Beranda / Romansa / Membawa Kabur Benih Sang Majikan / Bab 8: Aku Pasti akan Membawanya

Share

Bab 8: Aku Pasti akan Membawanya

Plak!!

Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya.

"Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!

"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini.

"Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."

Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.

Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada di sini dan kenapa dia bisa tahu kalau dialah dalang yang sudah merusak Dara.

Namun, tak akan ia ucapkan sebab Melawati pasti akan menamparnya kembali. Juga akan menyiksanya tanpa ampun seperti saat masih kecil telah membuat Daffa celaka.

"Dara sudah pergi. Dia pergi membawa calon anakmu! Dara hamil, Daiva!"

Lantas pria itu mendongakan kepalanya. Mulutnya terbuka karena terkejut. "Ka-kabur? Ha-hamil?"

Plak!!

Melawati kembali menampar pipi Daiva hingga membuat pipinya panas dan merah.

"Keterlaluan kamu Daiva. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan Dara? Harusnya kamu yang harus tanggung jawab dan bilang pada keluarga Cheryl jika pernikahan ini dibatalkan.

"Kamu memang ingin buat papa kamu mati! Ingin melihatnya hancur. Sudah tidak sayang lagi pada papa kamu sendiri. Lebih mementingkan ego daripada kesehatan papa kamu.

"Ingat, Daiva. Suatu saat nanti, keluarga calon istrimu itu pasti akan tahu kebusukanmu. Bukan hanya kamu yang akan melarat, tapi juga keluargamu. Papamu mati, mamamu stress dan adikmu mungkin akan pergi!"

Melawati keluar dari kamar itu. Melewati Daiva lalu menghantam lengan itu hingga Daiva tergeser. Matanya menatap kosong kasur mini tempat ia menghujam Dara.

Teringat jika perempuan itu sedang hamil, entah harus apa yang dia lakukan. Bahagia kah, karena akan memiliki seorang anak, atau akan ketakutan setiap hari, takut keluarga Cheryl mengetahuinya.

Di dalam kamar Daffa.

Pria itu tengah duduk di tepi tempat tidurnya sambil menatap ponsel. Melihat foto-foto Dara yang ia ambil secara diam-diam.

Tampak polos dan masih sangat natural.Tidak pernah tersentuh siapa pun sebelum akhirnya Daiva meluluhlantahkan kehormatan Dara yang selalu dia jaga untuk suaminya kelak.

"Di mana kamu, Dar. Kenapa harus pergi padahal semuanya bisa diatasi dengan kita menikah. Aku memang hanya bisa bertanggung jawab atas anak yang sedang kamu kandung.

"Sedang cinta, mungkin kamu juga tidak akan pernah mencintaiku. Terlalu menyakitkan memang. Aku yang tidak pernah sekalipun menyentuhmu harus bertanggung jawab atas janin di dalam perutmu."

Daffa mengembuskan napasnya dengan pelan. Lalu menarik bantal untuk merebahkan tubuhnya.

Sebuah amplop berwarna putih persegi panjang jatuh setelah ia menarik bantal itu. Bentuknya sama dengan amplop milik Dara yang ia tinggalkan di kamarnya.

"Surat? Dari Dara juga yang dia tujukan padaku," gumam Daffa sambil membuka perekat amplop itu.

Isi surat Dara yang ditujukan untuk Daffa.

'Mas Daffa. Maafkan saya karena harus kabur melalui Mas Daffa. Rencana ini sudah saya atur dan terus berdoa agar Mas Daffa mau mengajak saya pergi jalan-jalan lagi.

'Bukan ingin saya juga untuk pergi dari Mas Daffa dan semuanya. Terima kasih untuk semua kebaikan yang Mas Daffa berikan pada saya. Walaupun tidak pernah Mas Daffa tunjukkan sikap kepedulian itu terhadap saya, tapi saya bisa merasakan hangatnya sikap Mas Daffa.

'Berbeda dengan Tuan Daiva yang selalu memberlakukan saya bagai hewan. Tidak punya hati nurani dan sangat keji. Saya membencinya. Sangat membencinya.

'Mas. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi karena saya akan pergi jauh dari kota ini. Tidak akan kembali karena saya tidak mau merusak rumah tangga Tuan Daiva atas kehadiran bayi yang kini ada di dalam kandunganku.

