Demi Papa, itu saja. Karena di dunia ini aku hanya punya Papa. Baik sebelum Mama meninggal atau sesudahnya. Karena, ya, apa yang bisa kudapatkan dari seorang mama yang selalu mementingkan dirinya sendiri? Setiap hari, dunia ini terlalu sempit bagi Mama sehingga Papa dan aku nggak lebih berarti dari pada semua kegiatan arisan, shopping dan media sosialnya. Sekarang, sudah hampir lima tahun aku menjadi boneka---istri imitasi---Kenzy. Pria dewasa yang hampir separuh usianya habis untuk foya-foya dengan fatamorgana. Bukan hanya itu, dia juga nyaris meregang nyawa karena terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Apakah aku bahagia? Apakah aku tidak menyesal karena telah melewatkan dan mengorbankan indahnya masa remaja? Apakah aku tidak ingin pergi dari kehidupan Kenzy yang semakin parah? Entah, aku tidak tahu! Hanya satu yang aku ketahui, Papa bisa tersenyum bahagia di atas kursi putar empuknya. Itu saja.
Lihat lebih banyakMenjadi isteri Kenzy bukan perkara yang mudah bagiku. Bukan hanya karena karakternya yang bertolak belakang denganku, tapi terutama dunianya yang hitam kelam. Nggak, aku nggak seputih awan di langit biru, tentu saja. Tapi setidaknya, nggak pernah menjajal apalagi sampai terjerat di dunia yang baginya surga. Sampai sekarang aku masih belum mengerti, bagaimana bisa begadang setiap malam, mabuk-mabukan, berjudi dan menghambur-hamburkan uang untuk wanita penghihur bisa disebut Surga. Bukankah Surga itu tempat yang paling nyata, indah dan suci?
Kenzy, Kenzy! Mau sampai kapan dia begini? Nggak sadar apa, umurnya sebentar lagi sudah tiga puluh enam tahun? Apa masih belum puas, bersenang-senang di dunia hitam kelam, bagaikan langit putih yang diselimuti awan mendung. Tebal dan hitam.
Sebenarnya, kadang-kadang aku malu pada Papa dan diri sendiri terutama, karena masih belum berhasil merubah Kenzy. Jangankan berhasil, bisa bertahan di sini saja sudah Alhamdulillah. Ya, di sini, rumah yang dihadiahkan Papa untuk pernikahan kami. Jujur, kadang-kadang ingin pergi jauh dari Kenzy, sejauh-jauhnya. Pulang kembali ke Indonesia misalnya dan nggak pernah bertemu dengannya lagi.
Yeaaah, andai masalahnya sesederhana itu!
"Anya!" panggil Elize, sahabat dekatku dari belakang, mengejutkan sekaligus mengutuhkan kesadaranku.
Kami sedang berbelanja kebutuhan bulanan di kooper mollen, seperti biasa. Nggak, tentu saja kami nggak tinggal satu rumah. Elize tinggal satu blok di belakang rumah kami. Semenjak kedatanngan kami di Leiden ini, dialah satu-satunya tetangga yang raham, baik dan peduli pada kami. Aku, terutama.
Begitu tahu kalau dalam tubuh Kenzy mengalir darah Belanda, sama dengan dirinya, Elize semakin baik denganku. Apalagi umur kami sama-sama dua puluh tahun, hanya selisih dua bulan. Aku lahir di bulan Januari, dia di bulan November. Tanggalnya sama, persis. Tanggal dua puluh dua.
"Elize?" sahutku sedikit gugup, "Sorry,"
"It's allright, Anya." katanya sambil memekarkan senyum tulus, "I took this one for my Mom," ujarnya sambil menunjukkan sebuah buku resep memasak aneka kue kering.
"It's OK," sahutku, lalu mengajaknya melanjutkan acara belanja bulanan kami, "How is your shopping list, finish?"
Dia mengangguk kecil, "Finish and you?"
