Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga.
"Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis." Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya. Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara. 'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.' Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa. Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali. "Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?" Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya. Menyusul Dara yang juga belum kembali. Setibanya di toilet. Dengan langkah terpaksa, Daffa memasuki toilet khusus wanita. Khawatir Dara dalam keadaan tidak baik-baik saja di dalam sana. Namun, hingga ketukan di pintu terakhir tak ada suara Dara ataupun yang menyahut bahwa itu adalah dia. Daffa panik. Ke mana perginya perempuan itu. Walaupun orang tuanya tidak akan menanyakan Dara padanya, tetap saja rasa khawatir tetap ada. "Ke mana kamu, Dara? Kenapa kamu melarikan diri jika memang kabur dariku." Daffa menjambak rambutnya. Setelahnya, ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Berharap ia menemukan Dara selagi pulang ke rumahnya. "Mama memang tidak akan menanyakan Dara padaku. Tapi, aku tidak tahu alasan dia kabur dariku itu kenapa." Daffa berbicara sendiri selama perjalanan menuju pulang. Tiba di rumah. "Nyonya ... Nyonyaa!" teriak Biah sambil membawa sebuah amplop putih persegi panjang. Melawati yang baru sampai lima menit sebelum Daffa lantas menoleh pada Biah yang berteriak memanggilnya. "Ada apa Biah? Kenapa muka Biah tampak panik seperti itu?" tanya Melawati sedikit panik dengan ekspresi wajah Biah. Perempuan itu mengatur napasnya terlebih dahulu. Lalu setelahnya, ia memberikan amplop itu pada Melawati. "Dara kabur, Bu. Dara pergi dari rumah ini dengan menitipkan surat ini di dalam kamarnya," ucap Biah memberi tahu. "Apaaa?!" Melawati membolakan matanya. Setelah itu, membuka amplop berisi surat yang dibuat Dara yang memang tertuju untuk Melewati. Isi surat Dara. 'Ibu Melawati yang saya hormati. Maafkan saya karena harus pergi tanpa izin terlebih dahulu. Bukan ingin saya pergi begitu saja setelah semua perlakuan baik dari Ibu dan Mas Daffa saya terima. 'Saya pergi karena tidak ingin ada yang terluka. Mas Daffa, saya tidak pantas menikah dengan dia karena ini semua bukan salahnya. 'Maafkan saya karena sudah berbohong jika orang yang sudah menodai saya itu Mas Daffa. Jangan salahkan dia lagi, Bu. Mas Daffa tidak salah. 'Tuan Daiva lah yang sudah menodai saya. Dan perlu Ibu ketahui, dia selalu melakukan itu setiap malam pada saya. Hanya dua hari ini saja dia tidak pernah melakukannya. 'Dan itu membuat saya bisa tidur nyenyak tanpa harus menangis terlebih dahulu karena menahan sakit yang disebabkan oleh perlakuan gila Tuan Daiva. 'Sekali lagi saya minta maaf. Selamat tinggal. Dan semoga pernikahan Tuan Daiva lancar. Saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada siapa pun. Apalagi kepada Mas Daffa.' Tangan Melawati bergetar saat membaca surat yang dengan terang-terangan Dara mengungkapkan siapa pelaku pemerkosaan yang dilakukan terhadapnya. Air mata Melawati pun jatuh tanpa diminta. Sedih mendengar penuturan singkat jelas padat Dara. Kemudian Biah memberikan alat tes kehamilan di atas nakas yang mungkin Dara lupa membuangnya. "Dara hamil, Nyonya. Dara pergi mungkin karena tidak ingin merusak pernikahan Tuan Daiva," tutur Biah kemudian menundukkan kepalanya. Daffa mengambil surat yang masih berada di tangan mamanya. Sementara Melawati, mengambil alat tes kehamilan itu. Kembali menitikan air mata setelah melihat dengan jelas dua garis tercetak di sana. 