Share

Bab 6: Tidak Perlu Bertanggungjawab

Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali.

Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya.

"Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan."

Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak.

Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya.

"Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini.

"Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully habis-habisan."

Hidup Dara kini terasa meresahkan. Serba salah. Tak tahu harus pergi ke mana dan harus bagaimana. Padahal, salah satu cara untuk menyelamatkan hidupnya adalah menikah dengan Daffa.

Tapi, saat tahu jika Daffa menikahinya hanya sekadar tanggung jawab dan tidak mau calon keponakannya itu tidak memiliki ayah, Dara urungkan niatnya untuk menyetujui itu semua.

Pada akhirnya, Dara pun terlelap dalam tidurnya. Daiva sepertinya tidak akan menggunakannya malam ini. Karena pria itu masih belum pulang dan tak tahu akan pulang atau tidak.

Malam ini, Dara tidak akan berdesah hebat lagi. Memekik dan merasakan perih yang amat sakit karena hujaman yang Daiva lakukan padanya.

Pagi hari telah tiba.

Dara bangun dengan perut yang tidak enak. Ia pun memuntahkan cairan kuning ke dalam kantung plastik di dalam kamarnya.

Tidak mungkin ia lakukan di dapur. Bisa membuat semua orang curiga padanya. Lalu, Dara pun akan dinikahi secepatnya dengan Daffa. Tidak boleh. Itu tidak boleh terjadi. Dara tetap tidak ingin menikah dengan Daffa.

"Kapan mual dan muntah ini berakhir? Rasanya hamil sangatlah tidak enak. Aku harus mengalami mual dan muntah setiap hari. Bahkan, nafsu makan pun kadang hilang."

Dara menghela napas lelah. Kemudian mengikat plastik itu dan dibuang ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamarnya.

Mengingat hari ini weekend. Dan Daffa sering mengajaknya keluar saat orang tua juga Daiva tidak ada.

Sebenarnya, ini bisa jadi kesempatan untuknya pergi dari rumah itu. Pikiran Dara mendadak mendapat ide cemerlang setelah hampir satu harian full memikirkan bagaimana cara bisa kabur dari rumah itu.

"Aku harus pergi dari rumah ini sekarang juga. Setelah tiba di suatu tempat, aku akan meminta izin ke toliet lalu pergi jauh-jauh dari Mas Daffa."

Dara menerbitkan senyum pasi. Lalu menunduk dan menghela napasnya dengan lelah.

"Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah ini. Pertama, aku bisa bebas dari hujaman Daiva. Kedua, aku tidak ingin menikah denganmu. Kamu tidak pernah mencintaiku.

"Kamu hanya melihatku dengan sebelah matamu. Walau hati ini sebenarnya ingin memilikimu. Tapi, aku sadar diri. Aku tidak pantas untukmu."

Dara keluar dari kamarnya sambil membawa tong sampah miliknya. Membuang ke dalam bak sampah yang ada di belakang rumah besar itu.

Lalu kembali ke dalam. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Daffa tengah berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Mas?" tanya Dara. Penasaran, sedang apa pria itu di sana.

"Ke mana si Daiva? Apa dia tertidur lagi di kamarmu?" tanya Daffa.

Memang, Daiva pernah ketiduran di kamar Dara karena kelelahan. Saat itu, Daffa melihatnya lalu membawa Dara ke dalam kamarnya untuk menjauh dari pria gila itu.

"Dari semalam, sepertinya Tuan Daiva tidak ada, Mas."

Daffa mengangguk paham. "Aku pikir, dia tertidur lagi di kamarmu. Kapan terakhir dia memakaimu?"

Dara menggeleng pelan. "Tidak ingat, Mas. Dua atau tiga hari yang lalu."

Daffa mendesah pelan. "Kenapa aku selalu kecolongan terus. Jika aku patroli terus di kamarmu, yang ada Mama makin curiga padaku. Tidak aku kontrol, si brengsek itu makin menjadi."

Daffa memang selalu kesal jika tahu Dara sudah dihujam oleh Daiva. Tapi, dia tidak bisa ada di sampingnya selama dua puluh empat jam penuh.

Bahkan, Melawati sudah memperingatinya untuk berjaga jarak dengan Dara. Namun, Daffa melanggarnya. Ia selalu membawa Dara pergi keluar hanya untuk makan bersama.

"Mas Daffa kenapa melamun?" tanya Dara menyadarkan tatapan kosong Daffa.

Daffa pun menoleh. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu keluar hari ini. Kebetulan, Mama dan Papa sebentar lagi akan pergi kondangan pernikahan anak sahabatnya."

Dara mengulas senyumnya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Dara bisa kabur dari rumah itu tanpa harus mengendap-endap bagai maling.

"Baik, Mas. Saya siap-siap dulu kalau begitu."

Daffa mengangguk. Dara pun kembali ke dalam kamar. Memasukkan barang-barang yang penting ke dalam tasnya.

Ia menoleh pada laci berisi banyak uang yang diberikan Daiva setiap ia menghujam Dara.

"Sepertinya aku harus memakai uang ini untuk bayar kontrakan selama aku bersembuyi di sana."

Dara mengambil uang yang bisa dapat dihitung sebanyak puluhan juta itu. Ia juga menulis surat permohonan maaf pada semua orang yang ada di sana. Karena harus pergi tanpa izin.

Selesai menulis surat, Dara sengaja tidak mengunci pintu kamarnya agar surat itu sampai pada anggota keluarga Adicandra.

Tok tok tok!

Dara mengetuk pintu kamar Daffa. "Boleh saya masuk, Mas?" tanya Dara di luar sana.

"Silakan!" teriak Daffa.

Kemudian perempuan itu masuk ke dalam kamar Daffa. Niatnya ke sana untuk meninggalkan surat yang ia tujukan khusus untuk Daffa.

"Bantalnya berantakan sekali, Mas. Saya rapikan dulu, yaa." Dara mencari alasan agar bisa menyimpan surat itu diam-diam.

"Oh, yaa. Silakan. Aku tidak sempat membereskannya tadi. Kalau begitu, aku keluar duluan. Aku tunggu di mobil."

Memang itu yang diinginkan Dara. Pria itu segera keluar dari kamarnya. Segera Dara menyimpan surat itu di bawah bantal Daffa.

Tiba di suatu tempat. Dara dan Daffa tengah duduk di bangku taman berukuran panjang sambil menatap air mancur di depannya.

Daffa tampak menatap kosong ke depan. Hatinya sedang dilanda gusar. Bimbang karena pernikahan Daiva sebentar lagi. Setelah itu, Melawati akan menikahkan ia dengan Dara. Wanita yang hanya ia tolong karena kasihan, bukan karena memiliki rasa pada gadis cantik itu.

"Mas Daffa kenapa melamun?" tanya Dara membuyarkan lamunan Daffa.

Pria itu lantas menoleh dengan pelan. "Menurutmu ... kenapa aku melamun?" Daffa menghela napas kasar. "Pernikahan Daiva sudah di depan mata. Dan, hingga saat ini dia masih belum mau mengakui kesalahannya."

Dara menunduk sambil meremas-remas jarinya. Ternyata, Daffa sedang bingung karena dia juga akan menikah dengan Dara. Semakin membuat Dara ingin segera pergi dari kehidupan keluarga Adicandra.

"Saya sudah bilang berkali-kali, tidak perlu tanggung jawab. Tidak perlu menikahi saya hanya karena Ibu Mela. Kebahagiaan Mas Daffa lebih penting dari segalanya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status