"Julies? Pergi ke luar negeri. Setahun yang lalu. Saat itu, hubungan Daffa dan Julies memang agak renggang, setelah tragedi keguguran.""Apaa? Keguguran? Siapa, Mas? Julies?" tanya Dara dengan paniknya.Fahri mengangguk. "Hubungan Daffa sama Julies sudah berjalan dua tahun. Mereka berpisah tanpa ada kata-kata perpisahan. Julies pergi gitu aja ke luar negeri setelah mengalami keguguran."Saat itu, Daffa akan setia menunggunya. Akan menunggu Julies pulang. Ingin memperbaiki hubungannya yang udah renggang itu."Tapi, setiap kali Daffa menghubunginya, nomornya selalu nggak aktif. Lima bulan yang lalu. Daffa berhenti berharap. Daffa melupakan Julies. Dia udah nggak mau mengharapkan kehadiran orang yang nggak pernah mengharapkannya hadir."Penuturan panjang lebar Fahri membuat Dara merasa bersalah. Ternyata memang benar, Daffa sudah melupakan Julies, yang tak pernah ada kabar untuk Daffa."Saya jadi merasa bersalah karena sudah marah dan selalu cemburu sama Mas Daffa, Mas." Dara menyesali p
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Dara pun dikembalikan oleh Fahri ke rumah Daffa."Terima kasih, sudah mengantar saya pulang, Mas Fahri."Fahri mengangguk. "Jangan kabur lagi, ya. Kasihan Daffa. Mencarimu sampai putus asa begitu."Dara mengangguk dengan pelan. Kemudian keluar dari dalam mobil Fahri.Melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Takut Daffa memarahinya.Ketika pintu dibuka, ia tak melihat ada Daffa di sana. "Ke mana Mas Daffa? Belum pulang kah?" gumamnya kemudian masuk ke dalam kamarnya."Mas Daffa ke mana, ya? Apa aku telepon saja. Atau ... biarkan saja."Dara dalam dilema. Harus menghubunginya, atau membiarkan sampai Daffa pulang."Lebih baik aku istirahat saja. Nanti juga Mas Fahri memberi tahu Mas Daffa kalau aku sudah pulang."Dan akhirnya Dara memutuskan untuk istirahat saja sambil menunggu Daffa pulang.**Hingga waktu siang hari tiba. Daffa baru pulang mencari Dara. Rupanya, Fahri tidak bicara jika Dara sudah ditemukan.Bahkan, i
Daffa tak habis pikir dengan pikiran negatif yang ada di dalam pikiran Dara.'Begini rasanya menjalin hubungan sama perempuan yang belum dewasa. Selalu berpikir ke hal yang buatnya menjadi sakit sendiri.' Daffa berucap dalam hati."Aku bisa membuktikan semuanya jika nanti Julies kembali. Aku juga nggak tahu, apakah dia akan kembali ke Indonesia atau nggak. Semoga saja selamanya dia menetap di luar negeri."Agar pikiran kotormu itu tidak terbukti. Mau berapa kali pun aku bilang kalau aku tidak akan kembali padanya, kamu tetap tidak akan percaya. Susah meyakinkan ibu hamil yang hormonnya masih naik turun."Daffa mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Dara malah mengurucutkan bibirnya."Belum juga menikah. Ada aja masalah yang harus dilewati," gumam Dara dengan pelan.Namun, telinga Daffa masih normal. Ia bisa mendengarnya suara Dara."Kamu sendiri yang mencari masalah itu, Dara. Jangan bahas itu lagi. Aku sedang ingin bermesraan denganmu. Kapan kamu akan menerima sentuhan lembut yang
Kemudian Cheryl tersenyum miris. "Hobi banget sih, bikin anak orang hamil, Daf. Kalau Julies pulang dan tahu elo udah nikah, bisa kena amuk. Gue sering chatingan sama dia. Sering nanyain elo juga."Satu lagi. Bulan depan dia mau pulang. Bukan karena denger elo udah nikah. Gue nggak bilang kalau elo udah nikah dan hamilin pembantunya sendiri."Cheryl menoleh pada Dara lalu melipat tangan di dadanya. "Mungkin ... Julies pulang mau rebut Daffa dari elo, gadis desa." Kemudian tersenyum miring.Setelah itu, Cheryl dan Daiva berlalu pergi setelah berhasil merusak momen bahagia Dara dan Daffa."Laki sama bini sama aja. Sama-sama pengikut setan!" Daffa tampak geram dibuatnya.Dara menggenggam tangan Daffa. Mengulas senyumnya dengan manis."Kalau memang Julies kembali, itu balik lagi ke Mas Daffa. Bertahan dengan saya, atau kembali pada Julies. Toh, ini bukan anaknya Mas Daffa. Biar saja saya mengurus anak ini sendirian."Ucapan Dara membuat dada Daffa sesak. Bisa-bisanya dia merelakan suaminy
