa semakin mencekam. "Ma-maaf Tuan. Sa-saya hanya membersihkan kamar Tuan," ucap Dara terbata-bata, suaranya bergetar menahan rasa takut yang menjalari setiap inci tubuhnya. Pria itu semakin mendekat, menghidu aroma tubuh Dara dengan napas yang memburu. Senyumannya kian melebar, bak iblis yang puas melihat mangsanya tak berdaya. "Wangi tubuhmu begitu memikat. What’s your name?" tanya Daiva dengan suara berat, penuh keangkuhan. Perempuan itu rasanya ingin lari dari tempat terkutuk itu. Namun, bagaimana caranya? Pria bertubuh tegap dan tinggi itu tampak seperti raksasa yang siap mendekapnya. "Siapa namamu, gadis cantik? Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam kamarku?" tanya Daiva sekali lagi, suaranya seperti bisikan maut yang menari di telinga Dara. "Na-nama saya Dara, Tuan. Saya pembantu baru di sini. Tadi, Ibu Mela menyuruh saya membersihkan kamar Tuan dan kamar satunya lagi," jawab Dara dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya menatap lantai seakan berharap bumi menelannya saat itu juga. "Daffa?" tanyanya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dara mengangguk cepat. Entahlah. Siapa pun itu, dia tak peduli. Berarti, jika kamar sebelah milik Daffa, orang ini pastilah Daiva. Hanya itu yang dapat diingatnya. "Permisi, Tuan," Dara berusaha mengundurkan diri, tapi baru saja kakinya melangkah, Daiva meraih tangan gadis cantik itu lalu menghuyungnya ke atas ranjang. Mata Dara membola sempurna saat pria itu merayap ke atas tubuhnya. Seringaian menakutkan dari Daiva kembali terbit, membuat Dara semakin takut akan hal-hal yang tidak diinginkan. "Tu-tuan mau apain saya? Tolong lepaskan saya, Tuan!" Dara memohon, suaranya patah-patah, meminta agar Daiva membebaskan dirinya. Dara terjebak di dalam kamar milik Daiva, tak bisa keluar lantaran Daiva mencengkeramnya dengan kuat. Ruangan itu kini berubah menjadi penjara, dan Dara adalah tahanan yang tak berdaya. "Lepasin saya, Tuan. Saya mohon. Jangan lakukan itu, Tuan!" pekik Dara setelah Daiva berhasil menanggalkan pakaiannya. Daiva menikmati pemandangan luar biasa yang ada di depan matanya, wajahnya penuh kepuasan yang mencekam. "Kau akan jadi milikku malam ini, Dara. Enjoy and... rasakan hujaman yang akan kuberikan padamu sampai menjelang pagi." Waktu sudah menunjuk angka tiga pagi. Dan Daiva masih saja menghujam Dara tanpa ampun. Jeritan dan lenguhan yang dilontarkan secara bersamaan tak bisa membuat Daiva iba. "Tuan, berhenti! Saya sudah lelah. Tolong hentikan!" suara Dara terdengar serak, hampir habis, namun tetap tak ada belas kasihan di mata Daiva. Pria itu terus menghujamnya tanpa ampun, menenggelamkan Dara dalam lautan siksaan yang tak berujung. Malam itu, Dara benar-benar terperangkap dalam neraka yang diciptakan oleh pria yang seharusnya hanya menjadi majikannya. "Arrrggghhhh! Tuan... hentikan! Sakit!!!" pekik Dara, suaranya menggema di seantero kamar. Tangannya yang gemetar meremas sprei putih itu erat-erat, seolah berharap kain itu bisa membawanya keluar dari neraka yang sedang ia alami. Suara gelak tawa Daiva terdengar nyaring di telinga Dara, seperti tawa iblis yang merayakan penderitaan korbannya. "Menikmati tubuh yang belum disentuh pria manapun ternyata lebih nikmat. Kamu akan menjadi pemuas hasratku mulai detik ini, gadis manis!" bisiknya lirih namun penuh keserakahan, tak membuatnya menjeda permainan gila itu. Tak lama setelahnya, Daiva akhirnya menghentikan aksi gilanya, menyemburkan peluh gila itu di dalam rahim Dara untuk yang kesekian kalinya. Sudah tak terhitung berapa kali pria itu menghujam tubuh mungil Dara. Kini, perempuan itu terkapar di atas tempat tidur, menangisi keadaannya yang tak lagi suci. Meratapi nasibnya yang harus menerima pil pahit jika kesuciannya direnggut oleh pria yang bahkan baru ia tahu namanya. "Bedebah gila! Kenapa aku harus terjebak di dalam kamar terkutuk ini? Aku harus segera pergi dari rumah ini. Aku tidak mau kerja di sini lagi. Ini bukan istana, tapi neraka," gumam Dara dengan sangat pelan, agar Daiva yang kini berada di dalam kamar mandi itu tidak mendengarnya. Dengan sisa tenaganya, Dara memunguti pakaiannya yang berserakan lalu segera memakainya. "Aaahh...." Dara merintih sakit di bagian pangkal pahanya. Darah kesuciannya bahkan masih menempel di sana. "Pria terkutuk!" pekik Dara kemudian, berlari keluar dari kamar itu. Berusaha keluar walaupun rasanya kakinya sudah lemas, tak mampu lagi menginjak lantai. Ia merintih kesakitan lalu... perempuan itu tak sadarkan diri. Beruntung, ada Daffa yang keluar kamar lalu melihat Dara terbaring tak sadarkan diri tepat di bawah anak tangga. "Hei... bangun! Kamu kenapa?" Daffa mencoba membangunkan perempuan itu, namun hasilnya nihil. Ia pun membawanya ke dalam kamarnya. Tiba di dalam kamar, Daffa membaringkan tubuh Dara dengan sangat hati-hati. Keningnya mengerut saat melihat tanda merah di lehernya, banyak, tak terhitung oleh Daffa. "Suara pekikan dari kamarnya Daiva... apakah gadis malang ini? Tapi, siapa dia? Bahkan, jika memang perempuan ini wanita sewaan Daiva, mana mungkin sepolos ini. Tidak terlihat jika gadis ini wanita seperti itu." Daffa menyimpan banyak pertanyaan dengan hadirnya gadis malang itu, lalu menghela napasnya dengan pelan. Ia menarik selimut, menutupi tubuh lemah tak berdaya Dara. Wajahnya tampak pucat, lebam di leher dan mungkin juga di bagian dada. Daffa menggeleng-geleng, tak habis pikir dengan prilaku kakaknya yang gila akan hasrat yang ia miliki. "Siapa pun kamu, jangan kembali lagi pada Daiva. Dia itu mafia perempuan. Padahal sudah punya calon istri, tetap saja selalu menginginkan wanita lain," Daffa seolah sedang berbicara pada Dara, padahal perempuan itu bahkan tak bisa mendengarnya.Pagi hari telah tiba. Mata Dara membuka dengan pelan, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tubuhnya masih lemas, namun ia tahu bahwa ia harus segera keluar dari rumah itu. "Sial! Kenapa aku ada di kamar neraka ini lagi?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. Daffa terbangun, terbangkit dari tidur di sofa. Tangisan Dara yang mulai pecah kembali telah mengusik tidurnya. Segera pria itu menghampiri Dara, menjaga jarak agar tidak membuat Dara salah paham. "Hei! Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian. Dara mengangkat wajahnya dengan cepat, matanya terbelalak ketakutan. Dengan sigap, ia menutup tubuhnya dengan kedua tangannya, trauma yang mendalam pada seorang pria sudah pasti ia rasakan. "Siapa kamu? Jangan sentuh saya!" ucapnya penuh ketakutan, tubuhnya gemetar. "Jangan takut. Aku bukan Daiva. Aku Daffa. Apa yang sudah kakakku lakukan padamu? Dan... kamu siapa?" tanya Daffa dengan suara selembut mungkin, berusaha menenangkan Dara.