'Jadi, dia memang sudah berniat pergi dari rumah ini. Dan, dia juga tidak mau menikah denganku karena aku bukanlah pelakukanya,' ucap Daffa dalam hati. Melewati duduk dengan lemas di atas sofa. Tangannya menutup mulutnya dengan air mata yang terus menetes. "Daffa. Jangan biarkan Daiva bahagia di atas penderitaan Dara. Gara-gara dia, gadis polos itu harus menanggung akibatnya. Mama membencinya bukan hanya karena dia sudah menodai Dara. Tapi juga sudah fitnah kamu." Kini, terbongkar sudah siapa yang sudah menodai Dara. Bukan Daffa, melainkan Daiva. Pria yang akan menikah bulan depan namun tidak merasa puas dengan apa yang dia miliki. "Ma. Kita harus cari Dara ke mana? Dia lagi hamil. Lagi hamil calon cucu Mama. Apa Mama mau membiarkan Dara merawat bayi itu sendirian, sedangkan keluarga dari ayahnya adalah keluarga berada?" Melawati menoleh lemas ke arah Daffa. "Kita akan mencari Dara sama-sama. Mama akan menyewa beberapa mata-mata untuk menemui Dara secepatnya." "Lalu, pernikahan Daiva dan Cheryl bagaimana?" tanya Daffa kembali. "Memangnya kamu mau ... buat jantung papa kamu kambuh? Apa yang akan mereka lakukan saat tahu jika Daiva sudah menghamili perempuan lain?" Daffa memijat keningnya. Keadaan seperti ini tidak pernah mereka inginkan. Tapi, Daiva malah merusak semuanya. Daiva menghancurkan semuanya. Dia yang memilih Cheryl untuk dijadikannya istri, tapi dia juga yang sudah mengkhianatinya. Dengan langkah santai dan seperti orang tidak punya dosa, Daiva berjalan menghampiri Melawati dan Daffa. Keningnya mengkerut saat melihat wajah mamanya merah. "Mama nangis? Kenapa, Ma?" tanya Daiva sambil mengusap bahu mamanya. Baik Daffa maupun Melawati, tidak ada yang menjawab pertanyaan Daiva. Manusia iblis itu patut dimusuhi oleh keluarganya sekalipun. "Aku ke kamar dulu, Ma." Daffa pamit. Tanpa menoleh pada Daiva, pria itu berjalan lurus menuju kamarnya. Surat dan alat tes kehamilan dibawa Daffa. Sudah mendapat persetujuan dari sang mama. Seperti akan membuat jebakan untuk Daiva suatu saat nanti. "Ma. Mama kenapa nangis? Jantung Papa kambuh lagi?" tanya Daiva yang masih ingin tahu kenapa mamanya menangis. Melawati masih bergeming. Menatap wajah anak sulungnya itu pun tak mau. Malas, benci juga tak percaya jika sekotor itu anaknya. "Ya udah, kalau Mama nggak mau cerita. Aku mau ke kamar dulu kalau begitu," kata Daiva sambil bangun dari duduknya. Matanya mengedar. Tengah mencari keberadaan Dara namun tidak ada di sana. Kemudian tersenyum miring karena ia yakin, jika perempuan itu sudah masuk ke dalam kamarnya. 'Tunggu aku di kamarmu, gadis manis. Aku merindukanmu setelah dua hari ini tidak menyentuhmu,' ucapnya dalam hati sambil berjalan menuju kamar. Sambil bersiul, bahagia karena punya cadangan jika ia merasa bosan dengan permainan Cheryl. Daiva masih tidak tahu jika perempuan itu sudah tidak ada di sana. Melawati menatap nanar ke arah kamar Daiva. Ingin membuktikan sendiri jika memang Daiva lah yang sudah memperkosa Dara. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuat anak itu malu sampai ubun-ubun." Melawati tersenyum miring. Lalu masuk menuju kamarnya. Siap-siap untuk menjebak Daiva agar dia mau mengakui kesalahannya. Sementara di dalam kamar Daiva. Pria itu bersiul dengan riangnya setelah selesai membersihkan diri. Teleponnya berdering, panggilan dari Cheryl. Dengan malas, pria itu menerima panggilan tersebut. "Kenapa, Sayang? Aku baru selesai mandi. Kangen, heum?" tanya Daiva. "Heeumm. Papa bilang padaku, jangan dulu temui kamu sebelum acara pernikahan tiba. Bagaimana bisa aku tidak bisa melihatmu setiap hari?" Daiva lantas tertawa pelan. "Sabar dong, Sayang. Hanya tiga minggu kok. Supaya kamu bisa merasakan rindu. Sama seperti yang aku lakukan saat kamu pergi ke luar negeri selama dua bulan lamanya." "Hhhh. Memangnya kamu saja yang merindukanku? Aku juga, Daiva!" "Oke, oke. Aku mau makan malam dulu, yaa. Setelah itu, tidur. hari ini aku lelah sekali." "Baiklah." Daiva menutup panggilan tersebut. "Akhirnya, aku tidak perlu pulang larut malam lagi hanya karena bertemu dengan Cheryl. Dan ... bisa berlama-lama dengan Dara di sini." Daiva tersenyum menyeringai. Lalu keluar dari kamarnya untuk segera menghampiri Dara yang sudah berada di dalam kamarnya, pikirnya. Klek! "Kenapa lampu kamarmu tidak kau nyalakan, Dara? Apa kau sudah menungguku, karena merindukan permainan gilaku itu, hem?" Lampu pun dinyalakan Daiva. Matanya terbelalak bukan main saat melihat seseorang tengah duduk, menatap tajam sambil melipat tangan di dadanya.Plak!!Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya."Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini."Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada
Satu minggu berlalu.Dara yang kini memilih untuk pergi jauh dari keluarga Adicandra benar-benar pergi. Hilangnya Dara dengan membawa calon bayi keturunan Adicandra meninggalkan kekhawatiran dari pihak Melawati, Adicandra dan Daffa.Sedangkan Daiva. Sampai saat ini dia seperti pria asing di dalam keluarga itu. Ingin rasanya pernikahan itu segera terlaksana. Agar Daiva segera pergi dari rumah itu.Di rumah kontrakan.Tempat di mana Dara memilih menetap di sana dengan bermodalkan uang pemberian Daiva. Belum mendapatkan pekerjaan karena memang Dara belum mencari pekerjaan yang layak untuk ibu hamil.Kini, usia kandungannya sudah memasuki delapan minggu. Setelah kabur dari Daffa, Dara memeriksa kandungannya di sebuah klinik yang ada di sana."Mas Daffa mungkin sudah membaca suratku. Tentang perasaanku yang sampai saat ini masih saja mencintainya." Dara berucap sendiri.Di dalam kamar yang lumayan luas itu, Dara termenung sendiri. Rasa lega bisa keluar dari rumah itu, juga bisa tidur denga
Dafa menggeleng pelan. "Nasib manusia beda-beda, Ma. Lagi pula, sudah tidak suci atau masih suci bukan patokan kebahagiaan rumah tangga seseorang."Dara juga tidak mau nasibnya seperti itu. Tidak ada yang bisa menyalahkan dia. Bukan ingin dia jadi korban pelecehan. Nasib ketidakberuntungan Dara harusnya aku yang tolong."Gadis seperti Dara tidak pantas disakiti. Aku pura-pura cuek dan tidak pernah menunjukkan kalau aku mencintainya karena menghindari kesalahpahaman."Penuturan panjang lebar Daffa membuat hati Melawati yang mendengarnya terenyuh. Seorang Daffa, anak bungsunya yang jarang berbicara itu kini mengeluarkan semua perasaan yang dia pendam sendiri."Mencintai Dara bukan suatu kesalahan, Ma. Siapa pun yang bilang aku tidak pantas memiliki Dara, adalah orang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta dengan tulus," ucap Daffa kembali.Melawati mengangguk paham. "Iya, Nak. Mama paham. Kini, tugas kita hanya mencari keberadaan Dara. Anak itu terlalu polos jika tinggal sendirian. Ban
Sampai di depan gerobak nasi goreng. Fahri mempersilakan Dara duduk terlebih dahulu. Biarkan dia yang memesan nasi goreng untuk perempuan itu.“Dibungkus aja, yaa. Sudah malam. Udara dingin malam hari tidak baik untuk kesehatan ibu hamil,” kata Fahri.Saat itu Dara hanya mengangguk. Menatap punggung Fahri yang sedang memesan nasi goreng, dua porsi. Untuknya dan untuk Dara.‘Apakah ini yang dinamakan setelah badai, pasti akan ada pelangi hadir? Saat aku sedang terpuruk dan frustasi akan kehadiran bayi ini, aku menemukan pria yang baik. Yang mau menolongku dengan tulus.‘Belum tentu. Aku tidak boleh lengah dan percaya begitu saja pada orang yang baru aku kenal ini. Walaupun aku sudah kenal pada orang tuanya seminggu yang lalu. Mas Fahri memang terlihat baik. Tapi, aku tidak boleh terpancing oleh sikapnya.‘Bisa saja dia baik hanya karena sedang membutuhkan orang untuk bekerja di cafe-nya. Tidak lebih dari itu. Sama seperti Mas Daffa. Yang ingin menikahiku hanya karena tidak mau anak dar
“Oh. Saya ngontrak di kontrakan ayahnya, Mas. Terus, minta tolong carikan lowongan kerja untuk saya pada Pak Sugi,” jelas Dara.Ifan mengangguk paham. “Sudah lama, ngontrak di sana?”“Baru seminggu, Mas. Mas namanya siapa? Kita belum kenalan.”“Ifan. Adiknya Kak Fahri.”Dara sempat terkejut hingga membuka mulutnya. Lalu, kembali ditutup sambil mengulas senyumnya.“Kirain siapa. Tahunya adiknya Mas Fahri toh. Nggak kuliah kayak Mas Fahri, Mas?”Ifan menggeleng. “Aku lebih senang kerja daripada kuliah. Sudah lelah. Ingin kerja saja. Kak Fahri diajak temannya lanjut kuliah sampai S-3. Dia juga pemilik cafe ini.”Dara mengangguk. “Iya, Mas. Saya sudah tahu. Semalam Mas Fahri kasih tahu saya.”“Okay. Udah tahu … siapa pemilik cafe ini?”Dara menggeleng pelan. “Belum, Mas. Saya hanya tahu kalau dia temannya Mas Fahri.”“Iyaa. Pemilik cafe ini ….” Ifan menghela napasnya dengan panjang. “Ini cafe baru buka sekitar dua bulanan yang lalu. Dibangun karena dia ingin punya usaha sendiri setelah kel
Dara lantas berbalik badan setelah melihat Daffa berada di sana. Benar-benar pria itu yang sedang duduk berbincang dengan Fahri.Sekaligus pemilik cafe tempat ia bekerja kini. Dara memberikan nampan itu pada Riska yang kebetulan sedang lewat."Mbak. Saya kebelet. Tolong antarkan ini ke pemilik cafe itu, yaa." Dara menunjuk Daffa yang sedang termenung itu.Matanya mendadak sayu. Melihat Daffa yang tampak lesu dan tak ada semangat gairah dalam hidupnya.'Ada apa dengan Mas Daffa? Kenapa mukanya murung seperti itu? Apa dia lagi ada masalah?' ucapnya dalam hati.Kemudian Riska mengambil nampan yang masih dipegang Dara. "Katanya kebelet. Kok malah mantengin cogan itu?"Dara menoleh dengan pelan ke arah Riska. "Oh, iyaa. Maaf, Mbak."Dara pun segera masuk ke dapur, menghindari Daffa yang khawatir melihatnya. Lalu ia mengatur napasnya karena capek berlari dari luar hingga ke dalam.Kemudian masuk ke dalam toilet agar Riska tidak curiga padanya. Walaupun di sana hanya membasuh wajah saja.Di
Fahri mengendikan bahunya. "Elo ... nggak ikutan nanam benih di sana, kan?"Daffa menggeleng. "Nyentuh dia aja nggak pernah. Paling mentok pegang tangan dia doang. Gak ada lagi. Kasihan.""Tapi, sama Julies doyan. Kayak kucing dikasih ikan asing. Langsung disambar."Daffa mengibaskan tangan pada Fahri. "Gue lagi nggak mau bahas masa lalu, Fahri! Gue lagi menata hidup gue agar lebih baik. Gue mau menikah sama Dara. Jangan bahas masa lalu gue lagi."Fahri mengangguk-anggukkan kepalanya. "Okay. Kita fokus menuju kontrakan aja. Lima menit lagi sampai."Daffa tak menjawab. Fokus menatap ke depan. Berharap Dara ada di sana sedang jalan kaki atau naik ojek.Tiba di kontrakan.Pintu kontrakan itu tertutup rapat. Karena Fahri tak ingin membuat Dara curiga ia membawa Daffa, lantas pria itu mengetuk pintu sendirian.Sedangkan Daffa, menunggu di dalam mobil. Berharap Dara mau membuka pintu dan menghampiri Fahri. Kemudian pulang bersamanya. Menemui Melawati yang hampir setiap hari menangisi keperg
Satu jam kemudian.Dara membuka matanya secara perlahan. Mengedarkan matanya ke seluruh penjara ruangan di dalam sana."Aaahhh ...." Dara meringis pelan sambil memegang perutnya."Di mana ini? Rumah sakit kah? Aku kenapa, yaa?" Dara bertanya-tanya.Dara menoleh ke arah samping. Melihat Daffa ada di sana.'Apakah Mas Daffa yang sudah membawaku ke sini? Aku kenapa, yaa?' ucapnya kembali. Tapi kini, ia berucap dalam hati."Mas!" Dara membangunkan Daffa yang tertidur di atas bangsal, di sampingnya.Kemudian pria itu sedikit terkejut lalu segera mengucek matanya. Menatap Dara yang sudah terbangun."Dara. Syukurlah kamu sudah siuman," kata Daffa sembari memegang tangan perempuan itu.Sementara Dara hanya menunduk malu. Kepergiaannya tidak membuahkan hasil. Ditemukan lagi oleh Daffa yang ternyata terus mencarinya setiap hari.“Kenapa Mas Daffa mencari saya? Biarkan saya sendiri mengurus bayi ini, Mas. Terima kasih sudah mengantar saya ke rumah sakit. Sekarang Mas Daffa boleh pulang,” ucapnya