Daffa tak habis pikir dengan pikiran negatif yang ada di dalam pikiran Dara.'Begini rasanya menjalin hubungan sama perempuan yang belum dewasa. Selalu berpikir ke hal yang buatnya menjadi sakit sendiri.' Daffa berucap dalam hati."Aku bisa membuktikan semuanya jika nanti Julies kembali. Aku juga nggak tahu, apakah dia akan kembali ke Indonesia atau nggak. Semoga saja selamanya dia menetap di luar negeri."Agar pikiran kotormu itu tidak terbukti. Mau berapa kali pun aku bilang kalau aku tidak akan kembali padanya, kamu tetap tidak akan percaya. Susah meyakinkan ibu hamil yang hormonnya masih naik turun."Daffa mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Dara malah mengurucutkan bibirnya."Belum juga menikah. Ada aja masalah yang harus dilewati," gumam Dara dengan pelan.Namun, telinga Daffa masih normal. Ia bisa mendengarnya suara Dara."Kamu sendiri yang mencari masalah itu, Dara. Jangan bahas itu lagi. Aku sedang ingin bermesraan denganmu. Kapan kamu akan menerima sentuhan lembut yang
Kemudian Cheryl tersenyum miris. "Hobi banget sih, bikin anak orang hamil, Daf. Kalau Julies pulang dan tahu elo udah nikah, bisa kena amuk. Gue sering chatingan sama dia. Sering nanyain elo juga."Satu lagi. Bulan depan dia mau pulang. Bukan karena denger elo udah nikah. Gue nggak bilang kalau elo udah nikah dan hamilin pembantunya sendiri."Cheryl menoleh pada Dara lalu melipat tangan di dadanya. "Mungkin ... Julies pulang mau rebut Daffa dari elo, gadis desa." Kemudian tersenyum miring.Setelah itu, Cheryl dan Daiva berlalu pergi setelah berhasil merusak momen bahagia Dara dan Daffa."Laki sama bini sama aja. Sama-sama pengikut setan!" Daffa tampak geram dibuatnya.Dara menggenggam tangan Daffa. Mengulas senyumnya dengan manis."Kalau memang Julies kembali, itu balik lagi ke Mas Daffa. Bertahan dengan saya, atau kembali pada Julies. Toh, ini bukan anaknya Mas Daffa. Biar saja saya mengurus anak ini sendirian."Ucapan Dara membuat dada Daffa sesak. Bisa-bisanya dia merelakan suaminy
Dara tak berkutik. Ketakutan itu sebenarnya masih ada dalam dirinya. Hanya saja, tak ingin ia perlihatkan. Dara ingin melupakan semuanya. Percaya jika Daffa tidak akan kembali pasa perempuan yang pernah mengisi hidupnya."Saya nggak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, rasa khawatir selalu datang. Semoga Mas Daffa paham dengan kondisi saya sekarang," kata Dara dengan pelan.Pria itu kemudian menarik tangan Dara. Memeluknya. Memberi kehangatan untuk sang istri. Wanita yang kini ada di hatinya. Hanya ada nama Dara di sana. Tidak akan ia sia-siakan wanita baik sepertinya."Meninggalkanmu, sama saja dengan membuang berlian utuh. Aku nggak akan melakukan itu. Percayalah. Butuh bukti apa lagi supaya kamu percaya sama aku, hem?"Dara kembali termenung. Apa yang diucapkan Daffa memang terdengar tulus. Efek hormon ibu hamil selalu membuatnya tak bisa tenang."Mas Daffa?" panggil Dara kemudian.Daffa kembali melepaskan pelukan itu. "Ya. Kenapa?""Saya la
