Share

Bab 7: Kabur

Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga.

"Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis."

Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya.

Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara.

'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.'

Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa.

Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali.

"Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?"

Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya. Menyusul Dara yang juga belum kembali.

Setibanya di toilet. Dengan langkah terpaksa, Daffa memasuki toilet khusus wanita. Khawatir Dara dalam keadaan tidak baik-baik saja di dalam sana.

Namun, hingga ketukan di pintu terakhir tak ada suara Dara ataupun yang menyahut bahwa itu adalah dia.

Daffa panik. Ke mana perginya perempuan itu. Walaupun orang tuanya tidak akan menanyakan Dara padanya, tetap saja rasa khawatir tetap ada.

"Ke mana kamu, Dara? Kenapa kamu melarikan diri jika memang kabur dariku." Daffa menjambak rambutnya.

Setelahnya, ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Berharap ia menemukan Dara selagi pulang ke rumahnya.

"Mama memang tidak akan menanyakan Dara padaku. Tapi, aku tidak tahu alasan dia kabur dariku itu kenapa." Daffa berbicara sendiri selama perjalanan menuju pulang.

Tiba di rumah.

"Nyonya ... Nyonyaa!" teriak Biah sambil membawa sebuah amplop putih persegi panjang.

Melawati yang baru sampai lima menit sebelum Daffa lantas menoleh pada Biah yang berteriak memanggilnya.

"Ada apa Biah? Kenapa muka Biah tampak panik seperti itu?" tanya Melawati sedikit panik dengan ekspresi wajah Biah.

Perempuan itu mengatur napasnya terlebih dahulu. Lalu setelahnya, ia memberikan amplop itu pada Melawati.

"Dara kabur, Bu. Dara pergi dari rumah ini dengan menitipkan surat ini di dalam kamarnya," ucap Biah memberi tahu.

"Apaaa?!" Melawati membolakan matanya. Setelah itu, membuka amplop berisi surat yang dibuat Dara yang memang tertuju untuk Melewati.

Isi surat Dara.

'Ibu Melawati yang saya hormati. Maafkan saya karena harus pergi tanpa izin terlebih dahulu. Bukan ingin saya pergi begitu saja setelah semua perlakuan baik dari Ibu dan Mas Daffa saya terima.

'Saya pergi karena tidak ingin ada yang terluka. Mas Daffa, saya tidak pantas menikah dengan dia karena ini semua bukan salahnya.

'Maafkan saya karena sudah berbohong jika orang yang sudah menodai saya itu Mas Daffa. Jangan salahkan dia lagi, Bu. Mas Daffa tidak salah.

'Tuan Daiva lah yang sudah menodai saya. Dan perlu Ibu ketahui, dia selalu melakukan itu setiap malam pada saya. Hanya dua hari ini saja dia tidak pernah melakukannya.

'Dan itu membuat saya bisa tidur nyenyak tanpa harus menangis terlebih dahulu karena menahan sakit yang disebabkan oleh perlakuan gila Tuan Daiva.

'Sekali lagi saya minta maaf. Selamat tinggal. Dan semoga pernikahan Tuan Daiva lancar. Saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada siapa pun. Apalagi kepada Mas Daffa.'

Tangan Melawati bergetar saat membaca surat yang dengan terang-terangan Dara mengungkapkan siapa pelaku pemerkosaan yang dilakukan terhadapnya.

Air mata Melawati pun jatuh tanpa diminta. Sedih mendengar penuturan singkat jelas padat Dara.

Kemudian Biah memberikan alat tes kehamilan di atas nakas yang mungkin Dara lupa membuangnya.

"Dara hamil, Nyonya. Dara pergi mungkin karena tidak ingin merusak pernikahan Tuan Daiva," tutur Biah kemudian menundukkan kepalanya.

Daffa mengambil surat yang masih berada di tangan mamanya. Sementara Melawati, mengambil alat tes kehamilan itu. Kembali menitikan air mata setelah melihat dengan jelas dua garis tercetak di sana.

'Jadi, dia memang sudah berniat pergi dari rumah ini. Dan, dia juga tidak mau menikah denganku karena aku bukanlah pelakukanya,' ucap Daffa dalam hati.

Melewati duduk dengan lemas di atas sofa. Tangannya menutup mulutnya dengan air mata yang terus menetes.

"Daffa. Jangan biarkan Daiva bahagia di atas penderitaan Dara. Gara-gara dia, gadis polos itu harus menanggung akibatnya. Mama membencinya bukan hanya karena dia sudah menodai Dara. Tapi juga sudah fitnah kamu."

Kini, terbongkar sudah siapa yang sudah menodai Dara. Bukan Daffa, melainkan Daiva. Pria yang akan menikah bulan depan namun tidak merasa puas dengan apa yang dia miliki.

