Dara tak berkutik. Ketakutan itu sebenarnya masih ada dalam dirinya. Hanya saja, tak ingin ia perlihatkan. Dara ingin melupakan semuanya. Percaya jika Daffa tidak akan kembali pasa perempuan yang pernah mengisi hidupnya."Saya nggak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, rasa khawatir selalu datang. Semoga Mas Daffa paham dengan kondisi saya sekarang," kata Dara dengan pelan.Pria itu kemudian menarik tangan Dara. Memeluknya. Memberi kehangatan untuk sang istri. Wanita yang kini ada di hatinya. Hanya ada nama Dara di sana. Tidak akan ia sia-siakan wanita baik sepertinya."Meninggalkanmu, sama saja dengan membuang berlian utuh. Aku nggak akan melakukan itu. Percayalah. Butuh bukti apa lagi supaya kamu percaya sama aku, hem?"Dara kembali termenung. Apa yang diucapkan Daffa memang terdengar tulus. Efek hormon ibu hamil selalu membuatnya tak bisa tenang."Mas Daffa?" panggil Dara kemudian.Daffa kembali melepaskan pelukan itu. "Ya. Kenapa?""Saya la
Daffa sedang dibalut kabut gairah yang tebal. Ia begitu tenggelam dalam hasrat, tak ingin diganggu, bahkan dengan panggilan nama.Dara, istrinya, hanya bisa pasrah. Ia membiarkan suaminya melampiaskan hasratnya tanpa hambatan. Tubuhnya bergetar tak terkendali, napasnya tersengal penuh gairah yang tak terbendung.Setelah puncak itu, Daffa berhenti. Ia menyerap cairan bening yang keluar dari Dara, lalu menatapnya dengan senyuman puas. "Aku mulai sekarang, ya?" tanyanya dengan suara rendah.Dara, yang masih berusaha mengatur napas, hanya mengangguk, tak mampu menjawab dengan kata-kata.Daffa pun melanjutkan, menyatukan tubuhnya dengan Dara. Meski Dara bukan gadis lagi, ia masih merasakan keintiman yang begitu erat, seolah-olah ini adalah malam pertama mereka. Daffa mengagumi kehangatan itu."Masih sempit. Punya Daiva kecil, ya?" godanya sambil mempertahankan irama gerakannya.Dara menggeleng. "Nggak tahu. Nggak pernah lihat. Cuma baru lihat punya Mas aja," jawabnya polos.Daffa tersenyum
Daffa merasakan kebenciannya terhadap Cheryl semakin mendalam. Wanita itu telah memberi informasi bohong kepada Julies, membuatnya percaya bahwa Daffa masih menunggunya.Tanpa ragu, Daffa segera menghapus pesan dari Julies dan memblokir nomornya. Ia tak ingin Dara, istrinya, kembali bersedih karena kehadiran Julies.Setelah menyimpan ponselnya di nakas, Daffa bertanya, "Aku dulu, atau kamu dulu yang mau mandi?"Dara tersenyum kecil, "Saya dulu, ya. Soalnya mau siapin sarapan juga. Udah siang sih. Masih mau sarapan nggak, Mas?"Daffa melirik jam di dinding, "Mau jam sepuluh, yaa. Aku ada urusan di kafe hari ini sama Fahri. Kamu nggak apa-apa kan, ditinggal sendiri di sini?"Dara mengangguk, "Nggak akan lama, kan?"Daffa menggeleng, "Nggak, kok. Kamu tenang aja. Paling cuma dua jam. Setelah itu langsung balik lagi ke sini."Dara mengangguk dan segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, mandi wajib sete
"Gue nggak maruk. Gue juga nggak akan berikan Dara ke elo. Bahkan, gue juga nggak akan pindah hati lagi jika nanti Julies udah pulang. Dara istri gue. Derajatnya lebih tinggi dari apa pun."Fahri manggut-manggut. "Semoga aja nggak goyah. Agak terdengar tulus. Tapi nggak tahu. Jangan sakiti hati Dara, Daff. Elo ... kalau udah nggak sanggup, kasih ke gue aja."Dan Fahri masih terus berharap Daffa melepaskan Dara. Merasa kasihan pada nasib Dara. Dihamili oleh Daiva, menikah dengan Daffa. Pria yang masih ada sangkut pautnya dengan masa lalu.Yang belum selesai lantaran Julies masih menganggap Daffa kekasihnya. Fahri ingin membebaskan Dara dengan menjadi miliknya.Tapi, tidak semudah itu. Daffa mencintainya. Tak akan ia lepaskan begitu saja. Mereka baru menikah. Juga, tantangan baru akan mereka hadapi."Kalau elo udah nggak cinta, kenapa telihat frustasi kayak gini?" tanya Fahri. Curiga dengan ekspresi wajah Daffa yang terlihat gusar."Takut Julies nekad dan
Dara menggeleng. "Tolong lepaskan saya, Tuan. Jangan sakiti saya lagi. Silakan pulang, Tuan."Dara sudah tak kuasa menahan sakit di perutnya karena ulah Daiva yang sudah meremasnya dengan kasar.Kemudian pria itu menarik wajah Dara. Menatapnya dengan lekat. "Kamu tahu ... Daffa sudah memiliki kekasih? Dan, sebentar lagi akan pulang? Dan, kamu tahu ... Daffa sudah lulus kuliah? Julies akan menagih janjinya untuk menikah dengan Daffa."Dara menggeleng. "Mas Daffa sudah tidak mencintainya. Mas Daffa hanya mencintai saya. Biarkan saja jika Julies mau pulang. Mas Daffa akan memberi tahu semuanya."Dara terus berusaha untuk menahan rasa sakitnya itu.Saat Daiva hendak melancarkan aksinya, tiba-tiba bajunya ditarik lalu dihempas dengan kasar ke lantai.Mata Daiva terbelalak saat melihat Daffa datang dan menatapnya dengan nyalang.Bugh!Satu pukulan keras melayang pada sudut mata Daiva. Lalu, menarik kerah baju Daiva."Masih ber
Daffa masuk ke dalam ruangan di mana Dara terbaring tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, wajahnya tampak pucat. Membuat Daffa tak tega melihatnya.Lalu, ia mengusap lembut perut yang sudah membuncit."Baby. Jaga Mama dengan baik, ya. Terima kasih karena kamu masih mau bertahan di perut Mama. Papa janji, akan merawat dan menjaga Mama dengan maksimal."Daiva tidak akan bisa mengganggu kalian lagi. Papa janji. Dengan sekuat dan semampu Papa, akan selalu ada untuk kalian. Papa sayang kamu dan juga Mama."Daffa berbicara dengan bayi yang ada di dalam perut Dara. Berharap janin mendengar apa yang dia bicarakan.Tak lama setelahnya. Dara membuka matanya dengan pelan. Mengedarkan pandangan di sekitar ruangan berdominasi putih itu."Hai. Sudah bangun?" ucap Daffa dengan lembut."Mas ... dia baik-baik aja, kan?" tanyanya dengan lemah.Daffa mengangguk. "Dia baik-baik saja. Strong. Masih mau bertahan. Ingin dilahirkan olehmu."Dara mengulas senyum tipis. "Syukurlah kalau dia baik-baik saja
Sambil menuangkan bubur ke dalam mangkuk, Daffa tak berkata apa pun. Sedang memahami ucapan Fahri yang diucapkan Julies."Semuanya udah terjadi. Gue dan Julies nggak ditakdirkan untuk bersama. Jodoh gue itu Dara. Bukan Julies. Hubungan lama nggak menjamin bakal berjodoh."Gue akan bilang kayak gitu ke Julies. Dia nggak bisa menyalahkan takdir. Salah dia juga karena pergi gitu aja. Kalau dia udah berani melakukan itu, artinya dia udah nggak mengharapkan kehadiran gue."Kenapa sekarang malah marah-marah, saat tahu gue udah menikah. Kalau dia nggak pergi gitu aja, gue juga pasti bakal nunggu dia. Tapi, semuanya udah jelas kalau dia salah."Nggak bisa salahkan gue karena gue udah menikah. Apalagi menyalahkan Dara. Maki-maki Dara. Gak akan gue biarkan dia melakukan itu ke Dara."Fahri manggut-manggut. Lalu menepuk bahu Daffa. Pria itu tak akan berpaling pada Julies. Tanggung jawab dia sekarang hanya akan melindungi Dara.Kemudian, Fahri kembali menerima panggilan dari Julies. Membuatnya me
"Tapi, Mas. Ini honeymoon atau babymoon? Saya kan, lagi hamil. Mana ada honeymoon." Dara baru sadar, jika liburan untuk pertama kalinya ini membuatnya bingung.Dia baru menikah. Tapi sudah hamil. Pergi liburan ini, disebut apa. Honeymoon atau babymoon.Daffa terkekeh dibuatnya. "Double. Honeymoon dan babymoon. Dua-duanya sama aja. Sama-sama liburan."Dara mengangguk. "Iya, Mas. Mas Daffa bener. Tapi, Mas. Kok nggak bilang dulu ke saya, kalau mau liburan? Bener-bener dadakan, ya? Kenapa emangnya, Mas?"Tampaknya, Dara sedikit curiga pada Daffa yang dengan tiba-tiba pergi liburan. Padahal, sebelumnya Daffa tidak pernah membahas hal ini.Bahkan, Daffa tidak ada niat untuk liburan. Sebab, khawatir pada kondisi kehamilan Dara."Eeumm ... usul dari Fahri. Katanya, ajak kamu jalan-jalan. Biar nggak stress gara-gara kedatangan Daiva ke sini," ucap Daffa mencari alasan.Dan perempuan itu percaya begitu saja pada suaminya. Karena, Daffa tak pernah berbohong apa pun itu."Mas Fahri nggak ikut, M