Sumpah, meskipun sudah membaca Pippi Longstocking karya Astrid Anna Emilia Lindgren---secara acak---dan Love, Star Girl karya Jerry Spinelli---juga secara acak---nyatanya perasaanku belum membaik juga. Rasanya seperti selembar kertas yang disobek dengan kasar oleh seseorang karena berulang kali typo, diremas-remas hingga membentuk bola lalu dilemparkan begitu saja ke tempat sampah. Plung dan hilang. Tenggelam di antara sekeranjang sampah yang lain.
Aku meninggalkan speltuin yang semakin ramai oleh anak-anak dengan perasaan yang semakin berat, porak poranda. Takjub dengan semua yang menimpaku hari ini. Kenzy yang mengamuk di kamar mandi tadi pagi, tanpa sebab yang kuketahui. Katakanlah dia mabuk kuadrat dan mengacak-acak lemari perlengkapan dengan sempurna. Tetap saja amazing tralala, rasanya. Ketika aku menyalurkan empati dengan menanyakan apa yang telah terjadi, dia malah semakin mengamuk. Matanya melotot besar sekali seolah-olah aku baru saja menegurnya dengan kata-kata, "Hei, apa yang kamu lakukan, Kenzy?"Auto mundur alon-alon lah, aku. Tahu, kan? Mundur perlahan-lahan. Menyelamatkan diri. Kalau sudah melotot seperti itu, berarti mabuknya parah. Jadi, lebih baik aku yang mengalah. Nggak, nggak mungkin kembali ke kamar. Takut. Jadi, aku langsung berderap menuruni tangga menuju ruang makan keluarga yang terletak di dapur.
Aku nggak tahu, harus sedih atau bahagia. Harus segera pulang atau tetap di sini, menghabiskan es krim dan brownies favorit. Ummm, yang jelas, harus membalas chat Kenzy, kan? Enak saja dia, menuduhku seperti itu? Kenzy jahat![Sorry?] ketikku di chat room lalu mengirimkannya dengan peasaan marah. Kadang-kadang Kenzy sulit untuk dimengerti, sungguh.Well, memang bukan urusanku, kalau pun pada kenyataan Kenzy terikat dalam hubungan khusus dengan Marcella. Tapi nggak perlu marah juga, dong? Apa salahku? Toh, Marcella pasti sudah memberi tahu kalau dia ke rumah, kan? Buktinya dia sudah tahu. Apa masalahnya, coba?Dooong!Kenzy: [At least, kamu chat aku, dong?]Hellooo, any body home?Sej
Nggak mau pusing dengan kehidupan Kenzy yang semakin terlihat memprihatinkan, aku memutuskan untuk pergi ke toko buku. Bersama Elize, tentu saja. Sebenarnya aku nggak mengajaknya sih, dia sendiri yang menawarkan diri. Well, hanya orang bodoh yang menolak tawaran manisnya. Apalagi katanya, Tante Theodora sudah ada yang menemani di rumah. Kakaknya yang tingggal di Sidney, Australia mengirimkan istrinya untuk menjaga Tante Theodora selama dua minggu ini. Mumpung belum punya momongan, katanya begitu.What ever that may be, aku sedang bersiap-siap sekarang. Silakan saja, jika Kenzy mau membuat hidupnya lebih hancur atau bagaimana. Bukan urusanku lagi. Dia yang nggak bisa mengendalikan dirinya, bukan karena kesalahanku. Well, aku isteri yang manis dan menyenangkan, bukan? Salah satu buktinya, tetap menyiapkan makan siang untuknya walaupun masih bad mood. Dia requests pizza tadi, beberapa menit setelah aku sampai di kamar dan menghem
Rose Bucket, The Purple Love, Love is Blind ... Aku mulai membaca judul-judul novel yang tersusun rapi di rak kayu yang dicat oranye. My Romantic Husband, A Love in Amsterdam ... Kok, aku kurang suka ya, dengan genre ini? Baiklah, sepertinya harus kembali ke habitat semula, deh? Teenlit.Jadi, inilah yang kulakukan sekarang. Mencari rak buku teenlit yang menurut denah ruangan terletak di sekitar rak buku komik dan majalah anak. Dengan ringan hati, aku melangkah ke sana. Melewati rak-rak buku yang di atasnya bertuliskan Hobbies, Pets dan Crafts. Sebenarnya, aku tertarik untuk menyinggahi rak buku Pets tapi kuurungkan. Nanti lah, kalau waktunya masih cukup. Sekarang mencari novel teenlit dulu.Drrrttt, drrrttt!Smartphone bergetar indah, membuat hatiku mencelos dengan sempurna. Satu-satunya kontak yang kuberi ringtone
Siapa yang nggak suka jika mendapatkan kejutan? Menurut pendapatku, semua orang suka termasuk aku. Kecuali, enggg, kecuali yang memberi kejutan atau apapun itu bernama Kenzy Van Snoek. Sungguh, dia nyaris membuatku kehilangan nyawa karena heart attack. Bayangkan! Dia merubah gang menjadi taman bunga--dindingnya dipasang wallpaper bercorak mawar merah jambu, ada yang masih menguncup dan ada yang sudah mekar---dengan banyak boneka tergantung di langit-langitnya. Well, aku suka semua bonekanya, andai saja bukan berasal dari Kenzy dalam bentuk apapun.Jadi, walaupun boneka kelinci bertelinga panjang itu tersenyum manis sekali ke arahku, sama sekali nggak tertarik untuk mendekat. Begitu juga dengan boneka beruang cokelat yang sedang memeluk bantal berbentuk jantung hati, nggak terlihat manis lagi. Nggak sama sekali, terutama boneka bayi yang bagian depan bajunya bertulisan Anyelir Nuansa Asmara. Well, I am not a baby, actually. Apa d
Insomnia melanda dengan sempurna.Well, aku sudah chat Arunika dengan meminta maaf karena memutuskan sambungan telepon begitu saja. Dalam chat balasannya, Arunika mengatakan, nggak masalah asalkan aku tetap waras dan baik-baik saja. Jadi, aku hanya mengucapkan banyak terima kasih dan menambahkan beberapa emotikon smile, hug dan love sebelum akhirnya mematikan smartphone. Charging time. Hehe. Lagipula sudah jam tiga lebih lima belas menit lho, ini?"Go to sleep, Anyelir!" kataku pada diri sendiri, setelah meneguk air putih dari tumbler, "Sleep well and have a nice dream!"Perlahan-lahan dan penuh perasaan, aku meletakkan tumbler air putih khusus untuk di kamar, di meja belajar. Dalam remang cahaya lampu tidur, menangkap bayangan gadis yang nyaris tak kukenali dari pantulan kaca cermin yang terletak di samping meja. Tinggi, kurus dan yang je
Heran. Heran. Heran.Entah mengapa aku merasa ada yang aneh antara aku dan Elize, semenjak kebersamaan kami di Boeka Boekie Winkel kemarin lusa. Rasanya ada semacam sekat ... Ummm, what is that? OK, honestly I say that so much questions about Her. Menjaga jarak, cara paling ampuh untuk mengamankan diri dari cecarannya, tentu saja. Elize bukan model orang yang bisa percaya begitu saja, ketika dia bertanya why bla bla bla lalu kujawab dengan because bla bla bla. Pasti dia akan terus bertanya dan itu satu-satunya hal yang nggak kusukai darinya.Intinya, Elize pasti akan terus menanyakan, mengapa aku mengayuh sepeda begitu cepat sepulangnya kami dari Boeka Boekie Winkel. Padahal, sebelumnya kami nggak sempat minum cokelat hangat, makan French Fries atau waffel di kantin. Yeaaahhh, kuakui, Elize memang cerdas tapi minim kepekaan. Buktinya, dia nggak tahu, betapa dongkolnya aku dengan sikap K
Dug!Begitulah bunyi detak jantungku ketika melihat siapa yang berderap menuruni tangga. Siapa lagi kalau bukan Marcella? Oh, siapapun dia, pasti terbuat dari plastik. Buktinya, sama sekali nggak punya perasaan. Nggak berperikemanusiaan. Satu lagi, pemikirannya nggak bisa bekerja dengan baik. Jelas, dia hanya mengandalkan kecantikannya saja. Sama seperti boneka bidadari, ... Cantik, indah dan mempesona tetapi sayang, hanya benda mati. Hanya mainan."Oooh, hiii, Anyaaa!" Marcella menyapaku, seolah-olah kami sudah sejak lama bersahabat dan saling menyayangi, "Hoe gaat it? Eh, sorry ... How are you, Anya?"Kalau dia berpikir aku akan tersenyum dan berbasa-basi menanggapi, itu salah besar. Nggak, nggak akan pernah. Aku memang ceriwis dan mudah bergaul, tapi bukan berarti nggak bisa berdiam diri dan menentukan sikap
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja