Share

Bab 2: Ada di Kamar Daffa

Pagi hari telah tiba. Mata Dara membuka dengan pelan, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tubuhnya masih lemas, namun ia tahu bahwa ia harus segera keluar dari rumah itu.

"Sial! Kenapa aku ada di kamar neraka ini lagi?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri.

Daffa terbangun, terbangkit dari tidur di sofa. Tangisan Dara yang mulai pecah kembali telah mengusik tidurnya. Segera pria itu menghampiri Dara, menjaga jarak agar tidak membuat Dara salah paham.

"Hei! Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian.

Dara mengangkat wajahnya dengan cepat, matanya terbelalak ketakutan. Dengan sigap, ia menutup tubuhnya dengan kedua tangannya, trauma yang mendalam pada seorang pria sudah pasti ia rasakan.

"Siapa kamu? Jangan sentuh saya!" ucapnya penuh ketakutan, tubuhnya gemetar.

"Jangan takut. Aku bukan Daiva. Aku Daffa. Apa yang sudah kakakku lakukan padamu? Dan... kamu siapa?" tanya Daffa dengan suara selembut mungkin, berusaha menenangkan Dara.

Tangisan Dara seketika berhenti. Tatapan matanya bertemu dengan mata indah Daffa, berbeda jauh dengan sorot mata Daiva yang penuh kebencian dan nafsu. Mata dan bibir Daiva bak tercipta dari iblis, sangat menyeramkan. Apakah mereka bukan saudara kandung? Pikiran Dara melayang tak tentu arah.

"Hei! Kamu bisa mendengar aku, kan?" tanya Daffa, suaranya sedikit cemas.

Saat tangannya ingin menyentuh pundak Dara, perempuan itu spontan menepis dengan cepat.

"Jangan sentuh saya!" ucapnya, kembali menutup dadanya dengan kedua tangan.

"Jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu. Katakan... namamu siapa?" tanya Daffa, mengulang pertanyaannya dengan suara lembutnya yang tulus.

Perlahan, Dara mulai menatap sorot mata Daffa yang tampak tulus dan penuh pengertian. Tak ada niatan jahat yang terpancar dari matanya.

"Dara," ucapnya pelan, memberi tahu namanya.

"Kenapa ada di rumah ini? Kamu... bukan wanita bayaran Daiva, kan?" Daffa bertanya dengan sangat hati-hati, takut menyakiti perasaan Dara.

Dara menggeleng dengan kencang, air mata kembali mengalir di pipinya. "Bukan. Bukan, Tuan. Saya bukan wanita bayaran. Saya perempuan baik-baik. Tapi... tap-tapi, pria itu sudah menghancurkan saya."

Isakan tangis Dara kembali terdengar. Daffa yang tak habis pikir dengan sifat gila kakaknya itu hanya bisa menghela napas, merasa tak berdaya.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Daffa lagi. "Di mana rumahmu? Aku antar pulang."

Dara menggeleng pelan, rasa putus asa menyelimuti wajahnya. "Ke mana saya harus pulang, Tuan? Sedangkan harga diri saya sudah kotor. Sudah tidak ada nilainya lagi. Pria gila itu sudah menghancurkan saya. Saya malu pada diri saya sendiri," rintih Dara, menundukkan wajahnya, air mata mengalir deras.

Daffa ragu ingin membelai rambut perempuan itu, namun ia tahu Dara sedang butuh penenang. 

Dan, Daffa tidak tahu harus apa jika perempuan itu tak ingin disentuh di area manapun. Dia hanya bisa duduk di dekatnya, berusaha memberikan dukungan dengan kehadirannya.

Tok tok tok!!

Pintu kamar Daffa diketuk. Pria itu lantas menoleh ke belakang, sementara Dara melotot ketakutan. Tubuhnya melekuk karena takut Daiva yang masuk.

"Jangan takut. Daiva tidak akan masuk ke kamarku," kata Daffa menenangkan Dara.

"Permisi, Tuan. Ibu Mela memanggil Tuan Daffa!" teriak Biah dari luar, memanggil Daffa.

Daffa menghela napas lega. "Ternyata Biah."

"Haah! Sa-saya harus membersihkan rumah dan mencuci. Jam berapa sekarang, Tuan?" tanya Dara dengan nada cemas.

"Jam tujuh. Masih pagi. Kamu... kerja di sini?" tanya Daffa dengan penuh perhatian.

Dara mengangguk. "Tapi... saya harus pergi dari rumah ini, Tuan. Saya tidak mau ketemu sama pria itu lagi. Tapi, ke mana saya harus pergi? Sedangkan saya sudah kotor. Di kampung pasti akan mencibir saya. Bagaimana kalau saya hamil? Apa yang harus saya lakukan?" suara Dara bergetar hebat, penuh ketakutan dan kepasrahan.

"Di sini saja. Jangan pergi ke mana-mana. Aku akan bertanggung jawab atas Daiva," ucap Daffa dengan tegas, suaranya penuh keyakinan.

"Haah? Sa-saya... tidak perlu, Tuan. Tuan tidak salah. Biarkan saya pergi," balas Dara, bingung dan ketakutan.

"Mau pergi ke mana? Bukankah kamu tidak punya tempat tujuan? Bukankah kamu malu, kalau pulang ke kampungmu? Tetap di sini. Aku akan melindungi kamu. Jangan khawatir!" kata Daffa, matanya menatap penuh ketulusan.

Dara terhenyak sesaat, hatinya berdebar. Kenapa Daffa mau melindunginya? Dua saudara yang berbeda sifat dan karakter. Yang satu berhati malaikat, yang satunya berhati iblis. Dara menundukkan wajahnya, tak mampu menahan tatapan lembut yang Daffa tunjukkan padanya.

"Dara! Tunggu di sini. Aku mau ketemu sama Mama. Pintu akan aku kunci. Daiva tidak akan bisa masuk ke kamarku. Untuk sekarang, hanya aku yang kamu percaya, bukan?" Daffa bertanya dengan menatap lekat mata Dara yang merah itu.

Dara mengangguk dengan sangat pelan. Kemudian pria itu mengusap bahu Dara dengan lembut dan mengulas senyum.

Ia pergi keluar, meninggalkan Dara dalam rasa aman yang baru ia temukan. Menemui mamanya untuk membahas kelakuan bejat Daiva pada Dara.

"Biah. Di mana Dara? Kenapa jam segini belum nongol?" tanya Melawati pada Biah.

"Tadi saya masuk ke dalam kamarnya sudah tidak ada, Bu. Mungkin sedang menyiram tanaman. Soalnya di dalam rumah ini tidak ada, Bu," jawab Biah.

Daffa datang menghampiri mamanya yang sedang duduk di sofa ruang tengah. "Dara ada di kamarku, Ma."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status