Melawati menoleh pada anak bungsunya itu. "Oh. Lagi beresin kamar kamu. Memang sangat rajin Dara itu. Sudah cantik, polos, rajin, dan penurut. Mau nggak, Daffa?"Melawati tiba-tiba menawarkan Dara padanya. Apa maksudnya? Sedangkan Daffa memang akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Daiva pada Dara."Tapi, Ma. Bagaimana bisa Mama menawarkan Dara padaku?" tanya Daffa dengan pelan.Melawati mengembuskan napasnya dengan panjang. "Daiva sebentar lagi akan menikah. Kamu ... sebentar lagi lulus S-3. Mama ingin anak-anak Mama menikah, Daffa.""Hanya itu?"Melawati menoleh kembali pada Daffa. "Lalu ... maunya apa lagi, Daffa? Suka nggak, sama Dara? Mama nggak peduli dengan latar belakangnya, Daf. Mama tahu, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, sepertinya anak itu cocok untuk kamu."Daffa mengerutkan keningnya. Melawati menjodohkannya dengan Dara. Lalu, bagaimana jika Dara hamil anak Daiva?"Ma ... Dara.""Yaa. Dara kenapa, Daf? Bukan selera kamu? Lalu, kamu mau cari yang sepert
Mendengar itu, Daiva lantas menoleh cepat ke arah mamanya. Sementara Daffa hanya tersenyum miring. Lalu Daiva menoleh pada Daffa. 'Tampaknya Daffa tahu, aku yang sudah melakukan itu pada Dara. Hhhh. Kena kamu, Daffa!' ucapnya dalam hati. "Bukankah tadi kamu keluar dari kamar Daffa?" tanya Daiva dengan santainya. Semua orang yang ada di sana lantas menoleh pada Daiva. Daffa mengerutkan keningnya. Licik. Kata yang pantas untuk Daffa dan Dara ucapkan pada pria berhati iblis itu. "Apa! Daffa! Apa yang kamu lakukan, huh? Jangan mentang-mentang Mama ingin kamu menikah dengan gadis ini, dengan seenaknya kamu melakukan itu pada Dara!" teriak Melawati. Perempuan itu sedang naik pitam. Marah karena anak kesayangannya itu sudah melakukan hal yang tak terduga. Padahal, bukan dia pelakunya. "Daiva! Kenapa lempar batu sembunyi tangan? Elo yang udah perkosa Dara. Bukan gue! Biadab!" pekik Daffa. Tak terima dengan ucapan Daiva yang sudah memfitnahnya. Daiva melipat tangan di dada. "Ada bukti?
Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya."Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya."Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu."Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus j
Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali. Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully ha
Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga. "Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis." Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya. Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara. 'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.' Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa. Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali. "Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?" Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya
Plak!!Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya."Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini."Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada
Satu minggu berlalu.Dara yang kini memilih untuk pergi jauh dari keluarga Adicandra benar-benar pergi. Hilangnya Dara dengan membawa calon bayi keturunan Adicandra meninggalkan kekhawatiran dari pihak Melawati, Adicandra dan Daffa.Sedangkan Daiva. Sampai saat ini dia seperti pria asing di dalam keluarga itu. Ingin rasanya pernikahan itu segera terlaksana. Agar Daiva segera pergi dari rumah itu.Di rumah kontrakan.Tempat di mana Dara memilih menetap di sana dengan bermodalkan uang pemberian Daiva. Belum mendapatkan pekerjaan karena memang Dara belum mencari pekerjaan yang layak untuk ibu hamil.Kini, usia kandungannya sudah memasuki delapan minggu. Setelah kabur dari Daffa, Dara memeriksa kandungannya di sebuah klinik yang ada di sana."Mas Daffa mungkin sudah membaca suratku. Tentang perasaanku yang sampai saat ini masih saja mencintainya." Dara berucap sendiri.Di dalam kamar yang lumayan luas itu, Dara termenung sendiri. Rasa lega bisa keluar dari rumah itu, juga bisa tidur denga