Mendengar itu, Daiva lantas menoleh cepat ke arah mamanya. Sementara Daffa hanya tersenyum miring.
Lalu Daiva menoleh pada Daffa. 'Tampaknya Daffa tahu, aku yang sudah melakukan itu pada Dara. Hhhh. Kena kamu, Daffa!' ucapnya dalam hati. "Bukankah tadi kamu keluar dari kamar Daffa?" tanya Daiva dengan santainya. Semua orang yang ada di sana lantas menoleh pada Daiva. Daffa mengerutkan keningnya. Licik. Kata yang pantas untuk Daffa dan Dara ucapkan pada pria berhati iblis itu. "Apa! Daffa! Apa yang kamu lakukan, huh? Jangan mentang-mentang Mama ingin kamu menikah dengan gadis ini, dengan seenaknya kamu melakukan itu pada Dara!" teriak Melawati. Perempuan itu sedang naik pitam. Marah karena anak kesayangannya itu sudah melakukan hal yang tak terduga. Padahal, bukan dia pelakunya. "Daiva! Kenapa lempar batu sembunyi tangan? Elo yang udah perkosa Dara. Bukan gue! Biadab!" pekik Daffa. Tak terima dengan ucapan Daiva yang sudah memfitnahnya. Daiva melipat tangan di dada. "Ada bukti? Kalau gue yang udah perkosa dia? Bukannya tadi dia keluar dari kamar elo?" Melawati teringat saat Dara lama tak keluar dari kamar Daffa. Apa karena Dara sedang mengenakan pakaiannya saat itu, pikirnya. "Daffa! Mama nggak habis pikir. Kamu sudah melukai gadis polos ini. Tadi pagi. Dara lama keluar dari kamar kamu karena lelah, kan?" Daffa memijat keningnya. Kenapa harus terjebak dalam situasi yang sangat serius ini. **Dua bulan kemudian.
Mual dan muntah kerap hadir pada Dara di setiap malam dan pagi hari. Namun, tak pernah ia periksa padahal sudah tahu jika dia sudah telat datang bulan selama dua bulan ini.
Belum bisa pergi keluar lantaran tidak tahu, menggunakan alasan apa agar dia bisa pergi membeli alat tes kehamilan.
Ia hanya bisa menahan semuanya. Pernikahan Daiva pun sudah di depan mata. Sudah disiapkan dengan matang. Karena bulan depan, pria keparat itu akan menikah dengan kekasihnya.
"Dara!" panggil Melawati menghampiri Dara yang sedang memotong wortel untuk membuat sup.
Dara menoleh lalu membersihkan tangannya. "Iya. Ada apa, Bu?" tanyanya dengan sopan.
"Antar saya belanja ke mall. Ada yang ingin saya beli untuk keperluan pernikahan Daiva."
Kesempatan untuk Dara membeli alat tes kehamilan. Ia pun mengangguk dengan antusias.
"Baik, Bu. Saya ganti pakaian dulu."
Melawati mengangguk. "Saya tunggu di dalam mobil, yaa."
"Baik, Bu."
Dara bergegas pergi menuju kamarnya untuk mengganti pakaian. Mengantar Melawati juga akan membeli alat tes kehamilan.
Tiba di dalam mall. Melawati dan Dara masuk ke dalam supermarket. Mencari kebutuhan perabot rumah tangga untuk souvernir seserahan nanti.
"Bu. Saya boleh permisi sebentar? Mau beli sabun cuci muka. Soalnya punya saya habis," ucap Dara mencari alasan yang cukup masuk akal.
"Iya, Dara. Kalau sudah selesai, kembali lagi ke sini, yaa. Soalnya saya ingin kamu memberi pendapat mana yang bagus untuk souvernir nanti."
"Baik, Bu. Nggak akan lama, kok."
Melawati hanya mengulas senyumnya. Kemudian membiarkan perempuan itu mencari keperluan pribadinya.
