Daffa menghela napasnya dengan pelan. "Kalau nanti kita sudah menikah, apa kita bisa tidur dalam satu ranjang?""Haah? Ma-maksud Mas Daffa?" tanyanya dengan gugup."Lupakan. Kamu masih saja terlihat takut kalau bahas hal itu. Aku dan kamu pisah kamar aja dulu.""Mas. Kalau pisah kamar, kapan bisa terbiasanya?"Daffa mengulas senyumnya. "Betul. Tumben pinter."Dara pun mengerucutkan bibirnya. Membuat Daffa tertawa pelan melihatnya."Lucu banget sih kamu. Umur kamu berapa tahun, Dara?""Saya pikir Mas Daffa tahu." Dara menggerutu kesal sambil mencubit-cubit selimutnya."Just kidding. Usiamu beda tujuh tahun denganku. Jauh banget. Tapi, nggak masalah. Aku belum pernah pacaran sama anak kecil. Sebuah tantangan besar. Dan ... bukan hanya jadi pacar, tapi jadi istriku. Boleh ... aku menciummu?""Haaah?"Daffa mendekatkan wajahnya pada Dara. Sementara perempuan itu hanya menutup matanya dengan erat. Hingga akhirnya Daffa melayangkan kecupan di kening Dara.Hanya itu. Dan membuat Dara kembali
Dara mengerjapkan matanya sambil menatap Daffa yang tengah mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggaruk rambutnya karena bingung harus jawab apa.“Kenapa ada banyak uang di tas kamu, Dara? Kamu … nggak habis nyuri, kan?” tanya Daffa dengan mata memicing.Lantas perempuan itu menggeleng dengan cepat. “Nggak, Mas. Sumpah saya nggak nyuri uang. Nggak berani, Mas.”“Terus … dari mana uang itu kamu dapatkan?”Dara menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana jika Daffa malah menuduhnya sebagai wanita bayaran jika dia mengaku uang itu dari Daiva.“Dara, jawab! Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Daffa kembali.Pria itu sudah tidak sabar ingin mendengar penjelasan Dara.“Mas … saya nggak mau Mas Daffa malah berasumsi kalau saya wanita bayaran. Tuan Daiva yang memberikan saya uang setiap kali setelah melakukan itu. Uang itu saya kumpulkan hingga banyak.“Tidak pernah saya pakai sekalipun. Hanya dipakai waktu bayar kontrakan selama satu bulan. Itu pun hanya satu juta. Silak
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja sampai ke cafe. Dara dan Daffa turun dari mobil secara bersamaan.Dara tampak gugup. Juga takut jika nanti Melawati memarahinya karena sudah berani kabur dari rumahnya. Matanya tak mampu menatap Melawati dan Adicandra yang sedang duduk di sofa.Daffa terus melangkahkan kakinya menghampiri orang tuanya. Dara mengeluarkan keringat dingin karena kegugupannya.Saat tiba di depan Melawati dan Adicandra. Dara masih saja menundukkan wajahnya. Hingga akhirnya Melawati memeluk perempuan itu. Menitikan air mata bahagia karena Daffa berhasil menemukan Dara.“Dara. Terima kasih sudah kembali. Saya sangat mengkhawatirkan kondisi kamu. Sedang mengandung, usiamu masih muda, sendirian. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasibmu di luar sana.”Melawati berbicara sambil terisak. Kemudian melepaskan pelukan itu. Mengadahkan wajah Dara yang sedari tadi menunduk terus.“Ma-maafkan saya, Bu. Maafkan saya karena sudah pergi tanpa pamit terlebih dahulu,” ucap Da
Daffa mengusap rambut perempuan itu. “Udaah, jangan dibahas lagi. Sekarang tidur. Besok bangun pagi-pagi, olahraga, sarapan, minum vitamin kemudian melakukan aktivitas seperti biasa.”“Eeeuumm … kerja di cafe Mas Daffa?”“No! Kamu nggak boleh kerja lagi. Di rumah aja. Aku nggak mau kamu pingsan lagi. Besok aku mau ke kampus dulu. Mau ikut?”“Haah? Nggak ah, Mas. Malu. Lulus SMA aja nggak.”Daffa terkekeh pelan. “Mau, nggak?”“Apa?”“Sekolah lagi. Kejar paket. Berhenti sekolah kelas berapa?”“Kelas dua SMA. Ibu saya sakit, Bapak juga sama. Nggak bisa cari uang untuk biaya sekolah saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja sebagai buruh rumah tangga.“Keliling rumah mencari kerjaan yang bisa saya kerjakan. Maaf, Mas. Sudah keceplosan menceritakan kehidupan kelam saya.”Dara menunduk malu. Bahkan, ia tak pernah berniat agar Daffa merasa kasihan padanya. Itu hanya jawaban spontan dari pertanyaan yang dilontarkan Daffa.Pria itu mengadahkan wajah Dara. Lalu mengulas
Dua minggu kemudian. Acara pernikahan Daiva dan Cheryl akan segera dilaksanakan. Keluarga mempelai pria dan wanita sudah berkumpul di tempat proses ijab kabul akan dilaksanakan. Tatapan Daiva memicing tajam ke arah Dara yang baru menampakan dirinya karena dipaksa Daffa untuk menghadiri acara pernikahan Daiva. Awalnya Dara menolak. Tapi, karena Daffa sudah bicara pada anggota keluarganya jika ia akan segera menikah dengan Dara, dengan terpaksa Dara menuruti perinta Daffa. Menghadiri acara pernikahan orang yang sudah menanam benih di dalam rahimnya. Hingga janin itu tumbuh dan kini sudah terlihat walau masih sedikit. “Lihatlah, Mas. Tuan Daiva menatapku seperti ini mencengkeramku,” kata Dara ketakutan. Daffa menggenggam tangan Dara. “Jangan takut. Dia tidak akan berulah di acara pentingnya. Setelah ijab kabul selesai, kita langsung pulang. Tidak baik juga kalau berlama-lama di sini.” “Kenapa? Karena perut saya sudah semakin membuncit?” Daffa menggeleng. “Banyak yang mengincarmu.
Membuat perempuan itu menghela napas lega. Saat pintu ditutup oleh Daffa, Dara memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri karena tubuhnya terasa lengket.Di dalam kamar. Daffa tengah mengecek CCTV di ruangan tengah sepuluh menit setelah Dara masuk ke dalam kamar tanpa sebab.Lalu kepalanya manggut-manggut setelah tahu kenapa Dara marah padanya secara tiba-tiba.“Jadi, karena kamu melihatku lagi chatingan … bikin kamu kesel dan marah padaku.”Daffa tersenyum-senyum sendiri. “Lucu sekali wanitaku jika sedang cemburu. Kamu terlalu takut aku memiliki gadis lain di luar sana, Dara.“Mempertahankan sikap tidak peduli karena masih ragu menerimaku. Padahal, aku benar-benar hanya menginginkanmu. Cukup satu wanita saja di dalam hidupku.”Kemudian pria itu masuk kembali ke dalam kamar Dara. Ia yakin, perempuan itu sudah selesai mandi dan mungkin tengah terbaring di tempat tidur.Cklek!“Aaaaaaaa!!” Dara kembali menutup tubuhnya dengan handuk. “MAS DAFFA!!” pekiknya kemudian.
Daffa tersenyum miring. “Cinta seorang pria bisa ditunjukkan saat menyentuh wanitanya. Apa yang kamu rasakan saat disentuh Daiva? Adakah cinta di dalamnya?”Dara menggeleng. “Perlakuannya kasar, menuntut dan sering membuat saya kesakitan.”Daffa mengangguk paham. “Karena Daiva tidak mencintaimu. Dia hanya menginginkanmu. Aku akan membuktikannya padamu setelah kita menikah nanti.“Untuk saat ini, kamu pasti akan menolak berhubungan denganku.”Kemudian pria itu bangun dari duduknya. Melangkahkan kakinya dengan sempoyongan. Meninggalkan Dara sendirian di atas sana.Hingga akhirnya Dara menyusul pria itu yang sudah masuk ke dalam kamarnya. Membuat Dara mengembuskan napasnya dengan pelan.“Selamat tidur, Mas Daffa. Semoga mimpi indah. Bukannya saya tidak mau Mas sentuh. Tapi, saya takut jika Mas memanggil orang yang pernah Mas Daffa sentuh sebelumnya.“Seperti Tuan Daiva. Selalu memanggil nama Cheryl saat menyentuh saya. Karena hanya Mbak Cheryl yang Tuan Daiva cintai.“Mungkin, Mas Daffa
"Julies? Pergi ke luar negeri. Setahun yang lalu. Saat itu, hubungan Daffa dan Julies memang agak renggang, setelah tragedi keguguran.""Apaa? Keguguran? Siapa, Mas? Julies?" tanya Dara dengan paniknya.Fahri mengangguk. "Hubungan Daffa sama Julies sudah berjalan dua tahun. Mereka berpisah tanpa ada kata-kata perpisahan. Julies pergi gitu aja ke luar negeri setelah mengalami keguguran."Saat itu, Daffa akan setia menunggunya. Akan menunggu Julies pulang. Ingin memperbaiki hubungannya yang udah renggang itu."Tapi, setiap kali Daffa menghubunginya, nomornya selalu nggak aktif. Lima bulan yang lalu. Daffa berhenti berharap. Daffa melupakan Julies. Dia udah nggak mau mengharapkan kehadiran orang yang nggak pernah mengharapkannya hadir."Penuturan panjang lebar Fahri membuat Dara merasa bersalah. Ternyata memang benar, Daffa sudah melupakan Julies, yang tak pernah ada kabar untuk Daffa."Saya jadi merasa bersalah karena sudah marah dan selalu cemburu sama Mas Daffa, Mas." Dara menyesali p