'Saya mencinta Mas Daffa. Sangat mencintai. Tapi, saya sadar diri. Bukan saya orang yang bisa Mas Daffa cintai. Yang masih suci dan tentunya cintanya melebihi saya sudah pasti akan Mas Daffa dapatkan.

'Terima kasih untuk semuanya, Mas. Terima kasih sudah mengenalkan cinta pada saya. Saya tidak akan pernah mengganggu kalian lagi.

'Doakan saya agar bisa merawat bayi ini, calon keponakan Mas Daffa yang mungkin tidak akan mengenali siapa ayahnya, siapa kakek dan neneknya dan siapa pamannya yang sangat saya cintai itu.'

Daffa meremas kertas putih itu sambil memejamkan matanya.

"Kenapa harus mengatakan yang sebenarnya setelah kamu pergi, Dara? Bukankah aku pernah bertanya sama kamu, bolehkah aku menyukaimu. Tapi, sampai sekarang kamu tidak menjawab pertanyaanku dan memilih untuk memendam perasaanmu sendirian.

"Harusnya kita besarkan anak itu sama-sama. Biar aku yang akan menjadi ayah dari anak kakakku sendiri. Bukan hanya kasihan pada anak itu, melainkan aku juga ingin melindungi ibunya."

Baik Daffa maupun Dara sama-sama telat dalam mengatakan sesuatu yang memang harus dikatakan agar tidak ada kesalahpahaman seperti ini.

Dara yang sampai saat ini masih berasumsi jika Daffa menikahinya hanya karena tak ingin anak itu lahir tanpa seorang ayah. Juga Daffa yang tak pernah terus terang jika ia menikahinya bukan hanya karena anak itu, melainkan juga karena ibunya.

Akhirnya, mereka hanya bisa sabar menunggu sampai Dara ditemukan kemudian melangsungkan pernikahan.

"Dara ... perlu kamu ketahui bahwa aku juga mencintai kamu. Rasaku tak pernah aku ungkapkan ini karena aku tidak mau kamu salah paham.

"Tapi ternyata, kamu sudah salah paham karena aku yang tak kunjung mengungkapkan semuanya. Semoga kita bisa bertemu kembali.

"Aku akan menjelaskan semuanya. Kita akan merawat anak itu sama-sama. Tanpa harus dia tahu, siapa ayah kandung sebenarnya."

Daffa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dengan surat masih ia genggam. Matanya menutup lalu mengembuskan napas kasar.

Klek!

Melawati membuka pintu kamar Daffa. Lalu berjalan menghampiri sang anak yang tak sadar akan kehadirannya karena melamun, memikirkan keberadaan Dara di mana. Memikirkan kondisinya di sana bagaimana.

Dilihatnya surat yang digenggam Daffa lalu diambil. Membuat Daffa terkejut sesaat, lalu menghela napasnya.

"Mama."

Melawati membaca dengan teliti setiap rangkaian tulisan tentang perasaan Dara pada Daffa. Kembali air matanya turun membasahi pipi. Lalu terisak sambil menunduk.

"Mama sudah tahu dan membuktikannya sendiri jika memang Daiva yang sudah menghancurkan gadis polos ini. Daiva yang setiap harinya menyentuh tubuh suci gadis itu hingga membuatnya hamil.

"Jika memang takdir kita untuk hancur, Mama sudah ikhlas. Karena ini semua ulah anak Mama sendiri. Dia yang sudah menjerat dirinya sendiri kemudian menyebar ke seluruh anggota keluarga juga Dara."

Daffa memeluk sang mama. Mengusapi lengan Melawati lalu mengecup rambutnya.

"Mama dan Papa tidak akan hancur oleh si keparat itu. Biarkan saja dia menikahi Cheryl dan hidup bahagia bersama. Dara akan menjadi tanggung jawabku. Dia akan kunikahi setelah kita berhasil menemukannya.

"Di mana pun dia berada. Aku pasti akan membawanya ke sini. Ke hadapan Mama dan akan melamar dia di depan Mama dan Papa. Bukan hanya karena tanggung jawab, melainkan aku juga mencintainya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status