Fahri mengendikan bahunya. "Elo ... nggak ikutan nanam benih di sana, kan?"Daffa menggeleng. "Nyentuh dia aja nggak pernah. Paling mentok pegang tangan dia doang. Gak ada lagi. Kasihan.""Tapi, sama Julies doyan. Kayak kucing dikasih ikan asing. Langsung disambar."Daffa mengibaskan tangan pada Fahri. "Gue lagi nggak mau bahas masa lalu, Fahri! Gue lagi menata hidup gue agar lebih baik. Gue mau menikah sama Dara. Jangan bahas masa lalu gue lagi."Fahri mengangguk-anggukkan kepalanya. "Okay. Kita fokus menuju kontrakan aja. Lima menit lagi sampai."Daffa tak menjawab. Fokus menatap ke depan. Berharap Dara ada di sana sedang jalan kaki atau naik ojek.Tiba di kontrakan.Pintu kontrakan itu tertutup rapat. Karena Fahri tak ingin membuat Dara curiga ia membawa Daffa, lantas pria itu mengetuk pintu sendirian.Sedangkan Daffa, menunggu di dalam mobil. Berharap Dara mau membuka pintu dan menghampiri Fahri. Kemudian pulang bersamanya. Menemui Melawati yang hampir setiap hari menangisi keperg
Satu jam kemudian.Dara membuka matanya secara perlahan. Mengedarkan matanya ke seluruh penjara ruangan di dalam sana."Aaahhh ...." Dara meringis pelan sambil memegang perutnya."Di mana ini? Rumah sakit kah? Aku kenapa, yaa?" Dara bertanya-tanya.Dara menoleh ke arah samping. Melihat Daffa ada di sana.'Apakah Mas Daffa yang sudah membawaku ke sini? Aku kenapa, yaa?' ucapnya kembali. Tapi kini, ia berucap dalam hati."Mas!" Dara membangunkan Daffa yang tertidur di atas bangsal, di sampingnya.Kemudian pria itu sedikit terkejut lalu segera mengucek matanya. Menatap Dara yang sudah terbangun."Dara. Syukurlah kamu sudah siuman," kata Daffa sembari memegang tangan perempuan itu.Sementara Dara hanya menunduk malu. Kepergiaannya tidak membuahkan hasil. Ditemukan lagi oleh Daffa yang ternyata terus mencarinya setiap hari.“Kenapa Mas Daffa mencari saya? Biarkan saya sendiri mengurus bayi ini, Mas. Terima kasih sudah mengantar saya ke rumah sakit. Sekarang Mas Daffa boleh pulang,” ucapnya
Dara kembali berlinang air mata. Tersentuh akan ucapan panjang lebar Daffa untuknya. Tulus diucapkan hingga membuat Dara terenyuh saat mendengarnya.Daffa kembali menghapus air mata itu. Ibu hamil memang sensitif. Hanya mendengar seperti itu saja langsung menangis. Dengan begitu, Daffa harus hati-hati jika berucap. Agar tidak menyakiti perasaan Dara.“Kamu tenang saja. Aku tidak akan memberi tahu orang tuaku terlebih dahulu kalau aku sudah menemukanmu. Jika kamu tidak ingin kembali ke rumah itu, baiklah. Aku tidak akan memaksamu.“Aku hanya akan mempertemukanmu dengan orang tuaku di suatu tempat. Agar Daiva tidak tahu keberadaanmu saat ini. Jangan takut. Ada aku di sini.”Daffa kembali meyakinkan Dara jika semua penderitaan yang dia alami akan segera berakhir. Begitu Daffa menikahi Dara, maka Dara akan aman dari serangan Daiva. Sah di mata agama dan negara memperkuat hubungan Daffa dan Dara.“Jika Daiva berani berbuat macam-macam lagi ke kamu, jangan harap dia bisa berkeliaran bebas l
Dara pun mengulas senyum tipisnya. "Mas. Daripada marah-marah, lebih baik carikan aku makan. Lapar soalnya."Pria itu lantas menelan salivanya. Bisa-bisanya Dara minta makan di saat Daffa berbicara serius dan sedikit emosi."Ya sudah. Aku juga sama, lapar. Mau aku belikan apa?""Ayam goreng. Minumnya terserah apa saja. Yang manis dan dingin. Sama air mineralnya juga."Yang tadinya menahan marah, Daffa malah tertawa. Ia pun mengusap rambut perempuan itu lalu beranjak dari duduknya."Aku beli makan dulu."Dara hanya mengangguk. Lalu, Daffa pergi keluar untuk mencari makan.Di dalam ruang rawat. Kini, Dara hanya sendirian. Menatap kosong dinding berwarna putih itu kemudian menghela napas lelah."Kenapa aku tidak yakin, jika Mas Daffa benar-benar ingin menikahiku? Ada apa denganku? Bukankah aku sangat mencintai Mas Daffa. Kenapa sekarang malah bimbang begini saat pria itu hadir dan menyatakan cinta padaku."Dara mengembungkan pipinya. Lalu menunduk dan mengembuskan napasnya."Permisi. Sud