Dara tak berkutik. Ketakutan itu sebenarnya masih ada dalam dirinya. Hanya saja, tak ingin ia perlihatkan. Dara ingin melupakan semuanya. Percaya jika Daffa tidak akan kembali pasa perempuan yang pernah mengisi hidupnya."Saya nggak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, rasa khawatir selalu datang. Semoga Mas Daffa paham dengan kondisi saya sekarang," kata Dara dengan pelan.Pria itu kemudian menarik tangan Dara. Memeluknya. Memberi kehangatan untuk sang istri. Wanita yang kini ada di hatinya. Hanya ada nama Dara di sana. Tidak akan ia sia-siakan wanita baik sepertinya."Meninggalkanmu, sama saja dengan membuang berlian utuh. Aku nggak akan melakukan itu. Percayalah. Butuh bukti apa lagi supaya kamu percaya sama aku, hem?"Dara kembali termenung. Apa yang diucapkan Daffa memang terdengar tulus. Efek hormon ibu hamil selalu membuatnya tak bisa tenang."Mas Daffa?" panggil Dara kemudian.Daffa kembali melepaskan pelukan itu. "Ya. Kenapa?""Saya la
Daffa sedang dibalut kabut gairah yang tebal. Ia begitu tenggelam dalam hasrat, tak ingin diganggu, bahkan dengan panggilan nama.Dara, istrinya, hanya bisa pasrah. Ia membiarkan suaminya melampiaskan hasratnya tanpa hambatan. Tubuhnya bergetar tak terkendali, napasnya tersengal penuh gairah yang tak terbendung.Setelah puncak itu, Daffa berhenti. Ia menyerap cairan bening yang keluar dari Dara, lalu menatapnya dengan senyuman puas. "Aku mulai sekarang, ya?" tanyanya dengan suara rendah.Dara, yang masih berusaha mengatur napas, hanya mengangguk, tak mampu menjawab dengan kata-kata.Daffa pun melanjutkan, menyatukan tubuhnya dengan Dara. Meski Dara bukan gadis lagi, ia masih merasakan keintiman yang begitu erat, seolah-olah ini adalah malam pertama mereka. Daffa mengagumi kehangatan itu."Masih sempit. Punya Daiva kecil, ya?" godanya sambil mempertahankan irama gerakannya.Dara menggeleng. "Nggak tahu. Nggak pernah lihat. Cuma baru lihat punya Mas aja," jawabnya polos.Daffa tersenyum
Daffa merasakan kebenciannya terhadap Cheryl semakin mendalam. Wanita itu telah memberi informasi bohong kepada Julies, membuatnya percaya bahwa Daffa masih menunggunya.Tanpa ragu, Daffa segera menghapus pesan dari Julies dan memblokir nomornya. Ia tak ingin Dara, istrinya, kembali bersedih karena kehadiran Julies.Setelah menyimpan ponselnya di nakas, Daffa bertanya, "Aku dulu, atau kamu dulu yang mau mandi?"Dara tersenyum kecil, "Saya dulu, ya. Soalnya mau siapin sarapan juga. Udah siang sih. Masih mau sarapan nggak, Mas?"Daffa melirik jam di dinding, "Mau jam sepuluh, yaa. Aku ada urusan di kafe hari ini sama Fahri. Kamu nggak apa-apa kan, ditinggal sendiri di sini?"Dara mengangguk, "Nggak akan lama, kan?"Daffa menggeleng, "Nggak, kok. Kamu tenang aja. Paling cuma dua jam. Setelah itu langsung balik lagi ke sini."Dara mengangguk dan segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, mandi wajib sete
"Gue nggak maruk. Gue juga nggak akan berikan Dara ke elo. Bahkan, gue juga nggak akan pindah hati lagi jika nanti Julies udah pulang. Dara istri gue. Derajatnya lebih tinggi dari apa pun."Fahri manggut-manggut. "Semoga aja nggak goyah. Agak terdengar tulus. Tapi nggak tahu. Jangan sakiti hati Dara, Daff. Elo ... kalau udah nggak sanggup, kasih ke gue aja."Dan Fahri masih terus berharap Daffa melepaskan Dara. Merasa kasihan pada nasib Dara. Dihamili oleh Daiva, menikah dengan Daffa. Pria yang masih ada sangkut pautnya dengan masa lalu.Yang belum selesai lantaran Julies masih menganggap Daffa kekasihnya. Fahri ingin membebaskan Dara dengan menjadi miliknya.Tapi, tidak semudah itu. Daffa mencintainya. Tak akan ia lepaskan begitu saja. Mereka baru menikah. Juga, tantangan baru akan mereka hadapi."Kalau elo udah nggak cinta, kenapa telihat frustasi kayak gini?" tanya Fahri. Curiga dengan ekspresi wajah Daffa yang terlihat gusar."Takut Julies nekad dan