"Ma. Kita harus cari Dara ke mana? Dia lagi hamil. Lagi hamil calon cucu Mama. Apa Mama mau membiarkan Dara merawat bayi itu sendirian, sedangkan keluarga dari ayahnya adalah keluarga berada?"

Melawati menoleh lemas ke arah Daffa. "Kita akan mencari Dara sama-sama. Mama akan menyewa beberapa mata-mata untuk menemui Dara secepatnya."

"Lalu, pernikahan Daiva dan Cheryl bagaimana?" tanya Daffa kembali.

"Memangnya kamu mau ... buat jantung papa kamu kambuh? Apa yang akan mereka lakukan saat tahu jika Daiva sudah menghamili perempuan lain?"

Daffa memijat keningnya. Keadaan seperti ini tidak pernah mereka inginkan. Tapi, Daiva malah merusak semuanya. Daiva menghancurkan semuanya. Dia yang memilih Cheryl untuk dijadikannya istri, tapi dia juga yang sudah mengkhianatinya.

Dengan langkah santai dan seperti orang tidak punya dosa, Daiva berjalan menghampiri Melawati dan Daffa. Keningnya mengkerut saat melihat wajah mamanya merah.

"Mama nangis? Kenapa, Ma?" tanya Daiva sambil mengusap bahu mamanya.

Baik Daffa maupun Melawati, tidak ada yang menjawab pertanyaan Daiva. Manusia iblis itu patut dimusuhi oleh keluarganya sekalipun.

"Aku ke kamar dulu, Ma." Daffa pamit. Tanpa menoleh pada Daiva, pria itu berjalan lurus menuju kamarnya.

Surat dan alat tes kehamilan dibawa Daffa. Sudah mendapat persetujuan dari sang mama. Seperti akan membuat jebakan untuk Daiva suatu saat nanti.

"Ma. Mama kenapa nangis? Jantung Papa kambuh lagi?" tanya Daiva yang masih ingin tahu kenapa mamanya menangis.

Melawati masih bergeming. Menatap wajah anak sulungnya itu pun tak mau. Malas, benci juga tak percaya jika sekotor itu anaknya.

"Ya udah, kalau Mama nggak mau cerita. Aku mau ke kamar dulu kalau begitu," kata Daiva sambil bangun dari duduknya.

Matanya mengedar. Tengah mencari keberadaan Dara namun tidak ada di sana. Kemudian tersenyum miring karena ia yakin, jika perempuan itu sudah masuk ke dalam kamarnya.

'Tunggu aku di kamarmu, gadis manis. Aku merindukanmu setelah dua hari ini tidak menyentuhmu,' ucapnya dalam hati sambil berjalan menuju kamar.

Sambil bersiul, bahagia karena punya cadangan jika ia merasa bosan dengan permainan Cheryl. Daiva masih tidak tahu jika perempuan itu sudah tidak ada di sana.

Melawati menatap nanar ke arah kamar Daiva. Ingin membuktikan sendiri jika memang Daiva lah yang sudah memperkosa Dara.

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuat anak itu malu sampai ubun-ubun." Melawati tersenyum miring. Lalu masuk menuju kamarnya. Siap-siap untuk menjebak Daiva agar dia mau mengakui kesalahannya.

Sementara di dalam kamar Daiva. Pria itu bersiul dengan riangnya setelah selesai membersihkan diri.

Teleponnya berdering, panggilan dari Cheryl. Dengan malas, pria itu menerima panggilan tersebut.

"Kenapa, Sayang? Aku baru selesai mandi. Kangen, heum?" tanya Daiva.

"Heeumm. Papa bilang padaku, jangan dulu temui kamu sebelum acara pernikahan tiba. Bagaimana bisa aku tidak bisa melihatmu setiap hari?"

Daiva lantas tertawa pelan. "Sabar dong, Sayang. Hanya tiga minggu kok. Supaya kamu bisa merasakan rindu. Sama seperti yang aku lakukan saat kamu pergi ke luar negeri selama dua bulan lamanya."

"Hhhh. Memangnya kamu saja yang merindukanku? Aku juga, Daiva!"

"Oke, oke. Aku mau makan malam dulu, yaa. Setelah itu, tidur. hari ini aku lelah sekali."

"Baiklah."

Daiva menutup panggilan tersebut.

"Akhirnya, aku tidak perlu pulang larut malam lagi hanya karena bertemu dengan Cheryl. Dan ... bisa berlama-lama dengan Dara di sini."

Daiva tersenyum menyeringai. Lalu keluar dari kamarnya untuk segera menghampiri Dara yang sudah berada di dalam kamarnya, pikirnya.

Klek!

"Kenapa lampu kamarmu tidak kau nyalakan, Dara? Apa kau sudah menungguku, karena merindukan permainan gilaku itu, hem?"

Lampu pun dinyalakan Daiva. Matanya terbelalak bukan main saat melihat seseorang tengah duduk, menatap tajam sambil melipat tangan di dadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status