Daffa menghela napasnya dengan pelan. "Kalau nanti kita sudah menikah, apa kita bisa tidur dalam satu ranjang?""Haah? Ma-maksud Mas Daffa?" tanyanya dengan gugup."Lupakan. Kamu masih saja terlihat takut kalau bahas hal itu. Aku dan kamu pisah kamar aja dulu.""Mas. Kalau pisah kamar, kapan bisa terbiasanya?"Daffa mengulas senyumnya. "Betul. Tumben pinter."Dara pun mengerucutkan bibirnya. Membuat Daffa tertawa pelan melihatnya."Lucu banget sih kamu. Umur kamu berapa tahun, Dara?""Saya pikir Mas Daffa tahu." Dara menggerutu kesal sambil mencubit-cubit selimutnya."Just kidding. Usiamu beda tujuh tahun denganku. Jauh banget. Tapi, nggak masalah. Aku belum pernah pacaran sama anak kecil. Sebuah tantangan besar. Dan ... bukan hanya jadi pacar, tapi jadi istriku. Boleh ... aku menciummu?""Haaah?"Daffa mendekatkan wajahnya pada Dara. Sementara perempuan itu hanya menutup matanya dengan erat. Hingga akhirnya Daffa melayangkan kecupan di kening Dara.Hanya itu. Dan membuat Dara kembali
Dara mengerjapkan matanya sambil menatap Daffa yang tengah mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggaruk rambutnya karena bingung harus jawab apa.“Kenapa ada banyak uang di tas kamu, Dara? Kamu … nggak habis nyuri, kan?” tanya Daffa dengan mata memicing.Lantas perempuan itu menggeleng dengan cepat. “Nggak, Mas. Sumpah saya nggak nyuri uang. Nggak berani, Mas.”“Terus … dari mana uang itu kamu dapatkan?”Dara menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana jika Daffa malah menuduhnya sebagai wanita bayaran jika dia mengaku uang itu dari Daiva.“Dara, jawab! Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Daffa kembali.Pria itu sudah tidak sabar ingin mendengar penjelasan Dara.“Mas … saya nggak mau Mas Daffa malah berasumsi kalau saya wanita bayaran. Tuan Daiva yang memberikan saya uang setiap kali setelah melakukan itu. Uang itu saya kumpulkan hingga banyak.“Tidak pernah saya pakai sekalipun. Hanya dipakai waktu bayar kontrakan selama satu bulan. Itu pun hanya satu juta. Silak
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja sampai ke cafe. Dara dan Daffa turun dari mobil secara bersamaan.Dara tampak gugup. Juga takut jika nanti Melawati memarahinya karena sudah berani kabur dari rumahnya. Matanya tak mampu menatap Melawati dan Adicandra yang sedang duduk di sofa.Daffa terus melangkahkan kakinya menghampiri orang tuanya. Dara mengeluarkan keringat dingin karena kegugupannya.Saat tiba di depan Melawati dan Adicandra. Dara masih saja menundukkan wajahnya. Hingga akhirnya Melawati memeluk perempuan itu. Menitikan air mata bahagia karena Daffa berhasil menemukan Dara.“Dara. Terima kasih sudah kembali. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi kamu. Sedang mengandung, usiamu masih muda, sendirian. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasibmu di luar sana.”Melawati berbicara sambil terisak. Kemudian melepaskan pelukan itu. Mengadahkan wajah Dara yang sedari tadi menunduk terus.“Ma-maafkan saya, Bu. Maafkan saya karena sudah pergi tanpa pamit terlebih dahulu,” ucap Da
Daffa mengusap rambut perempuan itu. “Udaah, jangan dibahas lagi. Sekarang tidur. Besok bangun pagi-pagi, olahraga, sarapan, minum vitamin kemudian melakukan aktivitas seperti biasa.”“Eeeuumm … kerja di cafe Mas Daffa?”“No! Kamu nggak boleh kerja lagi. Di rumah aja. Aku nggak mau kamu pingsan lagi. Besok aku mau ke kampus dulu. Mau ikut?”“Haah? Nggak ah, Mas. Malu. Lulus SMA aja nggak.”Daffa terkekeh pelan. “Mau, nggak?”“Apa?”“Sekolah lagi. Kejar paket. Berhenti sekolah kelas berapa?”“Kelas dua SMA. Ibu saya sakit, Bapak juga sama. Nggak bisa cari uang untuk biaya sekolah saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja sebagai buruh rumah tangga.“Keliling rumah mencari kerjaan yang bisa saya kerjakan. Maaf, Mas. Sudah keceplosan menceritakan kehidupan kelam saya.”Dara menunduk malu. Bahkan, ia tak pernah berniat agar Daffa merasa kasihan padanya. Itu hanya jawaban spontan dari pertanyaan yang dilontarkan Daffa.Pria itu mengadahkan wajah Dara. Lalu mengulas