Daffa sedang dibalut kabut gairah yang tebal. Ia begitu tenggelam dalam hasrat, tak ingin diganggu, bahkan dengan panggilan nama.Dara, istrinya, hanya bisa pasrah. Ia membiarkan suaminya melampiaskan hasratnya tanpa hambatan. Tubuhnya bergetar tak terkendali, napasnya tersengal penuh gairah yang tak terbendung.Setelah puncak itu, Daffa berhenti. Ia menyerap cairan bening yang keluar dari Dara, lalu menatapnya dengan senyuman puas. "Aku mulai sekarang, ya?" tanyanya dengan suara rendah.Dara, yang masih berusaha mengatur napas, hanya mengangguk, tak mampu menjawab dengan kata-kata.Daffa pun melanjutkan, menyatukan tubuhnya dengan Dara. Meski Dara bukan gadis lagi, ia masih merasakan keintiman yang begitu erat, seolah-olah ini adalah malam pertama mereka. Daffa mengagumi kehangatan itu."Masih sempit. Punya Daiva kecil, ya?" godanya sambil mempertahankan irama gerakannya.Dara menggeleng. "Nggak tahu. Nggak pernah lihat. Cuma baru lihat punya Mas aja," jawabnya polos.Daffa tersenyum
Daffa merasakan kebenciannya terhadap Cheryl semakin mendalam. Wanita itu telah memberi informasi bohong kepada Julies, membuatnya percaya bahwa Daffa masih menunggunya.Tanpa ragu, Daffa segera menghapus pesan dari Julies dan memblokir nomornya. Ia tak ingin Dara, istrinya, kembali bersedih karena kehadiran Julies.Setelah menyimpan ponselnya di nakas, Daffa bertanya, "Aku dulu, atau kamu dulu yang mau mandi?"Dara tersenyum kecil, "Saya dulu, ya. Soalnya mau siapin sarapan juga. Udah siang sih. Masih mau sarapan nggak, Mas?"Daffa melirik jam di dinding, "Mau jam sepuluh, yaa. Aku ada urusan di kafe hari ini sama Fahri. Kamu nggak apa-apa kan, ditinggal sendiri di sini?"Dara mengangguk, "Nggak akan lama, kan?"Daffa menggeleng, "Nggak, kok. Kamu tenang aja. Paling cuma dua jam. Setelah itu langsung balik lagi ke sini."Dara mengangguk dan segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, mandi wajib sete
"Gue nggak maruk. Gue juga nggak akan berikan Dara ke elo. Bahkan, gue juga nggak akan pindah hati lagi jika nanti Julies udah pulang. Dara istri gue. Derajatnya lebih tinggi dari apa pun."Fahri manggut-manggut. "Semoga aja nggak goyah. Agak terdengar tulus. Tapi nggak tahu. Jangan sakiti hati Dara, Daff. Elo ... kalau udah nggak sanggup, kasih ke gue aja."Dan Fahri masih terus berharap Daffa melepaskan Dara. Merasa kasihan pada nasib Dara. Dihamili oleh Daiva, menikah dengan Daffa. Pria yang masih ada sangkut pautnya dengan masa lalu.Yang belum selesai lantaran Julies masih menganggap Daffa kekasihnya. Fahri ingin membebaskan Dara dengan menjadi miliknya.Tapi, tidak semudah itu. Daffa mencintainya. Tak akan ia lepaskan begitu saja. Mereka baru menikah. Juga, tantangan baru akan mereka hadapi."Kalau elo udah nggak cinta, kenapa telihat frustasi kayak gini?" tanya Fahri. Curiga dengan ekspresi wajah Daffa yang terlihat gusar."Takut Julies nekad dan
Dara menggeleng. "Tolong lepaskan saya, Tuan. Jangan sakiti saya lagi. Silakan pulang, Tuan."Dara sudah tak kuasa menahan sakit di perutnya karena ulah Daiva yang sudah meremasnya dengan kasar.Kemudian pria itu menarik wajah Dara. Menatapnya dengan lekat. "Kamu tahu ... Daffa sudah memiliki kekasih? Dan, sebentar lagi akan pulang? Dan, kamu tahu ... Daffa sudah lulus kuliah? Julies akan menagih janjinya untuk menikah dengan Daffa."Dara menggeleng. "Mas Daffa sudah tidak mencintainya. Mas Daffa hanya mencintai saya. Biarkan saja jika Julies mau pulang. Mas Daffa akan memberi tahu semuanya."Dara terus berusaha untuk menahan rasa sakitnya itu.Saat Daiva hendak melancarkan aksinya, tiba-tiba bajunya ditarik lalu dihempas dengan kasar ke lantai.Mata Daiva terbelalak saat melihat Daffa datang dan menatapnya dengan nyalang.Bugh!Satu pukulan keras melayang pada sudut mata Daiva. Lalu, menarik kerah baju Daiva."Masih ber
