Share

Bab 4: Hamil?

Mendengar itu, Daiva lantas menoleh cepat ke arah mamanya. Sementara Daffa hanya tersenyum miring.

Lalu Daiva menoleh pada Daffa. 'Tampaknya Daffa tahu, aku yang sudah melakukan itu pada Dara. Hhhh. Kena kamu, Daffa!' ucapnya dalam hati.

"Bukankah tadi kamu keluar dari kamar Daffa?" tanya Daiva dengan santainya.

Semua orang yang ada di sana lantas menoleh pada Daiva. Daffa mengerutkan keningnya. Licik. Kata yang pantas untuk Daffa dan Dara ucapkan pada pria berhati iblis itu.

"Apa! Daffa! Apa yang kamu lakukan, huh? Jangan mentang-mentang Mama ingin kamu menikah dengan gadis ini, dengan seenaknya kamu melakukan itu pada Dara!" teriak Melawati.

Perempuan itu sedang naik pitam. Marah karena anak kesayangannya itu sudah melakukan hal yang tak terduga. Padahal, bukan dia pelakunya.

"Daiva! Kenapa lempar batu sembunyi tangan? Elo yang udah perkosa Dara. Bukan gue! Biadab!" pekik Daffa. Tak terima dengan ucapan Daiva yang sudah memfitnahnya.

Daiva melipat tangan di dada. "Ada bukti? Kalau gue yang udah perkosa dia? Bukannya tadi dia keluar dari kamar elo?"

Melawati teringat saat Dara lama tak keluar dari kamar Daffa. Apa karena Dara sedang mengenakan pakaiannya saat itu, pikirnya.

"Daffa! Mama nggak habis pikir. Kamu sudah melukai gadis polos ini. Tadi pagi. Dara lama keluar dari kamar kamu karena lelah, kan?"

Daffa memijat keningnya. Kenapa harus terjebak dalam situasi yang sangat serius ini.

**

Dua bulan kemudian.

Mual dan muntah kerap hadir pada Dara di setiap malam dan pagi hari. Namun, tak pernah ia periksa padahal sudah tahu jika dia sudah telat datang bulan selama dua bulan ini.

Belum bisa pergi keluar lantaran tidak tahu, menggunakan alasan apa agar dia bisa pergi membeli alat tes kehamilan.

Ia hanya bisa menahan semuanya. Pernikahan Daiva pun sudah di depan mata. Sudah disiapkan dengan matang. Karena bulan depan, pria keparat itu akan menikah dengan kekasihnya.

"Dara!" panggil Melawati menghampiri Dara yang sedang memotong wortel untuk membuat sup.

Dara menoleh lalu membersihkan tangannya. "Iya. Ada apa, Bu?" tanyanya dengan sopan.

"Antar saya belanja ke mall. Ada yang ingin saya beli untuk keperluan pernikahan Daiva."

Kesempatan untuk Dara membeli alat tes kehamilan. Ia pun mengangguk dengan antusias.

"Baik, Bu. Saya ganti pakaian dulu."

Melawati mengangguk. "Saya tunggu di dalam mobil, yaa."

"Baik, Bu."

Dara bergegas pergi menuju kamarnya untuk mengganti pakaian. Mengantar Melawati juga akan membeli alat tes kehamilan.

Tiba di dalam mall. Melawati dan Dara masuk ke dalam supermarket. Mencari kebutuhan perabot rumah tangga untuk souvernir seserahan nanti.

"Bu. Saya boleh permisi sebentar? Mau beli sabun cuci muka. Soalnya punya saya habis," ucap Dara mencari alasan yang cukup masuk akal.

"Iya, Dara. Kalau sudah selesai, kembali lagi ke sini, yaa. Soalnya saya ingin kamu memberi pendapat mana yang bagus untuk souvernir nanti."

"Baik, Bu. Nggak akan lama, kok."

Melawati hanya mengulas senyumnya. Kemudian membiarkan perempuan itu mencari keperluan pribadinya.

"Anak gadis itu benar-benar baik dan sopan. Tutur katanya lembut. Sayang, anakku malah menghancurkan gadis polos itu.

"Sebenarnya siapa yang sudah memperkosa Dara? Daiva atau Daffa. Kalau memang Daiva yang sudah memperkosanya, bagaimana nasibnya jika ia mengandung anaknya Daiva?

"Tapi ... sampai saat ini. Sudah dua bulan sejak dia kerja di rumahku, sepertinya dia tidak mengalami mual atau muntah. Mungkinkah dia tidak akan hamil?"

Terlintas banyak pertanyaan di dalam otak Melawati. Siapa yang sudah menggauli Dara. Kenapa perempuan itu belum juga hamil.

Padahal, Dara sudah mengalami morning sicknees sejak dua minggu ini. Hanya saja. Tidak ada yang tahu. Baik ART, maupun anggota keluarga Melawati.

Setelah selesai membayar alat tes kehamilan dan sabun cuci muka, Dara kembali pada Melawati dengan alat itu ia masukkan ke dalam tas kecilnya.

"Sudah selesai, Dara?" tanya Melawati setelah melihat perempuan itu kembali padanya.

"Sudah, Bu. Hanya beli sabun cuci muka saja." Kemudian Dara memasukkan sabun tersebut ke dalam tasnya.

"Memangnya sudah kamu bayar, sabunnya?"

"Sudah, Bu."

"Walaaah. Padahal, biar saya saja yang membayarkan. Ya sudahlah. Sudah terlanjur juga."

Dara hanya meringis pelan sambil menggaruk rambutnya dengan pelan.

Selesai belanja keperluan perabot rumah tangga, Melawati mengajak Dara untuk makan siang terlebih dahulu di resto yang ada di mall.

Sebagai assisten rumah tangga, Dara hanya menuruti perintah sang majikan. Alih-alih memuaskan perutnya dengan makanan enak, karena perutnya memang sudah keroncongan.

"Mau pesan apa, Dara? Saya mau steak saja."

"Eeuumm ... saya mau spaghetti saja."

"Baiklah."

Melawati memanggil waiters. Memberikan menu pesanan yang ia pesan.

"Dara?" panggil Melawati. Tampaknya, perempuan itu akan berbicara serius padanya.

"Ada apa, Bu?" tanya Dara dengan gugup.

Melawati menghela napas kasar. "Baiknya ... kamu jujur saja pada saya. Tentang siapa sebenarnya yang sudah memperkosa kamu.

"Saya tidak akan memarahi ataupun mengatakan pada Daiva atau Daffa bahwa saya sudah mengetahuinya. Bicaralah. Katakan dengan jujur."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status