Share

Bab 3: Siapa yang Memperkosamu?

Melawati menoleh pada anak bungsunya itu. "Oh. Lagi beresin kamar kamu. Memang sangat rajin Dara itu. Sudah cantik, polos, rajin, dan penurut. Mau nggak, Daffa?"

Melawati tiba-tiba menawarkan Dara padanya. Apa maksudnya? Sedangkan Daffa memang akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Daiva pada Dara.

"Tapi, Ma. Bagaimana bisa Mama menawarkan Dara padaku?" tanya Daffa dengan pelan.

Melawati mengembuskan napasnya dengan panjang. "Daiva sebentar lagi akan menikah. Kamu ... sebentar lagi lulus S-3. Mama ingin anak-anak Mama menikah, Daffa."

"Hanya itu?"

Melawati menoleh kembali pada Daffa. "Lalu ... maunya apa lagi, Daffa? Suka nggak, sama Dara? Mama nggak peduli dengan latar belakangnya, Daf. Mama tahu, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, sepertinya anak itu cocok untuk kamu."

Daffa mengerutkan keningnya. Melawati menjodohkannya dengan Dara. Lalu, bagaimana jika Dara hamil anak Daiva?

"Ma ... Dara."

"Yaa. Dara kenapa, Daf? Bukan selera kamu? Lalu, kamu mau cari yang seperti apa, Daffa?"

Daffa menggeleng. "Kapan Daiva dan Cheryl akan menikah?"

"Tiga bulan lagi. Tahun depan kamu, yaa?"

Daffa menggeleng. Tak yakin, apakah ia akan menikah di tahun depan, atau ... saat nanti Dara mengandung anak Daiva.

Daffa mengurungkan niatnya untuk bicara tentang Daiva yang sudah memperkosa Dara. Dia ingin bicara. Tapi, khawatir Melawati melarangnya menikah dengan Dara.

Ternyata, Melawati malah akan menjodohkannya. Walaupun kegadisannya sudah direnggut Daiva. Tidak masalah baginya. Anggap saja perempuan itu seorang janda, pikirnya.

"Kok Dara nggak keluar-keluar, yaa?" tanya Melawati sambil menatap pintu kamar Daffa. "Mama mau ajak dia belanja padahal."

Daffa pun beranjak dari duduknya. Kembali ke kamar untuk membawa Dara keluar.

Klek!

Dara menoleh dengan cepat ke arah pintu. Lalu menghela napas lega, saat melihat Daffa masuk ke dalam.

"Mandi dulu," ucap Daffa ketika dirinya duduk di samping Dara.

Dara mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi, Tuan."

"Dara!"

Dara menoleh ke belakang. "Ada apa, Tuan?"

"Jangan panggil aku Tuan. Aku nggak suka."

"Lalu, saya harus panggil apa?"

"Apa saja. Aku memang lebih tua darimu. Tapi, jangan panggil aku Tuan."

"Baiklah. Saya panggil Mas Daffa saja. Kalau Tu ... Mas Daffa tidak keberatan."

Daffa mengulas senyum. "Okay. Tubuhmu masih terasa sakit?"

Dara mengangguk dengan pelan. Rasa malu dan hina selalu saja ia rasakan.

Daffa mengambil obat pereda nyeri dan minyak oles. "Setelah mandi, olesi ke seluruh tubuhmu. Setelah sarapan, diminum obatnya."

Dara mengambil obat dan minyak oles itu dari tangan Daffa. "Terima kasih, Mas Daffa." Lalu setelahnya, perempuan itu bergegas keluar dari kamar Daffa.

Satu jam kemudian. Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Dara masuk kembali ke dalam kamar Daffa karena diminta untuk mengambil pakaian kotor milik Daffa oleh Biah.

"Ada apa, Dar?" tanya Daffa saat dirinya tengah mengemas buku-buku mata kuliahnya.

"Maaf, Mas. Saya mau mengambil pakaian kotor Mas Daffa," kata Dara sedikit menunduk.

"Mau nyuci? Pake mesin cuci kan, nyucinya?"

"Pakai tangan lebih bersih, Mas. Kenapa memangnya?"

"Tubuh kamu ... memangnya sudah tidak terasa sakit lagi?" tanya Daffa memastikan.

Dara memegangi lengannya. "Masih sih. Tapi, semoga segera hilang. Sudah dibalur oleh minyak yang tadi Mas Daffa kasih."

Daffa hanya menganggukkan kepalanya. Tak bisa memaksa kehendak Dara jika ingin tetap mengerjakan tugasnya sebagai assisten rumah tangga di rumahnya.

Mereka keluar berbarengan. Dengan Dara membawa pakaian kotor milik Daffa yang sudah ia masukkan ke dalam keranjang.

"Mas Daffa. Kuliah capek nggak?" tanya Dara di sela-sela menuruni anak tangga.

"Capek. Kadang suka ngeluh pengen udahan aja. Tapi, ada serunya juga."

Dara mengangguk paham. Tiba di bawah, suara pintu dibuka dari atas. Pintu kamar Daiva.

Pria itu baru keluar dari kandangnya.

Dara bergegas pergi ke dapur, menghindari Daiva yang bisa saja pria itu mencengkeramnya.

"Dara! Tolong buatkan kopi, Nak. Anak-anak Ibu mau kopi katanya," teriak Melawati yang sedang duduk di ruang tengah.

"Kenapa harus aku. Kenapa nggak yang lain aja? Bagaimana kalau pria itu menyerangku lagi?" gumam Dara sambil mengaduk kopi untuk ketiga orang itu.

Dara menarik napasnya dengan panjang. Lalu, memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.

Saat kopi ia taruh di atas meja, Melawati tak sengaja melihat tanda merah di leher Dara.

"Dara! Apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa banyak sekali tanda merah di lehermu!" ucap Melawati dengan nada menekan.

Matanya melotot. Mendadak jantungnya berdebar dengan kencang. Lalu melirik Daiva yang tampak biasa saja mendengar mamanya bertanya pada Dara.

"Ma-maaf, Bu. Tap-tapi ... saya diperkosa, Bu. Bu-bukan mau saya." Dara berkata sejujurnya. Bahkan matanya sudah mulai berembun lagi.

Melawati mendengus kesal. Bagaimana bisa gadis polosnya itu diperkosa.

"Siapa yang sudah melakukan ini, Dara? Bilang! Akan kubunuh siapa pun yang sudah menghancurkanmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status