Dara mengerjapkan matanya sambil menatap Daffa yang tengah mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggaruk rambutnya karena bingung harus jawab apa.“Kenapa ada banyak uang di tas kamu, Dara? Kamu … nggak habis nyuri, kan?” tanya Daffa dengan mata memicing.Lantas perempuan itu menggeleng dengan cepat. “Nggak, Mas. Sumpah saya nggak nyuri uang. Nggak berani, Mas.”“Terus … dari mana uang itu kamu dapatkan?”Dara menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana jika Daffa malah menuduhnya sebagai wanita bayaran jika dia mengaku uang itu dari Daiva.“Dara, jawab! Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Daffa kembali.Pria itu sudah tidak sabar ingin mendengar penjelasan Dara.“Mas … saya nggak mau Mas Daffa malah berasumsi kalau saya wanita bayaran. Tuan Daiva yang memberikan saya uang setiap kali setelah melakukan itu. Uang itu saya kumpulkan hingga banyak.“Tidak pernah saya pakai sekalipun. Hanya dipakai waktu bayar kontrakan selama satu bulan. Itu pun hanya satu juta. Silak
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja sampai ke cafe. Dara dan Daffa turun dari mobil secara bersamaan.Dara tampak gugup. Juga takut jika nanti Melawati memarahinya karena sudah berani kabur dari rumahnya. Matanya tak mampu menatap Melawati dan Adicandra yang sedang duduk di sofa.Daffa terus melangkahkan kakinya menghampiri orang tuanya. Dara mengeluarkan keringat dingin karena kegugupannya.Saat tiba di depan Melawati dan Adicandra. Dara masih saja menundukkan wajahnya. Hingga akhirnya Melawati memeluk perempuan itu. Menitikan air mata bahagia karena Daffa berhasil menemukan Dara.“Dara. Terima kasih sudah kembali. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi kamu. Sedang mengandung, usiamu masih muda, sendirian. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasibmu di luar sana.”Melawati berbicara sambil terisak. Kemudian melepaskan pelukan itu. Mengadahkan wajah Dara yang sedari tadi menunduk terus.“Ma-maafkan saya, Bu. Maafkan saya karena sudah pergi tanpa pamit terlebih dahulu,” ucap Da
Daffa mengusap rambut perempuan itu. “Udaah, jangan dibahas lagi. Sekarang tidur. Besok bangun pagi-pagi, olahraga, sarapan, minum vitamin kemudian melakukan aktivitas seperti biasa.”“Eeeuumm … kerja di cafe Mas Daffa?”“No! Kamu nggak boleh kerja lagi. Di rumah aja. Aku nggak mau kamu pingsan lagi. Besok aku mau ke kampus dulu. Mau ikut?”“Haah? Nggak ah, Mas. Malu. Lulus SMA aja nggak.”Daffa terkekeh pelan. “Mau, nggak?”“Apa?”“Sekolah lagi. Kejar paket. Berhenti sekolah kelas berapa?”“Kelas dua SMA. Ibu saya sakit, Bapak juga sama. Nggak bisa cari uang untuk biaya sekolah saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja sebagai buruh rumah tangga.“Keliling rumah mencari kerjaan yang bisa saya kerjakan. Maaf, Mas. Sudah keceplosan menceritakan kehidupan kelam saya.”Dara menunduk malu. Bahkan, ia tak pernah berniat agar Daffa merasa kasihan padanya. Itu hanya jawaban spontan dari pertanyaan yang dilontarkan Daffa.Pria itu mengadahkan wajah Dara. Lalu mengulas
Dua minggu kemudian. Acara pernikahan Daiva dan Cheryl akan segera dilaksanakan. Keluarga mempelai pria dan wanita sudah berkumpul di tempat proses ijab kabul akan dilaksanakan. Tatapan Daiva memicing tajam ke arah Dara yang baru menampakan dirinya karena dipaksa Daffa untuk menghadiri acara pernikahan Daiva. Awalnya Dara menolak. Tapi, karena Daffa sudah bicara pada anggota keluarganya jika ia akan segera menikah dengan Dara, dengan terpaksa Dara menuruti perinta Daffa. Menghadiri acara pernikahan orang yang sudah menanam benih di dalam rahimnya. Hingga janin itu tumbuh dan kini sudah terlihat walau masih sedikit. “Lihatlah, Mas. Tuan Daiva menatapku seperti ini mencengkeramku,” kata Dara ketakutan. Daffa menggenggam tangan Dara. “Jangan takut. Dia tidak akan berulah di acara pentingnya. Setelah ijab kabul selesai, kita langsung pulang. Tidak baik juga kalau berlama-lama di sini.” “Kenapa? Karena perut saya sudah semakin membuncit?” Daffa menggeleng. “Banyak yang mengincarmu.
Membuat perempuan itu menghela napas lega. Saat pintu ditutup oleh Daffa, Dara memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri karena tubuhnya terasa lengket.Di dalam kamar. Daffa tengah mengecek CCTV di ruangan tengah sepuluh menit setelah Dara masuk ke dalam kamar tanpa sebab.Lalu kepalanya manggut-manggut setelah tahu kenapa Dara marah padanya secara tiba-tiba.“Jadi, karena kamu melihatku lagi chatingan … bikin kamu kesel dan marah padaku.”Daffa tersenyum-senyum sendiri. “Lucu sekali wanitaku jika sedang cemburu. Kamu terlalu takut aku memiliki gadis lain di luar sana, Dara.“Mempertahankan sikap tidak peduli karena masih ragu menerimaku. Padahal, aku benar-benar hanya menginginkanmu. Cukup satu wanita saja di dalam hidupku.”Kemudian pria itu masuk kembali ke dalam kamar Dara. Ia yakin, perempuan itu sudah selesai mandi dan mungkin tengah terbaring di tempat tidur.Cklek!“Aaaaaaaa!!” Dara kembali menutup tubuhnya dengan handuk. “MAS DAFFA!!” pekiknya kemudian.
Daffa tersenyum miring. “Cinta seorang pria bisa ditunjukkan saat menyentuh wanitanya. Apa yang kamu rasakan saat disentuh Daiva? Adakah cinta di dalamnya?”Dara menggeleng. “Perlakuannya kasar, menuntut dan sering membuat saya kesakitan.”Daffa mengangguk paham. “Karena Daiva tidak mencintaimu. Dia hanya menginginkanmu. Aku akan membuktikannya padamu setelah kita menikah nanti.“Untuk saat ini, kamu pasti akan menolak berhubungan denganku.”Kemudian pria itu bangun dari duduknya. Melangkahkan kakinya dengan sempoyongan. Meninggalkan Dara sendirian di atas sana.Hingga akhirnya Dara menyusul pria itu yang sudah masuk ke dalam kamarnya. Membuat Dara mengembuskan napasnya dengan pelan.“Selamat tidur, Mas Daffa. Semoga mimpi indah. Bukannya saya tidak mau Mas sentuh. Tapi, saya takut jika Mas memanggil orang yang pernah Mas Daffa sentuh sebelumnya.“Seperti Tuan Daiva. Selalu memanggil nama Cheryl saat menyentuh saya. Karena hanya Mbak Cheryl yang Tuan Daiva cintai.“Mungkin, Mas Daffa
"Julies? Pergi ke luar negeri. Setahun yang lalu. Saat itu, hubungan Daffa dan Julies memang agak renggang, setelah tragedi keguguran.""Apaa? Keguguran? Siapa, Mas? Julies?" tanya Dara dengan paniknya.Fahri mengangguk. "Hubungan Daffa sama Julies sudah berjalan dua tahun. Mereka berpisah tanpa ada kata-kata perpisahan. Julies pergi gitu aja ke luar negeri setelah mengalami keguguran."Saat itu, Daffa akan setia menunggunya. Akan menunggu Julies pulang. Ingin memperbaiki hubungannya yang udah renggang itu."Tapi, setiap kali Daffa menghubunginya, nomornya selalu nggak aktif. Lima bulan yang lalu. Daffa berhenti berharap. Daffa melupakan Julies. Dia udah nggak mau mengharapkan kehadiran orang yang nggak pernah mengharapkannya hadir."Penuturan panjang lebar Fahri membuat Dara merasa bersalah. Ternyata memang benar, Daffa sudah melupakan Julies, yang tak pernah ada kabar untuk Daffa."Saya jadi merasa bersalah karena sudah marah dan selalu cemburu sama Mas Daffa, Mas." Dara menyesali p