Dengan ringan, tanpa beban, aku menjelaskan kalau harus membeli keju di supermarket sebelah. Elize mengaku nggak keberatan kalau harus menemaniku ke sana. Oh ya, dia pasti tahu, kalau Kenzy nggak pernah meluangkan waktu untuk menemaniku berbelanja. Jangankan berbelanja, sedangkan membawa masuk koran pagi saja, sesuatu yang mustahil.
"Thanks, Elize!"
"You are welcome, Anya!"
Nggak, dalam kehidupan sehari-hari Elize nggak berbahasa Inggris. Dia berbahasa Inggris hanya karena telah terbiasa menggunakannya saat bersamaku. Elize tahu persis, kalau waktu itu aku belum mengerti bahasa Belanda. Jadi, dia yang menyesuaikan diri denganku. So sweet, right? Walaupun akhirnya aku dinyatakan lulus les bahasa Belanda, kami tetap berbahasa Inggris saat sedang berdua. A friendship language, hehe.
***
Kenzy sudah di rumah ketika aku pulang berbelanja. Wajahnya datar dan hambar seperti biasa. Menoleh sebentar ke arah pintu yang kubuka dari luar dan kembali membaca koran favoritnya, Morgen Leiden. Mungkin karena sudah terbiasa dengan sikapnya yang sedatar itu, aku pun santai. Memasukkan shopping cart dengan gembira tralala dan mengeluarkannya satu per satu. Sengaja kupisahkan semua brosur sale untuk jadwal belanja mingguan. Aku yakin, Kenzy nggak pernah tahu soal ini. Kalau tahu, dia pasti gusar dan meledak karena dipikir hanya menghambur-hamburkan uang saja. Padahal, itu sangat efektif untuk membeli kebutuhan pernak-pernikku sebagai seorang wanita. Murah meriah. Hihi.
Kadang-kadang, melihat bagaimana sikap datar dan hambar Kenzy, aku frustrasi. Tapi, di sisi yang lain aku sangat bersyukur. Karena apa? Dia nggak memaksaku lagi untuk tidur satu kamar dengannya. Artinya, dia nggak mengingkari janji yang telah kami sepakati bersama.
Satu rumah, yes! Satu kamar, No!
Iya, begitulah perjanjian yang telah kami buat dan sepakati bersama. Jujur, aku nggak mau di gede rasa karena akhirnya mau menikah dengannya. Kadang-kadang dia begitu lho dan akhirnya bersikap seenak jidat. Padahal, halooo, kami sama-sama membutuhkan, kan? Eh, maksudku, orangtua kami. Papaku membutuhkan uang papanya untuk membangun perusahaannya yang mati suri. Sedangkan papanya membutuhkan aku untuk memperbaiki hidup Kenzy.
Wooow, amazing, kan?
Yeaaah, begitulah hidup di dunia ini. Penuh dengan drama dan sandiwara. Satu lagi, fatamorgana. Sekali lagi, aku nggak akan pernah menikah dengan Kenzy di usia semuda ini, jika bukan demi Papa. Nggak, masa depanku nggak ikut menjadi korban kok, karena diam-diam (Hanya Elize yang tahu) aku melanjutkan kuliah di sini. Cukup masa remajaku saja yang menjadi korban.
Aku sedang menyusun detergent dan sabun cucii piring di rak, ketika Kenzy mendekat, "Anya!"
"Ya, Kenzy!" sahutku tanpa mengalihkan perhatian dari tumpukan detergent, "Ada apa?"
Kenzy mendesah berat lalu menghela napas, "Aku ingin makan malam di luar sama kamu?"
'Wooow, is it a dream?' batinku antara terkejut dan senang, entah mengapa. Hemmm, kadang-kadang aku begitu, senang dengan hal-hal sederhana seperti ini. Hei, kebahagiaan itu memang sederhana, bukan? Hehe. Maaf, bukan membela diri.
"Oh ya, makan di mana?"
"Sekali-kali, kita ke Den Haag, yuk?"
Seketika, perasaan senangku melayang-layang di udara dapur yang hangat oleh pemanas ruangan. Selama hampir tujuh bulan di Leiden, baru kali ini diajak Kenzy makan malam di luar. Di hari belanja bulanan, pula. Duh, mimpi apa ya, aku semalam?
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen