Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya.
"Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.
Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."
Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya.
"Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.
Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu.
"Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus jawab apa karena gugup. Sekali lagi, jangan menikahkan saya dengan Mas Daffa. Dia berhak menikah dengan orang yang dia cintai," rintih Dara dengan suara yang lemah.
Melawati menghela napas kasar. Batinnya, ia tak percaya akan ucapan Dara, tapi tidak ada bukti jika memang benar Dara yang sudah menggoda Daffa. Sementara, perempuan itu tampak sangat polos dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia telah menggoda anaknya.
"Biarkan saya pergi saja dari rumah ini, Bu. Saya tidak ingin jadi beban Mas Daffa dan yang lainnya," ucap Dara dengan suara pelan.
"Tidak bisa. Saya tetap akan menikahi kamu dengan Daffa. Walaupun kamu yang sudah menggodanya, tanggung jawab harus tetap ada. Sampai saat ini Daffa tidak memiliki kekasih. Saya khawatir dia menyimpang.
"Tapi, setelah mendengar jika dia sudah menyetubuhi kamu, kecurigaan saya jadi hilang. Walaupun kata kamu, kamu yang sudah menggodanya, saya malah berterima kasih sama kamu karena sudah membuang rasa curiga saya pada anak itu."
Ini yang dinamakan senjata makan tuan. Dara yang sudah berbohong agar bisa diusir dari rumah itu, malah membuat Melawati berterima kasih padanya. Dara semakin bingung. Apa yang harus dia lakukan agar bisa pergi dari rumah itu, membesarkan anaknya sendiri jika memang ia mengandung anak Daiva.
Selesai makan siang, Melawati dan Dara kembali ke rumah. Setelah menemani Melawati menyimpan semua perabotan, Dara pamit pergi ke kamarnya.
"Dara. Istirahat dulu. Wajahmu pucat. Sepertinya kamu kelelahan," kata Melawati dengan suara lembutnya.
Dara mengangguk sambil mengulas senyumnya. "Baik, Bu. Terima kasih untuk makan siangnya. Kalau begitu, saya permisi."
Dara bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk mengetes apakah benar ia sedang hamil atau hanya stress saja hingga darah kotor itu tidak pernah keluar selama dua bulan ini.
Melawati menatap kosong ke arah di mana Dara pergi. Rasanya, masih tidak percaya jika perempuan itu sudah menggoda Daffa. "Kenapa sulit sekali percaya jika memang Dara yang sudah menggoda anakku," gumam Melawati, bingung dengan situasi yang ada.
Sementara di dalam kamar Dara, perempuan itu terduduk lemas saat melihat dua garis biru terpampang di alat tes itu. Rasanya tak percaya jika dia benar-benar akan mengandung benih dari manusia iblis itu. Air matanya bercucuran, turun hingga tak bisa ia tahan lagi. Kemudian memeras perutnya, tak ingin anak itu hadir dalam perutnya.
"Aku harus bagaimana? A-aku harus bagaimana. Baik Bu Mela atau Mas Daffa tidak boleh tahu soal ini. Tidak mungkin juga aku bilang jika Daiva lah yang sudah membuatku hamil."
Dara kembali menundukkan kepalanya, lalu menghapus air mata di pipinya. "Aku harus mencari cara untuk bisa keluar dari rumah ini. Menikah dengan Daiva tidak akan mungkin. Menikah dengan Mas Daffa juga bukan inginku. Lebih baik aku pergi saja dari sini. Membesarkan anak ini sendiri tanpa ada ayah yang sudah menanam benihnya di sini."
Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali. Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully ha
Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga. "Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis." Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya. Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara. 'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.' Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa. Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali. "Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?" Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya
Plak!!Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya."Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini."Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada
Satu minggu berlalu.Dara yang kini memilih untuk pergi jauh dari keluarga Adicandra benar-benar pergi. Hilangnya Dara dengan membawa calon bayi keturunan Adicandra meninggalkan kekhawatiran dari pihak Melawati, Adicandra dan Daffa.Sedangkan Daiva. Sampai saat ini dia seperti pria asing di dalam keluarga itu. Ingin rasanya pernikahan itu segera terlaksana. Agar Daiva segera pergi dari rumah itu.Di rumah kontrakan.Tempat di mana Dara memilih menetap di sana dengan bermodalkan uang pemberian Daiva. Belum mendapatkan pekerjaan karena memang Dara belum mencari pekerjaan yang layak untuk ibu hamil.Kini, usia kandungannya sudah memasuki delapan minggu. Setelah kabur dari Daffa, Dara memeriksa kandungannya di sebuah klinik yang ada di sana."Mas Daffa mungkin sudah membaca suratku. Tentang perasaanku yang sampai saat ini masih saja mencintainya." Dara berucap sendiri.Di dalam kamar yang lumayan luas itu, Dara termenung sendiri. Rasa lega bisa keluar dari rumah itu, juga bisa tidur denga
Dafa menggeleng pelan. "Nasib manusia beda-beda, Ma. Lagi pula, sudah tidak suci atau masih suci bukan patokan kebahagiaan rumah tangga seseorang."Dara juga tidak mau nasibnya seperti itu. Tidak ada yang bisa menyalahkan dia. Bukan ingin dia jadi korban pelecehan. Nasib ketidakberuntungan Dara harusnya aku yang tolong."Gadis seperti Dara tidak pantas disakiti. Aku pura-pura cuek dan tidak pernah menunjukkan kalau aku mencintainya karena menghindari kesalahpahaman."Penuturan panjang lebar Daffa membuat hati Melawati yang mendengarnya terenyuh. Seorang Daffa, anak bungsunya yang jarang berbicara itu kini mengeluarkan semua perasaan yang dia pendam sendiri."Mencintai Dara bukan suatu kesalahan, Ma. Siapa pun yang bilang aku tidak pantas memiliki Dara, adalah orang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta dengan tulus," ucap Daffa kembali.Melawati mengangguk paham. "Iya, Nak. Mama paham. Kini, tugas kita hanya mencari keberadaan Dara. Anak itu terlalu polos jika tinggal sendirian. Ban
Sampai di depan gerobak nasi goreng. Fahri mempersilakan Dara duduk terlebih dahulu. Biarkan dia yang memesan nasi goreng untuk perempuan itu.“Dibungkus aja, yaa. Sudah malam. Udara dingin malam hari tidak baik untuk kesehatan ibu hamil,” kata Fahri.Saat itu Dara hanya mengangguk. Menatap punggung Fahri yang sedang memesan nasi goreng, dua porsi. Untuknya dan untuk Dara.‘Apakah ini yang dinamakan setelah badai, pasti akan ada pelangi hadir? Saat aku sedang terpuruk dan frustasi akan kehadiran bayi ini, aku menemukan pria yang baik. Yang mau menolongku dengan tulus.‘Belum tentu. Aku tidak boleh lengah dan percaya begitu saja pada orang yang baru aku kenal ini. Walaupun aku sudah kenal pada orang tuanya seminggu yang lalu. Mas Fahri memang terlihat baik. Tapi, aku tidak boleh terpancing oleh sikapnya.‘Bisa saja dia baik hanya karena sedang membutuhkan orang untuk bekerja di cafe-nya. Tidak lebih dari itu. Sama seperti Mas Daffa. Yang ingin menikahiku hanya karena tidak mau anak dar
“Oh. Saya ngontrak di kontrakan ayahnya, Mas. Terus, minta tolong carikan lowongan kerja untuk saya pada Pak Sugi,” jelas Dara.Ifan mengangguk paham. “Sudah lama, ngontrak di sana?”“Baru seminggu, Mas. Mas namanya siapa? Kita belum kenalan.”“Ifan. Adiknya Kak Fahri.”Dara sempat terkejut hingga membuka mulutnya. Lalu, kembali ditutup sambil mengulas senyumnya.“Kirain siapa. Tahunya adiknya Mas Fahri toh. Nggak kuliah kayak Mas Fahri, Mas?”Ifan menggeleng. “Aku lebih senang kerja daripada kuliah. Sudah lelah. Ingin kerja saja. Kak Fahri diajak temannya lanjut kuliah sampai S-3. Dia juga pemilik cafe ini.”Dara mengangguk. “Iya, Mas. Saya sudah tahu. Semalam Mas Fahri kasih tahu saya.”“Okay. Udah tahu … siapa pemilik cafe ini?”Dara menggeleng pelan. “Belum, Mas. Saya hanya tahu kalau dia temannya Mas Fahri.”“Iyaa. Pemilik cafe ini ….” Ifan menghela napasnya dengan panjang. “Ini cafe baru buka sekitar dua bulanan yang lalu. Dibangun karena dia ingin punya usaha sendiri setelah kel
Dara lantas berbalik badan setelah melihat Daffa berada di sana. Benar-benar pria itu yang sedang duduk berbincang dengan Fahri.Sekaligus pemilik cafe tempat ia bekerja kini. Dara memberikan nampan itu pada Riska yang kebetulan sedang lewat."Mbak. Saya kebelet. Tolong antarkan ini ke pemilik cafe itu, yaa." Dara menunjuk Daffa yang sedang termenung itu.Matanya mendadak sayu. Melihat Daffa yang tampak lesu dan tak ada semangat gairah dalam hidupnya.'Ada apa dengan Mas Daffa? Kenapa mukanya murung seperti itu? Apa dia lagi ada masalah?' ucapnya dalam hati.Kemudian Riska mengambil nampan yang masih dipegang Dara. "Katanya kebelet. Kok malah mantengin cogan itu?"Dara menoleh dengan pelan ke arah Riska. "Oh, iyaa. Maaf, Mbak."Dara pun segera masuk ke dapur, menghindari Daffa yang khawatir melihatnya. Lalu ia mengatur napasnya karena capek berlari dari luar hingga ke dalam.Kemudian masuk ke dalam toilet agar Riska tidak curiga padanya. Walaupun di sana hanya membasuh wajah saja.Di