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Dara pun dikembalikan oleh Fahri ke rumah Daffa."Terima kasih, sudah mengantar saya pulang, Mas Fahri."Fahri mengangguk. "Jangan kabur lagi, ya. Kasihan Daffa. Mencarimu sampai putus asa begitu."Dara mengangguk dengan pelan. Kemudian keluar dari dalam mobil Fahri.Melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Takut Daffa memarahinya.Ketika pintu dibuka, ia tak melihat ada Daffa di sana. "Ke mana Mas Daffa? Belum pulang kah?" gumamnya kemudian masuk ke dalam kamarnya."Mas Daffa ke mana, ya? Apa aku telepon saja. Atau ... biarkan saja."Dara dalam dilema. Harus menghubunginya, atau membiarkan sampai Daffa pulang."Lebih baik aku istirahat saja. Nanti juga Mas Fahri memberi tahu Mas Daffa kalau aku sudah pulang."Dan akhirnya Dara memutuskan untuk istirahat saja sambil menunggu Daffa pulang.**Hingga waktu siang hari tiba. Daffa baru pulang mencari Dara. Rupanya, Fahri tidak bicara jika Dara sudah ditemukan.Bahkan, i
Tujuh bulan kemudian.Julies tengah berjuang melahirkan seorang bayi yang masih berusaha mencari jalan keluar di bawah sana. Kini, mereka sudah berada di rumah sakit. Pun dengan Dara dan Daffa.Ingin melihat proses lahiran anak pertama Julies dan Fahri yang sudah menginjak usia sembilan itu. Dan mereka semua belum ada yang tahu, jika Julies sudah mengandung tiga bulan saat menikah dulu.Mereka hanya mengira jika Julies melahirkan secara prematur. Padahal, memang sudah memasuki bulan sembilan. Baik Julies maupun Fahri tak ada yang peduli. Mereka juga tidak memberi tahu jika Julies hamil sebelum menikah."Prematur, tapi bisa melahirkan secara normal, yaa." Daffa menggaruk belakang kepalanya. la bingung, karena Julies bisa melahirkan secara normal."Ngapain dibuat bingung sih, Mas. Syukur-syukur bayi dan ibunya sehat. Nggak usah aneh-aneh deh!" Dara kesal pada suaminya itu karena terus mengomentari Julies yang sedang berjuang melahirkan anak pertamanya di ruangan sana.Kemudian, pria itu
Prissa lantas menoleh cepat ke arah Daffa. "Maksud kamu apa, Daffa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku hamil lho, Daff." Suara perempuan itu nyaris tenggelam karena menahan tangisnya.Julies menoleh padanya. "Sabar, yaa. Daffa emang gitu orangnya. Kita sama-sama korban ular jahat Daffa. Aku juga pernah hamil anaknya dia. Tapi, gak tanggung jawab tuh. Orangnya malah hamilin anak orang."Julies menepuk-nepuk bahu Prissa."Yaa gak bisa gitu dong, Juls. Masa gue harus rawat anak gue sendiri?" Prissa mulai kelabakan. Harinya tak tenang kala mendengar penolakan dari Daffa."Gue gak mau nikah sama elo, Prissa. Sampai itu anak brojol pun gue gak akan mau nikah sama elo!" pekik Daffa. Pria itu sudah mulai emosi.Hatinyä dikabut kemarahan yang tak bisa ia tahan lagi. Daffa yang super emosian itu lantas menggertak Prissa. Sehingga membuat perempuan itu menatap tajam ke arahnya."Berani berbuat, gak berani tanggung jawab!" sengal Prissa dengan suara menekan."Terserah elo! Terserah, mau ngomong