Daffa masuk ke dalam ruangan di mana Dara terbaring tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, wajahnya tampak pucat. Membuat Daffa tak tega melihatnya.Lalu, ia mengusap lembut perut yang sudah membuncit."Baby. Jaga Mama dengan baik, ya. Terima kasih karena kamu masih mau bertahan di perut Mama. Papa janji, akan merawat dan menjaga Mama dengan maksimal."Daiva tidak akan bisa mengganggu kalian lagi. Papa janji. Dengan sekuat dan semampu Papa, akan selalu ada untuk kalian. Papa sayang kamu dan juga Mama."Daffa berbicara dengan bayi yang ada di dalam perut Dara. Berharap janin mendengar apa yang dia bicarakan.Tak lama setelahnya. Dara membuka matanya dengan pelan. Mengedarkan pandangan di sekitar ruangan berdominasi putih itu."Hai. Sudah bangun?" ucap Daffa dengan lembut."Mas ... dia baik-baik aja, kan?" tanyanya dengan lemah.Daffa mengangguk. "Dia baik-baik saja. Strong. Masih mau bertahan. Ingin dilahirkan olehmu."Dara mengulas senyum tipis. "Syukurlah kalau dia baik-baik saja
"Dara ke mana sih? Kenapa nggak temenin Mama di sini?" tanya Daffa setelah menyadari jika istrinya tidak ada di sana."Mau mandi dulu katanya," jawab Melawati."Oh. Tadi olahraga dulu sih dia. Kemudian, Daffa menoleh kembali pada Melawati. "Mama ke sini mau ngomongin itu doang?"Melawati mengangguk. "Mama mau ke Amerika. Jenguk Daiva, sama Papa juga. Kamu dan Dara mau ikut juga, nggak? Sekalian babymoon.""Udah gede kandungannya, Ma. Harusnya bulan lalu. Dara gak bakalan mau pergi jauh-jauh. Terlalu cinta dengan Indonesia."Mama sama Papa aja yang pergi. Titip salam aja buat Daiva. Sekalian tanyakan, udah dapat jodoh lagi atau belum."Melawati memutar bola matanya dengan pelan. "Ya sudah kalau begitu. Mama dan Papa saja yang ke sana. Mau kasih kejutan."Melawati pun pamit pergi dari rumah anaknya.Lalu, Dara yang baru selesai mandi itu pun keluar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lho. Mamanya ke mana, Mas?" tan
Fahri hanya mengulas senyumnya. Kemudian menggaruk hidungnya. "Mungkin gitu, Daff. Si Dara punya penyakit shock. Kayaknya itu penyakit lebih parah dari jantung deh."Bisa bikin pingsan orang dengan tiba-tiba. Sedangkan jantung.... biasanya bengek dulu Baru pingsan. Kalau shock, langsung pingsan saat itu juga.Daffa menoleh dan menatap Fahri dengan tajam. "Elo jangan nakut-nakutin gue dong! Kasih solusi yang bener. Jangan malah bikin makin runyam ini masalah."Fahri mengusap belakang kepalanya. "Hal gak guna, dan bikin gue selalu ikut campur dalam urusan elo. Bahkan, merelakan waktu gue buat kencan sama Julies. Gak seru kalau nggak bisa menemukan titik terangnya."Daffa mengangguk. "Bukan elo doang yang waktunya terbuang sia-sia. Gue juga.""Yang bikin masalah elo, Daffa. Wajar, kalau elo membuang waktu elo untuk ngurusin kayak beginian. Emang paling demen nyari penyakit elo tuh, yaa."Daffa menghela napasnya dengan panjang. Lalu, memijat ken
Pagi harinya, Daffa bergegas pergi menuju cafe. Karena waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi."Sayang, aku berangkat sekarang, yaa!" ucapnya sambil melambaikan tangannya pada Dara"Iya, Mas. Hati-hati.”Daffa mengangguk lalu keluar dari rumah itu. Masuk ke dalam mobilnya lalu melajukan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi.Ingin segera sampai ke cafe dan mulai memecahkan misi barunya lagi bersama Fahri. Pesan tersebut sudah membuatnya pusing tujuh keliling. Ditelepon tidak diangkat, bahkan nomornya pun sudah tidak aktif lagi.Tiba di cafe. Daffa segera masuk ke dalam ruang kerjanya yang sudah ditunggu Fahri di dalam sana."Ada apa sih. Daff? Kelihatannya gundah-gulana gitu," tanya Fahri kemudian kembali fokus menatap laptopnya.Pria itu kemudian menutup laptop milik Fahri. "Jangan dulu fokus sama kerjaan, bantu gue dulu ini harus segera diselesaikan.""Kenapa lagi sih lo, Daff? Perasaan, tiap hari bikin masalah mulu,"
Hingga lima belas menit kemudian. Daffa mengakhiri permainan itu Sesuatu yang hangat menyembur di bawah sana. Sangat terasa kala Dara rasakan.Daffa mengejang, kemudian menjatuhkan tubuhnya di samping Dara. Sambil mengatur napasnya yang tersengal.Pun dengan Dara. Dadanya naik turun, tengah mengatur napasnya agar kembali normal.Lalu, menoleh ke arah Daffa. "Mas?" panggilnya kemudian.Daffa menoleh. "Heeum. Kenapa, Sayang?""Kenapa milik Mas Daffa tiba-tiba on? Langsung berdiri, dan baru kali ini saya melihatnya."Daffa bingung harus jawab apa. Mana mungkin ia menjawab jika ada yang usil sudah memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya di acara ulang tahun tadi.Kemudian, Daffa memutar otak untuk mencari alasan yang lebih logis."Tidak perlu ada penetrasi terlebih dulu. Milik pria akan on dengan sendirinya hanya karena melihat lekuk tubuh perempuan. Dan, aku tadi melihat kamu lagi nggak pakai apa-apa."Dan akhirnya,
Kemudian, pria itu menghempaskan tangan Prissa dengan kasar. "Ngapain sih, ke sini? Masih banyak tempat yang bisa elo kunjungi, Prissa!"Perempuan itu mengulas senyumnya. "Santai aja, Daffa. Kenapa sih, sensi banget. Lagi pula, di sini nggak ada istri kamu. Santai saja, okay?"Daffa pun duduk di kursi yang ada di sana. Pun dengan Fahri, yang ikut duduk di depan Daffa."Apa kabar, Priss? Udah lama banget nggak nongol. Ke mana aja sih?" tanya Fahri basa-basi."Melanglang buana gue, Ri. Nyari pengganti yang lebih dari Daffa. Tapi, belum ketemu."Fahri lantas terkekeh. "Elo sih... sok-sokan selingkuh. Kena batunya kan."Fahri yang tahu tentang masa lalu Daffa dan Prissa, lantas tahu di mana Prissa meninggalkan Daffa karena memilih pria lain."Gak usah dibahas lagi, Ri. Gak penting!" ucapnya kemudian meneguk minuman yang sudah disediakan di sana.Dering ponsel Fahri berbunyi. Panggilan dari Julies. "Gue angkat dulu. Panggilan dari I
Dua bulan kemudian.Usia kandungan Dara sudah memasuki tujuh bulan. Semakin membuncit dan tentunya sangat sehat, karena ibu hamil tersebut selalu makan makanan yang bergiziDipasok terus menerus oleh Daffa agar ibu dan bayinya selalu sehat sampai menjelang lahiran nanti. Dua hari yang lalu, Dara dan Daffa telah melakukan acara syukuran tujuh bulan kandungan."Sayang. Nanti malam ada acara ulang tahun termanku. Mau ikut, nggak?" tanya Daffa setelah menyelesaikan acara sarapannya.Dara menggeleng. "Mau antar Mbak Julies belanja, Mas. Sama siapa ke acara ulang tahunnya?""Sendiri. Mungkin sama Fahri juga. Karena teman sekampus dulu yang ulang tahunnya.""Oh. Ya sudah. Kayaknya nggak bisa ikut deh, Mas. Langsung pulang, kalau acaranya sudah selesai.""Baik, Tuan Putri. Kakanda akan langsung pulang setelah acaranya selesai. Ngapain juga lama-lama di sana. Mending kelonin kamu. lya, nggak?"Dara menyunggingkan bibirnya. Lalu, mengamb
"Daiva pasti akan segera kembali. Dia hanya ingin mengubah hidupnya agar menjadi lebih baik. Setelah itu, dia akan kembali pada kita. Mama jangan khawatir. Daiva pasti akan kembali."Adicandra menenangkan istrinya, yang sedari tadi terus menangisi kepergian anaknya.Melawati mengangguk dengan pelan. "lya, Papa. Mama pasti akan selalu menunggu kepulangan anak kita. Semoga dia benar-benar berubah dan tidak kembali pada sifatnya yang dulu."Kemudian keempat orang itu berlalu pergi meninggalkan bandara, setelah Daiva sudah terbang menuju Amerika serikat.Tiba di rumah. Dara tampak melamun. Semenjak kepergian Daiva, hatinya sedikit sedih. Entah kenapa dia merasa kehilangan pria yang sudah menanam benih di perutnya itu.Hingga akhirnya Daffa menghampiri Dara yang tengah melamun di ruang tengah. Menatap kosong ke arah televisi yang ia nyalakan."Melamunnya biasa aja, Dara. Daiva pasti akan segera pulang kok. Udah kangen, sama ayahnya anak kamu itu,
Satu minggu berlalu.Daiva sudah membaik. Sudah dibolehkan pulang hari ini. Daffa juga Dara ikut menemani Daiva untuk pulang ke rumah orang tuanya.Bukan ke rumah miliki mendiang istrinya. Sebab, semua barang-barang milik Daiva sudah dibawa ke rumah orang tuanya.Rumah itu sudah tidak berpenghuni. Bahkan, akan dijual oleh mamanya Cheryl. Karena kasus Cakrawisnu yang sudah memalsukan dokumen, perusahaannya terancam bangkrut.Anak-anaknya pun tidak ada yang mau meneruskan perusahaan tersebut karena sudah mendapat nilai E dari semua investor yang bekerja sama dengan perusahaan itu."Gue minta maaf karena ulah Cheryl dan orang tuanya, elo sempat ditahan. Sekarang, Wisnu kena getahnya. Semoga dia jera dan mau bertobat," kata Daiva setelah tiba di rumah.Daffa mengangguk. "Ya. Semuanya udah selesai. Gue udah bisa bernapas lega karena keluarga kita udah nggak ada urusan lagi sama mereka."Elo juga udah nggak jadi budak Wisnu dan Cheryl. Semo
Daffa mengangguk. Kemudian, memberikan rekaman video yang sudah la ambil kemarin malam. Lalu, Ahmad dengan fokus mendengarkan obrolan mereka berempat di dalam video sana.Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keterlaluan! Pak Anggi!" teriak Ahmad memanggil salah satu staff kepolisian di sana."Siap, Pak!""Panggil Ari, Wibowo, dan Ilham ke sini!" titah Ahmad kepada Anggi."Baik, Pak!" Anggi keluar untuk memanggil ketiga petugas kepolisian tersebut.Tak lama setelahnya, ketiga orang itu tiba di ruangan Ahmad. Lalu, Ari mengerutkan keningnya. Sebab melihat Fahri dan Daffa ada di sana.Lagi apa mereka di sini? Memangnya, mereka kenal dengan Pak Ahmad, ucap Ari dalam hati."Lihatlah! Apakah kalian mengenal tiga orang itu?" Ahmad memberikan rekaman video itu kepada mereka bertiga.Saat melihatnya, lantas membuat tiga orang itu membolakan matanya dengan sempurna. Kaget bukan main kala melihat rekaman video, berisikan mereka berempat di sana."Bisa jelaskan, kenapa kalian menerima suap u