"Anak gadis itu benar-benar baik dan sopan. Tutur katanya lembut. Sayang, anakku malah menghancurkan gadis polos itu.
"Sebenarnya siapa yang sudah memperkosa Dara? Daiva atau Daffa. Kalau memang Daiva yang sudah memperkosanya, bagaimana nasibnya jika ia mengandung anaknya Daiva?
"Tapi ... sampai saat ini. Sudah dua bulan sejak dia kerja di rumahku, sepertinya dia tidak mengalami mual atau muntah. Mungkinkah dia tidak akan hamil?"
Terlintas banyak pertanyaan di dalam otak Melawati. Siapa yang sudah menggauli Dara. Kenapa perempuan itu belum juga hamil.
Padahal, Dara sudah mengalami morning sicknees sejak dua minggu ini. Hanya saja. Tidak ada yang tahu. Baik ART, maupun anggota keluarga Melawati.
Setelah selesai membayar alat tes kehamilan dan sabun cuci muka, Dara kembali pada Melawati dengan alat itu ia masukkan ke dalam tas kecilnya.
"Sudah selesai, Dara?" tanya Melawati setelah melihat perempuan itu kembali padanya.
"Sudah, Bu. Hanya beli sabun cuci muka saja." Kemudian Dara memasukkan sabun tersebut ke dalam tasnya.
"Memangnya sudah kamu bayar, sabunnya?"
"Sudah, Bu."
"Walaaah. Padahal, biar saya saja yang membayarkan. Ya sudahlah. Sudah terlanjur juga."
Dara hanya meringis pelan sambil menggaruk rambutnya dengan pelan.
Selesai belanja keperluan perabot rumah tangga, Melawati mengajak Dara untuk makan siang terlebih dahulu di resto yang ada di mall.
Sebagai assisten rumah tangga, Dara hanya menuruti perintah sang majikan. Alih-alih memuaskan perutnya dengan makanan enak, karena perutnya memang sudah keroncongan.
"Mau pesan apa, Dara? Saya mau steak saja."
"Eeuumm ... saya mau spaghetti saja."
"Baiklah."
Melawati memanggil waiters. Memberikan menu pesanan yang ia pesan.
"Dara?" panggil Melawati. Tampaknya, perempuan itu akan berbicara serius padanya.
"Ada apa, Bu?" tanya Dara dengan gugup.
Melawati menghela napas kasar. "Baiknya ... kamu jujur saja pada saya. Tentang siapa sebenarnya yang sudah memperkosa kamu.
"Saya tidak akan memarahi ataupun mengatakan pada Daiva atau Daffa bahwa saya sudah mengetahuinya. Bicaralah. Katakan dengan jujur."
Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya."Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya."Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu."Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus j
Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali. Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully ha
Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga. "Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis." Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya. Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara. 'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.' Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa. Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali. "Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?" Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya
Plak!!Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya."Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini."Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada
Satu minggu berlalu.Dara yang kini memilih untuk pergi jauh dari keluarga Adicandra benar-benar pergi. Hilangnya Dara dengan membawa calon bayi keturunan Adicandra meninggalkan kekhawatiran dari pihak Melawati, Adicandra dan Daffa.Sedangkan Daiva. Sampai saat ini dia seperti pria asing di dalam keluarga itu. Ingin rasanya pernikahan itu segera terlaksana. Agar Daiva segera pergi dari rumah itu.Di rumah kontrakan.Tempat di mana Dara memilih menetap di sana dengan bermodalkan uang pemberian Daiva. Belum mendapatkan pekerjaan karena memang Dara belum mencari pekerjaan yang layak untuk ibu hamil.Kini, usia kandungannya sudah memasuki delapan minggu. Setelah kabur dari Daffa, Dara memeriksa kandungannya di sebuah klinik yang ada di sana."Mas Daffa mungkin sudah membaca suratku. Tentang perasaanku yang sampai saat ini masih saja mencintainya." Dara berucap sendiri.Di dalam kamar yang lumayan luas itu, Dara termenung sendiri. Rasa lega bisa keluar dari rumah itu, juga bisa tidur denga
Dafa menggeleng pelan. "Nasib manusia beda-beda, Ma. Lagi pula, sudah tidak suci atau masih suci bukan patokan kebahagiaan rumah tangga seseorang."Dara juga tidak mau nasibnya seperti itu. Tidak ada yang bisa menyalahkan dia. Bukan ingin dia jadi korban pelecehan. Nasib ketidakberuntungan Dara harusnya aku yang tolong."Gadis seperti Dara tidak pantas disakiti. Aku pura-pura cuek dan tidak pernah menunjukkan kalau aku mencintainya karena menghindari kesalahpahaman."Penuturan panjang lebar Daffa membuat hati Melawati yang mendengarnya terenyuh. Seorang Daffa, anak bungsunya yang jarang berbicara itu kini mengeluarkan semua perasaan yang dia pendam sendiri."Mencintai Dara bukan suatu kesalahan, Ma. Siapa pun yang bilang aku tidak pantas memiliki Dara, adalah orang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta dengan tulus," ucap Daffa kembali.Melawati mengangguk paham. "Iya, Nak. Mama paham. Kini, tugas kita hanya mencari keberadaan Dara. Anak itu terlalu polos jika tinggal sendirian. Ban
Sampai di depan gerobak nasi goreng. Fahri mempersilakan Dara duduk terlebih dahulu. Biarkan dia yang memesan nasi goreng untuk perempuan itu.“Dibungkus aja, yaa. Sudah malam. Udara dingin malam hari tidak baik untuk kesehatan ibu hamil,” kata Fahri.Saat itu Dara hanya mengangguk. Menatap punggung Fahri yang sedang memesan nasi goreng, dua porsi. Untuknya dan untuk Dara.‘Apakah ini yang dinamakan setelah badai, pasti akan ada pelangi hadir? Saat aku sedang terpuruk dan frustasi akan kehadiran bayi ini, aku menemukan pria yang baik. Yang mau menolongku dengan tulus.‘Belum tentu. Aku tidak boleh lengah dan percaya begitu saja pada orang yang baru aku kenal ini. Walaupun aku sudah kenal pada orang tuanya seminggu yang lalu. Mas Fahri memang terlihat baik. Tapi, aku tidak boleh terpancing oleh sikapnya.‘Bisa saja dia baik hanya karena sedang membutuhkan orang untuk bekerja di cafe-nya. Tidak lebih dari itu. Sama seperti Mas Daffa. Yang ingin menikahiku hanya karena tidak mau anak dar
“Oh. Saya ngontrak di kontrakan ayahnya, Mas. Terus, minta tolong carikan lowongan kerja untuk saya pada Pak Sugi,” jelas Dara.Ifan mengangguk paham. “Sudah lama, ngontrak di sana?”“Baru seminggu, Mas. Mas namanya siapa? Kita belum kenalan.”“Ifan. Adiknya Kak Fahri.”Dara sempat terkejut hingga membuka mulutnya. Lalu, kembali ditutup sambil mengulas senyumnya.“Kirain siapa. Tahunya adiknya Mas Fahri toh. Nggak kuliah kayak Mas Fahri, Mas?”Ifan menggeleng. “Aku lebih senang kerja daripada kuliah. Sudah lelah. Ingin kerja saja. Kak Fahri diajak temannya lanjut kuliah sampai S-3. Dia juga pemilik cafe ini.”Dara mengangguk. “Iya, Mas. Saya sudah tahu. Semalam Mas Fahri kasih tahu saya.”“Okay. Udah tahu … siapa pemilik cafe ini?”Dara menggeleng pelan. “Belum, Mas. Saya hanya tahu kalau dia temannya Mas Fahri.”“Iyaa. Pemilik cafe ini ….” Ifan menghela napasnya dengan panjang. “Ini cafe baru buka sekitar dua bulanan yang lalu. Dibangun karena dia ingin punya usaha sendiri setelah kel