Julies tertawa melihat adegan luar biasa itu. Saling memaki dan saling berteriak. Membuatnya tak bisa untuk berhenti tertawa."Fahri, Fahri. Lucu banget sih, kamu." Julies geleng-geleng kepala. sembari mengikuti langkah Fahri menuju ruangan USG.Tak lama setelahnya, Daffa dan Dara pun tiba di sana. Menghampiri Fahri dan Julies yang sedang melihat Prissa. Perempuan itu tidak bisa ke mana-mana karena diserbu oleh empat orang.Ditambah Dokter Ami yang mulai memeriksa kandungannya. Semakin tak bisa ke mana-mana. Hanya bisa pasrah kala Dokter Ami sudah mengolesi gel di atas perutnya."Hasil USG itu akurat "kan, Dok?" tanya Fahri pada Dokter Ami."Hampir seratus persen akurat. Kita lihat dulu ya, janinnya." Dokter Ami mulai memeriksa kandungan Prissa.Ditatapnya layar monitor tersebut. Yang hanya Dokter Ami yang tahu, maksud dari gambar yang ada di sana. Mereka hanya tahu jika janin itu memang benar-benar ada di sana."Berarti bener ya, Dok. Di perutnya ada bayinya," kata Julies sambil mena
Prissa yang memang sedang ingin meminta pertanggungjawaban kepada Daffa pun telah menyiapkan segalanya.Memberikan alat tes kehamilan itu kepada Dara. Agar perempuan itu tahu, jika Prissa benar-benar hamil anaknya Daffa."Ada USG-nya?" tanya Dara kembali.Daffa menoleh dengan cepat ke arah Dara. Pun dengan Prissa. la terlihat gelagapan kala Dara meminta hasil USG-nya."Waktu saya periksa kehamilan dulu, sekalian USG. Karena pengen lihat perkembangan anak saya di dalam sini." Dara menunjuk perutnya yang buncit itu.Daffa tersenyum miring mendengar ucapan Dara. "Tumben, pinter. Dapat ngajarin siapa sih?" Daffa malah mencubit hidung Dara."Dari Mbak Julies. Waktu dia hamil juga katanya di-USG. Kenapa Mbak Prissa nggak USG? Emangnya, Mbak gak mau lihat calon bayi Mbak?" tanya Dara kepada perempuan yang ingin merebut suaminya itu.Tak lama kemudian, Fahri dan Julies tiba dir rumah tersebut. Kemudian Julies menghampiri Dara. Lalu, mengulas senyumnya."Gimana-gimana? Prissa beneran hamil? An
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Dara pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. la melihat Daffa tengah meringkuk di atas tempat tidur. Namun, Dara hiraukan. Tetap melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Ting!Notifikasi pesan masuk pada ponsel Daffa. Dengan malas, pria itu membuka pesan tersebut. Matanya memicing, melihat pesan masuk tersebut.Sebab, pesan masuk itu dari Prissa. Akan datang ke rumahnya untuk meminta pertanggungjawaban. Daffa memijat keningnya. Kemudian, menghubungi Fahri."Si Prissa udah mulai berulah, Ri. Dia mau ke sini. Minta tanggung jawab gue," kata Daffa setelah pria itu menerima panggilannya.Terdengar helaan napas di seberang sana. "Si Dara masih marah ke elo?" tanya Fahri."Ya. Bahkan lebih parah sejak menerima panggilan dari Prissa. Dia bener-bener nggak mau maafin gue. Malah, minta gue buat nikahin tuh orang."Katanya, gue aja tanggung jawab atas dia yang hamil bukan anak gue. Kenapa gue nggak mau tanggung jawab atas kehamilan Prissa yang jelas-j
"Apa yang harus aku lakukan, supaya kamu mau memaafkan kesalahanku, Dara? Apa yang bisa buat kamu memaafkan aku agar kamu bisa menerima semua perbuatan gila itu."Daffa kembali bersuara. Akan terus mengejar permintaan maaf dari Dara. Bahkan, ia rela melakukan apa saja, agar mau memaafkannya.Dara menoleh ke arah Daffa. "Tidak perlu. Mas Daffa tidak perlu melakukan apa pun. Semuanya sudah terjadi. Apa yang harus dilakukan?"Daffa bergeming. la hanya bisa menatap Dara dengan sayu. Hatinya teriris kala mendengar ucapan Dara. Terdengar sangat kecewa padanya."Jangan lengah, Daff. Si Prissa emang masih suka sama elo. Akan mencari cara agar bisa dapetin elo lagi. Sekarang, jangan pernah bertemu dengan dia sekali pun. Jauhi dia, jangan sampai elo ketemu lagi sama tuh orang."Ucapan Fahri membuat Daffa mengangguk dengan pelan. "Iya, Ri. Dari awal juga gue gak pernah mau ketemu sama dia lagi. Tapi, dia sendiri yang datang dan deketin gue."Fahri mengangguk. Lalu, menoleh ke arah Dara. "Kamu ja
"Tuh, kan. Apa kata gue juga. Dara punya penyakit shock. Denger berita yang bikin dia kaget, pasti langsung pingsan," kata Fahri sembari mengikuti Daffa yang tengah menggendong Dara. Yang akan membawanya ke rumah sakit."Jangan banyak omong. Bawa mobil. Ke rumah sakit sekarang juga?" titah Daffa kepada Fahri.Kemudian pria itu melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Untuk memeriksa kondisi Dara yang tiba-tiba tak sadarkan diri.Setibanya di rumah sakit, Dara langsung dibawa ke ruang IGD, untuk melakukan pemeriksaan."Kenapa lagi istrinya, Daffa?" tanya Dokter Ami sembari memeriksa kondisi Dara."Jatuh pingsan, Dok. Tiba-tiba, karena dengar kabar yang tidak mengenakkan" ucap Fahri memberi tahu.Dokter Ami menghela napasnya. "Kenapa selalu mendengar kabar yang tidak mengenakkan? Jangan pernah beri kabar tersebut, karena Dara memiliki sifat cenderung mudah terkejut."Saya rasa, ini ada kaitannya dengan pengalaman dia di masa lalu. Mungkin saat Dara tengah melamun, atau sedang memikirkan s
"Dara ke mana sih? Kenapa nggak temenin Mama di sini?" tanya Daffa setelah menyadari jika istrinya tidak ada di sana."Mau mandi dulu katanya," jawab Melawati."Oh. Tadi olahraga dulu sih dia. Kemudian, Daffa menoleh kembali pada Melawati. "Mama ke sini mau ngomongin itu doang?"Melawati mengangguk. "Mama mau ke Amerika. Jenguk Daiva, sama Papa juga. Kamu dan Dara mau ikut juga, nggak? Sekalian babymoon.""Udah gede kandungannya, Ma. Harusnya bulan lalu. Dara gak bakalan mau pergi jauh-jauh. Terlalu cinta dengan Indonesia."Mama sama Papa aja yang pergi. Titip salam aja buat Daiva. Sekalian tanyakan, udah dapat jodoh lagi atau belum."Melawati memutar bola matanya dengan pelan. "Ya sudah kalau begitu. Mama dan Papa saja yang ke sana. Mau kasih kejutan."Melawati pun pamit pergi dari rumah anaknya.Lalu, Dara yang baru selesai mandi itu pun keluar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lho. Mamanya ke mana, Mas?" tan
Fahri hanya mengulas senyumnya. Kemudian menggaruk hidungnya. "Mungkin gitu, Daff. Si Dara punya penyakit shock. Kayaknya itu penyakit lebih parah dari jantung deh."Bisa bikin pingsan orang dengan tiba-tiba. Sedangkan jantung.... biasanya bengek dulu Baru pingsan. Kalau shock, langsung pingsan saat itu juga.Daffa menoleh dan menatap Fahri dengan tajam. "Elo jangan nakut-nakutin gue dong! Kasih solusi yang bener. Jangan malah bikin makin runyam ini masalah."Fahri mengusap belakang kepalanya. "Hal gak guna, dan bikin gue selalu ikut campur dalam urusan elo. Bahkan, merelakan waktu gue buat kencan sama Julies. Gak seru kalau nggak bisa menemukan titik terangnya."Daffa mengangguk. "Bukan elo doang yang waktunya terbuang sia-sia. Gue juga.""Yang bikin masalah elo, Daffa. Wajar, kalau elo membuang waktu elo untuk ngurusin kayak beginian. Emang paling demen nyari penyakit elo tuh, yaa."Daffa menghela napasnya dengan panjang. Lalu, memijat ken