Share

Bab 5: Lebih Baik Pergi saja dari Rumah

Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya.

"Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.

Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."

Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya.

"Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.

Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu.

"Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus jawab apa karena gugup. Sekali lagi, jangan menikahkan saya dengan Mas Daffa. Dia berhak menikah dengan orang yang dia cintai," rintih Dara dengan suara yang lemah.

Melawati menghela napas kasar. Batinnya, ia tak percaya akan ucapan Dara, tapi tidak ada bukti jika memang benar Dara yang sudah menggoda Daffa. Sementara, perempuan itu tampak sangat polos dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia telah menggoda anaknya.

"Biarkan saya pergi saja dari rumah ini, Bu. Saya tidak ingin jadi beban Mas Daffa dan yang lainnya," ucap Dara dengan suara pelan.

"Tidak bisa. Saya tetap akan menikahi kamu dengan Daffa. Walaupun kamu yang sudah menggodanya, tanggung jawab harus tetap ada. Sampai saat ini Daffa tidak memiliki kekasih. Saya khawatir dia menyimpang.

"Tapi, setelah mendengar jika dia sudah menyetubuhi kamu, kecurigaan saya jadi hilang. Walaupun kata kamu, kamu yang sudah menggodanya, saya malah berterima kasih sama kamu karena sudah membuang rasa curiga saya pada anak itu."

Ini yang dinamakan senjata makan tuan. Dara yang sudah berbohong agar bisa diusir dari rumah itu, malah membuat Melawati berterima kasih padanya. Dara semakin bingung. Apa yang harus dia lakukan agar bisa pergi dari rumah itu, membesarkan anaknya sendiri jika memang ia mengandung anak Daiva.

Selesai makan siang, Melawati dan Dara kembali ke rumah. Setelah menemani Melawati menyimpan semua perabotan, Dara pamit pergi ke kamarnya.

"Dara. Istirahat dulu. Wajahmu pucat. Sepertinya kamu kelelahan," kata Melawati dengan suara lembutnya.

Dara mengangguk sambil mengulas senyumnya. "Baik, Bu. Terima kasih untuk makan siangnya. Kalau begitu, saya permisi."

Dara bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk mengetes apakah benar ia sedang hamil atau hanya stress saja hingga darah kotor itu tidak pernah keluar selama dua bulan ini.

Melawati menatap kosong ke arah di mana Dara pergi. Rasanya, masih tidak percaya jika perempuan itu sudah menggoda Daffa. "Kenapa sulit sekali percaya jika memang Dara yang sudah menggoda anakku," gumam Melawati, bingung dengan situasi yang ada.

Sementara di dalam kamar Dara, perempuan itu terduduk lemas saat melihat dua garis biru terpampang di alat tes itu. Rasanya tak percaya jika dia benar-benar akan mengandung benih dari manusia iblis itu. Air matanya bercucuran, turun hingga tak bisa ia tahan lagi. Kemudian memeras perutnya, tak ingin anak itu hadir dalam perutnya.

"Aku harus bagaimana? A-aku harus bagaimana. Baik Bu Mela atau Mas Daffa tidak boleh tahu soal ini. Tidak mungkin juga aku bilang jika Daiva lah yang sudah membuatku hamil."

Dara kembali menundukkan kepalanya, lalu menghapus air mata di pipinya. "Aku harus mencari cara untuk bisa keluar dari rumah ini. Menikah dengan Daiva tidak akan mungkin. Menikah dengan Mas Daffa juga bukan inginku. Lebih baik aku pergi saja dari sini. Membesarkan anak ini sendiri tanpa ada ayah yang sudah menanam benihnya di sini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status