Melawati menoleh pada anak bungsunya itu. "Oh. Lagi beresin kamar kamu. Memang sangat rajin Dara itu. Sudah cantik, polos, rajin, dan penurut. Mau nggak, Daffa?"
Melawati tiba-tiba menawarkan Dara padanya. Apa maksudnya? Sedangkan Daffa memang akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Daiva pada Dara.
"Tapi, Ma. Bagaimana bisa Mama menawarkan Dara padaku?" tanya Daffa dengan pelan.
Melawati mengembuskan napasnya dengan panjang. "Daiva sebentar lagi akan menikah. Kamu ... sebentar lagi lulus S-3. Mama ingin anak-anak Mama menikah, Daffa."
"Hanya itu?"
Melawati menoleh kembali pada Daffa. "Lalu ... maunya apa lagi, Daffa? Suka nggak, sama Dara? Mama nggak peduli dengan latar belakangnya, Daf. Mama tahu, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, sepertinya anak itu cocok untuk kamu."
Daffa mengerutkan keningnya. Melawati menjodohkannya dengan Dara. Lalu, bagaimana jika Dara hamil anak Daiva?
"Ma ... Dara."
"Yaa. Dara kenapa, Daf? Bukan selera kamu? Lalu, kamu mau cari yang seperti apa, Daffa?"
Daffa menggeleng. "Kapan Daiva dan Cheryl akan menikah?"
"Tiga bulan lagi. Tahun depan kamu, yaa?"
Daffa menggeleng. Tak yakin, apakah ia akan menikah di tahun depan, atau ... saat nanti Dara mengandung anak Daiva.
Daffa mengurungkan niatnya untuk bicara tentang Daiva yang sudah memperkosa Dara. Dia ingin bicara. Tapi, khawatir Melawati melarangnya menikah dengan Dara.
Ternyata, Melawati malah akan menjodohkannya. Walaupun kegadisannya sudah direnggut Daiva. Tidak masalah baginya. Anggap saja perempuan itu seorang janda, pikirnya.
"Kok Dara nggak keluar-keluar, yaa?" tanya Melawati sambil menatap pintu kamar Daffa. "Mama mau ajak dia belanja padahal."
Daffa pun beranjak dari duduknya. Kembali ke kamar untuk membawa Dara keluar.
Klek!
Dara menoleh dengan cepat ke arah pintu. Lalu menghela napas lega, saat melihat Daffa masuk ke dalam.
"Mandi dulu," ucap Daffa ketika dirinya duduk di samping Dara.
Dara mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi, Tuan."
"Dara!"
Dara menoleh ke belakang. "Ada apa, Tuan?"
"Jangan panggil aku Tuan. Aku nggak suka."
"Lalu, saya harus panggil apa?"
"Apa saja. Aku memang lebih tua darimu. Tapi, jangan panggil aku Tuan."
"Baiklah. Saya panggil Mas Daffa saja. Kalau Tu ... Mas Daffa tidak keberatan."
Daffa mengulas senyum. "Okay. Tubuhmu masih terasa sakit?"
Dara mengangguk dengan pelan. Rasa malu dan hina selalu saja ia rasakan.
Daffa mengambil obat pereda nyeri dan minyak oles. "Setelah mandi, olesi ke seluruh tubuhmu. Setelah sarapan, diminum obatnya."
Dara mengambil obat dan minyak oles itu dari tangan Daffa. "Terima kasih, Mas Daffa." Lalu setelahnya, perempuan itu bergegas keluar dari kamar Daffa.
Satu jam kemudian. Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Dara masuk kembali ke dalam kamar Daffa karena diminta untuk mengambil pakaian kotor milik Daffa oleh Biah.
"Ada apa, Dar?" tanya Daffa saat dirinya tengah mengemas buku-buku mata kuliahnya.
"Maaf, Mas. Saya mau mengambil pakaian kotor Mas Daffa," kata Dara sedikit menunduk.
"Mau nyuci? Pake mesin cuci kan, nyucinya?"
"Pakai tangan lebih bersih, Mas. Kenapa memangnya?"
"Tubuh kamu ... memangnya sudah tidak terasa sakit lagi?" tanya Daffa memastikan.
Dara memegangi lengannya. "Masih sih. Tapi, semoga segera hilang. Sudah dibalur oleh minyak yang tadi Mas Daffa kasih."
Daffa hanya menganggukkan kepalanya. Tak bisa memaksa kehendak Dara jika ingin tetap mengerjakan tugasnya sebagai assisten rumah tangga di rumahnya.
Mereka keluar berbarengan. Dengan Dara membawa pakaian kotor milik Daffa yang sudah ia masukkan ke dalam keranjang.
"Mas Daffa. Kuliah capek nggak?" tanya Dara di sela-sela menuruni anak tangga.
"Capek. Kadang suka ngeluh pengen udahan aja. Tapi, ada serunya juga."
Dara mengangguk paham. Tiba di bawah, suara pintu dibuka dari atas. Pintu kamar Daiva.
Pria itu baru keluar dari kandangnya.
Dara bergegas pergi ke dapur, menghindari Daiva yang bisa saja pria itu mencengkeramnya.
"Dara! Tolong buatkan kopi, Nak. Anak-anak Ibu mau kopi katanya," teriak Melawati yang sedang duduk di ruang tengah.
"Kenapa harus aku. Kenapa nggak yang lain aja? Bagaimana kalau pria itu menyerangku lagi?" gumam Dara sambil mengaduk kopi untuk ketiga orang itu.
Dara menarik napasnya dengan panjang. Lalu, memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.
Saat kopi ia taruh di atas meja, Melawati tak sengaja melihat tanda merah di leher Dara.
"Dara! Apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa banyak sekali tanda merah di lehermu!" ucap Melawati dengan nada menekan.
Matanya melotot. Mendadak jantungnya berdebar dengan kencang. Lalu melirik Daiva yang tampak biasa saja mendengar mamanya bertanya pada Dara.
"Ma-maaf, Bu. Tap-tapi ... saya diperkosa, Bu. Bu-bukan mau saya." Dara berkata sejujurnya. Bahkan matanya sudah mulai berembun lagi.
Melawati mendengus kesal. Bagaimana bisa gadis polosnya itu diperkosa.
"Siapa yang sudah melakukan ini, Dara? Bilang! Akan kubunuh siapa pun yang sudah menghancurkanmu."
Mendengar itu, Daiva lantas menoleh cepat ke arah mamanya. Sementara Daffa hanya tersenyum miring. Lalu Daiva menoleh pada Daffa. 'Tampaknya Daffa tahu, aku yang sudah melakukan itu pada Dara. Hhhh. Kena kamu, Daffa!' ucapnya dalam hati. "Bukankah tadi kamu keluar dari kamar Daffa?" tanya Daiva dengan santainya. Semua orang yang ada di sana lantas menoleh pada Daiva. Daffa mengerutkan keningnya. Licik. Kata yang pantas untuk Daffa dan Dara ucapkan pada pria berhati iblis itu. "Apa! Daffa! Apa yang kamu lakukan, huh? Jangan mentang-mentang Mama ingin kamu menikah dengan gadis ini, dengan seenaknya kamu melakukan itu pada Dara!" teriak Melawati. Perempuan itu sedang naik pitam. Marah karena anak kesayangannya itu sudah melakukan hal yang tak terduga. Padahal, bukan dia pelakunya. "Daiva! Kenapa lempar batu sembunyi tangan? Elo yang udah perkosa Dara. Bukan gue! Biadab!" pekik Daffa. Tak terima dengan ucapan Daiva yang sudah memfitnahnya. Daiva melipat tangan di dada. "Ada bukti?
Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya."Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya."Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu."Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus j
Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali. Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully ha
Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga. "Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis." Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya. Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara. 'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.' Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa. Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali. "Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?" Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya
Plak!!Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya."Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini."Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada
Satu minggu berlalu.Dara yang kini memilih untuk pergi jauh dari keluarga Adicandra benar-benar pergi. Hilangnya Dara dengan membawa calon bayi keturunan Adicandra meninggalkan kekhawatiran dari pihak Melawati, Adicandra dan Daffa.Sedangkan Daiva. Sampai saat ini dia seperti pria asing di dalam keluarga itu. Ingin rasanya pernikahan itu segera terlaksana. Agar Daiva segera pergi dari rumah itu.Di rumah kontrakan.Tempat di mana Dara memilih menetap di sana dengan bermodalkan uang pemberian Daiva. Belum mendapatkan pekerjaan karena memang Dara belum mencari pekerjaan yang layak untuk ibu hamil.Kini, usia kandungannya sudah memasuki delapan minggu. Setelah kabur dari Daffa, Dara memeriksa kandungannya di sebuah klinik yang ada di sana."Mas Daffa mungkin sudah membaca suratku. Tentang perasaanku yang sampai saat ini masih saja mencintainya." Dara berucap sendiri.Di dalam kamar yang lumayan luas itu, Dara termenung sendiri. Rasa lega bisa keluar dari rumah itu, juga bisa tidur denga
Dafa menggeleng pelan. "Nasib manusia beda-beda, Ma. Lagi pula, sudah tidak suci atau masih suci bukan patokan kebahagiaan rumah tangga seseorang."Dara juga tidak mau nasibnya seperti itu. Tidak ada yang bisa menyalahkan dia. Bukan ingin dia jadi korban pelecehan. Nasib ketidakberuntungan Dara harusnya aku yang tolong."Gadis seperti Dara tidak pantas disakiti. Aku pura-pura cuek dan tidak pernah menunjukkan kalau aku mencintainya karena menghindari kesalahpahaman."Penuturan panjang lebar Daffa membuat hati Melawati yang mendengarnya terenyuh. Seorang Daffa, anak bungsunya yang jarang berbicara itu kini mengeluarkan semua perasaan yang dia pendam sendiri."Mencintai Dara bukan suatu kesalahan, Ma. Siapa pun yang bilang aku tidak pantas memiliki Dara, adalah orang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta dengan tulus," ucap Daffa kembali.Melawati mengangguk paham. "Iya, Nak. Mama paham. Kini, tugas kita hanya mencari keberadaan Dara. Anak itu terlalu polos jika tinggal sendirian. Ban
Sampai di depan gerobak nasi goreng. Fahri mempersilakan Dara duduk terlebih dahulu. Biarkan dia yang memesan nasi goreng untuk perempuan itu.“Dibungkus aja, yaa. Sudah malam. Udara dingin malam hari tidak baik untuk kesehatan ibu hamil,” kata Fahri.Saat itu Dara hanya mengangguk. Menatap punggung Fahri yang sedang memesan nasi goreng, dua porsi. Untuknya dan untuk Dara.‘Apakah ini yang dinamakan setelah badai, pasti akan ada pelangi hadir? Saat aku sedang terpuruk dan frustasi akan kehadiran bayi ini, aku menemukan pria yang baik. Yang mau menolongku dengan tulus.‘Belum tentu. Aku tidak boleh lengah dan percaya begitu saja pada orang yang baru aku kenal ini. Walaupun aku sudah kenal pada orang tuanya seminggu yang lalu. Mas Fahri memang terlihat baik. Tapi, aku tidak boleh terpancing oleh sikapnya.‘Bisa saja dia baik hanya karena sedang membutuhkan orang untuk bekerja di cafe-nya. Tidak lebih dari itu. Sama seperti Mas Daffa. Yang ingin menikahiku hanya karena tidak mau anak dar