Pagi hari telah tiba. Mata Dara membuka dengan pelan, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tubuhnya masih lemas, namun ia tahu bahwa ia harus segera keluar dari rumah itu.
"Sial! Kenapa aku ada di kamar neraka ini lagi?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. Daffa terbangun, terbangkit dari tidur di sofa. Tangisan Dara yang mulai pecah kembali telah mengusik tidurnya. Segera pria itu menghampiri Dara, menjaga jarak agar tidak membuat Dara salah paham. "Hei! Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian. Dara mengangkat wajahnya dengan cepat, matanya terbelalak ketakutan. Dengan sigap, ia menutup tubuhnya dengan kedua tangannya, trauma yang mendalam pada seorang pria sudah pasti ia rasakan. "Siapa kamu? Jangan sentuh saya!" ucapnya penuh ketakutan, tubuhnya gemetar. "Jangan takut. Aku bukan Daiva. Aku Daffa. Apa yang sudah kakakku lakukan padamu? Dan... kamu siapa?" tanya Daffa dengan suara selembut mungkin, berusaha menenangkan Dara. Tangisan Dara seketika berhenti. Tatapan matanya bertemu dengan mata indah Daffa, berbeda jauh dengan sorot mata Daiva yang penuh kebencian dan nafsu. Mata dan bibir Daiva bak tercipta dari iblis, sangat menyeramkan. Apakah mereka bukan saudara kandung? Pikiran Dara melayang tak tentu arah. "Hei! Kamu bisa mendengar aku, kan?" tanya Daffa, suaranya sedikit cemas. Saat tangannya ingin menyentuh pundak Dara, perempuan itu spontan menepis dengan cepat. "Jangan sentuh saya!" ucapnya, kembali menutup dadanya dengan kedua tangan. "Jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu. Katakan... namamu siapa?" tanya Daffa, mengulang pertanyaannya dengan suara lembutnya yang tulus. Perlahan, Dara mulai menatap sorot mata Daffa yang tampak tulus dan penuh pengertian. Tak ada niatan jahat yang terpancar dari matanya. "Dara," ucapnya pelan, memberi tahu namanya. "Kenapa ada di rumah ini? Kamu... bukan wanita bayaran Daiva, kan?" Daffa bertanya dengan sangat hati-hati, takut menyakiti perasaan Dara. Dara menggeleng dengan kencang, air mata kembali mengalir di pipinya. "Bukan. Bukan, Tuan. Saya bukan wanita bayaran. Saya perempuan baik-baik. Tapi... tap-tapi, pria itu sudah menghancurkan saya." Isakan tangis Dara kembali terdengar. Daffa yang tak habis pikir dengan sifat gila kakaknya itu hanya bisa menghela napas, merasa tak berdaya. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Daffa lagi. "Di mana rumahmu? Aku antar pulang." Dara menggeleng pelan, rasa putus asa menyelimuti wajahnya. "Ke mana saya harus pulang, Tuan? Sedangkan harga diri saya sudah kotor. Sudah tidak ada nilainya lagi. Pria gila itu sudah menghancurkan saya. Saya malu pada diri saya sendiri," rintih Dara, menundukkan wajahnya, air mata mengalir deras. Daffa ragu ingin membelai rambut perempuan itu, namun ia tahu Dara sedang butuh penenang. Dan, Daffa tidak tahu harus apa jika perempuan itu tak ingin disentuh di area manapun. Dia hanya bisa duduk di dekatnya, berusaha memberikan dukungan dengan kehadirannya. Tok tok tok!! Pintu kamar Daffa diketuk. Pria itu lantas menoleh ke belakang, sementara Dara melotot ketakutan. Tubuhnya melekuk karena takut Daiva yang masuk. "Jangan takut. Daiva tidak akan masuk ke kamarku," kata Daffa menenangkan Dara. "Permisi, Tuan. Ibu Mela memanggil Tuan Daffa!" teriak Biah dari luar, memanggil Daffa. Daffa menghela napas lega. "Ternyata Biah." "Haah! Sa-saya harus membersihkan rumah dan mencuci. Jam berapa sekarang, Tuan?" tanya Dara dengan nada cemas. "Jam tujuh. Masih pagi. Kamu... kerja di sini?" tanya Daffa dengan penuh perhatian. Dara mengangguk. "Tapi... saya harus pergi dari rumah ini, Tuan. Saya tidak mau ketemu sama pria itu lagi. Tapi, ke mana saya harus pergi? Sedangkan saya sudah kotor. Di kampung pasti akan mencibir saya. Bagaimana kalau saya hamil? Apa yang harus saya lakukan?" suara Dara bergetar hebat, penuh ketakutan dan kepasrahan. "Di sini saja. Jangan pergi ke mana-mana. Aku akan bertanggung jawab atas Daiva," ucap Daffa dengan tegas, suaranya penuh keyakinan. "Haah? Sa-saya... tidak perlu, Tuan. Tuan tidak salah. Biarkan saya pergi," balas Dara, bingung dan ketakutan. "Mau pergi ke mana? Bukankah kamu tidak punya tempat tujuan? Bukankah kamu malu, kalau pulang ke kampungmu? Tetap di sini. Aku akan melindungi kamu. Jangan khawatir!" kata Daffa, matanya menatap penuh ketulusan. Dara terhenyak sesaat, hatinya berdebar. Kenapa Daffa mau melindunginya? Dua saudara yang berbeda sifat dan karakter. Yang satu berhati malaikat, yang satunya berhati iblis. Dara menundukkan wajahnya, tak mampu menahan tatapan lembut yang Daffa tunjukkan padanya. "Dara! Tunggu di sini. Aku mau ketemu sama Mama. Pintu akan aku kunci. Daiva tidak akan bisa masuk ke kamarku. Untuk sekarang, hanya aku yang kamu percaya, bukan?" Daffa bertanya dengan menatap lekat mata Dara yang merah itu. Dara mengangguk dengan sangat pelan. Kemudian pria itu mengusap bahu Dara dengan lembut dan mengulas senyum. Ia pergi keluar, meninggalkan Dara dalam rasa aman yang baru ia temukan. Menemui mamanya untuk membahas kelakuan bejat Daiva pada Dara. "Biah. Di mana Dara? Kenapa jam segini belum nongol?" tanya Melawati pada Biah. "Tadi saya masuk ke dalam kamarnya sudah tidak ada, Bu. Mungkin sedang menyiram tanaman. Soalnya di dalam rumah ini tidak ada, Bu," jawab Biah. Daffa datang menghampiri mamanya yang sedang duduk di sofa ruang tengah. "Dara ada di kamarku, Ma."Melawati menoleh pada anak bungsunya itu. "Oh. Lagi beresin kamar kamu. Memang sangat rajin Dara itu. Sudah cantik, polos, rajin, dan penurut. Mau nggak, Daffa?"Melawati tiba-tiba menawarkan Dara padanya. Apa maksudnya? Sedangkan Daffa memang akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Daiva pada Dara."Tapi, Ma. Bagaimana bisa Mama menawarkan Dara padaku?" tanya Daffa dengan pelan.Melawati mengembuskan napasnya dengan panjang. "Daiva sebentar lagi akan menikah. Kamu ... sebentar lagi lulus S-3. Mama ingin anak-anak Mama menikah, Daffa.""Hanya itu?"Melawati menoleh kembali pada Daffa. "Lalu ... maunya apa lagi, Daffa? Suka nggak, sama Dara? Mama nggak peduli dengan latar belakangnya, Daf. Mama tahu, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, sepertinya anak itu cocok untuk kamu."Daffa mengerutkan keningnya. Melawati menjodohkannya dengan Dara. Lalu, bagaimana jika Dara hamil anak Daiva?"Ma ... Dara.""Yaa. Dara kenapa, Daf? Bukan selera kamu? Lalu, kamu mau cari yang sepert
Mendengar itu, Daiva lantas menoleh cepat ke arah mamanya. Sementara Daffa hanya tersenyum miring. Lalu Daiva menoleh pada Daffa. 'Tampaknya Daffa tahu, aku yang sudah melakukan itu pada Dara. Hhhh. Kena kamu, Daffa!' ucapnya dalam hati. "Bukankah tadi kamu keluar dari kamar Daffa?" tanya Daiva dengan santainya. Semua orang yang ada di sana lantas menoleh pada Daiva. Daffa mengerutkan keningnya. Licik. Kata yang pantas untuk Daffa dan Dara ucapkan pada pria berhati iblis itu. "Apa! Daffa! Apa yang kamu lakukan, huh? Jangan mentang-mentang Mama ingin kamu menikah dengan gadis ini, dengan seenaknya kamu melakukan itu pada Dara!" teriak Melawati. Perempuan itu sedang naik pitam. Marah karena anak kesayangannya itu sudah melakukan hal yang tak terduga. Padahal, bukan dia pelakunya. "Daiva! Kenapa lempar batu sembunyi tangan? Elo yang udah perkosa Dara. Bukan gue! Biadab!" pekik Daffa. Tak terima dengan ucapan Daiva yang sudah memfitnahnya. Daiva melipat tangan di dada. "Ada bukti?
Dara tertunduk. Tak mampu menatap Melawati, takut akan ancaman Daiva yang terus-menerus bilang akan membunuhnya jika Melawati sampai tahu bahwa dialah yang sudah memperkosanya."Dara. Kalau memang Daffa yang sudah menodai kamu, saya akan menikahkan kamu dengannya setelah Daiva menikah," kata Melawati menegaskan kembali.Dara kemudian mengangkat wajahnya. "Jangan, Bu. Mas Daffa tidak perlu tanggung jawab. Dia tidak bersalah. Ini salah saya. Saya yang sudah menggodanya. Sekali lagi saya minta maaf."Daripada Daffa dipaksa menikah oleh Melawati, lebih baik Dara berbohong agar pernikahannya dengan Daffa tidak terjadi. Bukan hanya karena Daffa tidak bersalah, tapi karena bukan Daffa yang sudah melakukan itu padanya."Haaah! Lalu, kenapa kamu bilang kalau kamu diperkosa, Dara?" tanya Melawati dengan kecurigaan.Dara menelan salivanya dengan susah payah. Ia ragu menatap Melawati, mencoba mencari cara agar dirinya diusir saja dari rumah itu."Ma-maafkan saya, Bu. Saat itu saya bingung harus j
Malam hari tiba. Waktu menunjuk angka sembilan tepat. Ia pun bergegas masuk ke dalam kamarnya sebelum Daiva pulang lalu memakainya kembali. Daiva benar-benar melakukan ini setiap malam pada Dara. Hingga membuat perempuan itu lelah tak berdaya. "Semoga pria itu tidak pulang malam ini. Tubuhku sudah rontok karena dia sentuh setiap hari. Aku ingin istirahat. Jangan hadirkan dia di malam ini, Tuhan." Dara membuang napasnya dengan panjang. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur mini itu. Ditatapnya kembali tes pack yang tadi siang ia gunakan untuk memeriksa apakah dia hamil atau tidak. Ternyata, dua garis terpampang nyata di sana. Membuat Dara rasanya ingin menyudahi saja hidupnya. "Ke mana aku harus pergi? Bahkan, lari dari rumah ini saja aku tidak tahu caranya bagaimana. Juga, ke mana aku harus bersembunyi dari semua orang di rumah ini. "Aku harus pergi ke mana supaya mereka tidak dapat menemuiku. Mana mungkin aku pulang ke kampung halamanku. Yang ada, mereka akan membully ha
Dara kembali menunduk. Sudah waktunya dia harus pergi saat ini juga. "Saya pamit ke toilet sebentar, yaa. Pengen pipis." Daffa mengizinkannya tanpa banyak bertanya. Hal itu memang sering Dara lakukan jika sedang keluar bersamanya. Dara berlari jauh dari taman itu hingga sampai di depan jalan raya. Ia menghentikan taksi dan mobil itu melaju dengan cepat menuruti perintah Dara. 'Maafkan aku, Mas. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi, kamu tidak pernah melihat itu. Juga, karena aku hanya wanita kotor yang tidak punya tahu malu.' Dara berlinang air mata. Sedih memang, harus pergi tanpa jejak dan tanpa izin terlebih dahulu. Tapi, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menghindari pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan Daffa. Sudah hampir satu jam lamanya. Daffa baru sadar jika Dara sudah lama sekali tidak kembali. "Ke mana Dara? Kenapa sudah hampir satu jam ini dia tidak kembali? Nyasar? Benarkah?" Daffa lantas menggeleng-geleng. "Masa iyaa sih. Hhhh." Daffa bangkit dari duduknya
Plak!!Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya."Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini."Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada
Satu minggu berlalu.Dara yang kini memilih untuk pergi jauh dari keluarga Adicandra benar-benar pergi. Hilangnya Dara dengan membawa calon bayi keturunan Adicandra meninggalkan kekhawatiran dari pihak Melawati, Adicandra dan Daffa.Sedangkan Daiva. Sampai saat ini dia seperti pria asing di dalam keluarga itu. Ingin rasanya pernikahan itu segera terlaksana. Agar Daiva segera pergi dari rumah itu.Di rumah kontrakan.Tempat di mana Dara memilih menetap di sana dengan bermodalkan uang pemberian Daiva. Belum mendapatkan pekerjaan karena memang Dara belum mencari pekerjaan yang layak untuk ibu hamil.Kini, usia kandungannya sudah memasuki delapan minggu. Setelah kabur dari Daffa, Dara memeriksa kandungannya di sebuah klinik yang ada di sana."Mas Daffa mungkin sudah membaca suratku. Tentang perasaanku yang sampai saat ini masih saja mencintainya." Dara berucap sendiri.Di dalam kamar yang lumayan luas itu, Dara termenung sendiri. Rasa lega bisa keluar dari rumah itu, juga bisa tidur denga
Dafa menggeleng pelan. "Nasib manusia beda-beda, Ma. Lagi pula, sudah tidak suci atau masih suci bukan patokan kebahagiaan rumah tangga seseorang."Dara juga tidak mau nasibnya seperti itu. Tidak ada yang bisa menyalahkan dia. Bukan ingin dia jadi korban pelecehan. Nasib ketidakberuntungan Dara harusnya aku yang tolong."Gadis seperti Dara tidak pantas disakiti. Aku pura-pura cuek dan tidak pernah menunjukkan kalau aku mencintainya karena menghindari kesalahpahaman."Penuturan panjang lebar Daffa membuat hati Melawati yang mendengarnya terenyuh. Seorang Daffa, anak bungsunya yang jarang berbicara itu kini mengeluarkan semua perasaan yang dia pendam sendiri."Mencintai Dara bukan suatu kesalahan, Ma. Siapa pun yang bilang aku tidak pantas memiliki Dara, adalah orang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta dengan tulus," ucap Daffa kembali.Melawati mengangguk paham. "Iya, Nak. Mama paham. Kini, tugas kita hanya mencari keberadaan Dara. Anak itu terlalu polos jika tinggal sendirian. Ban