Detik-detik berdetak begitu lambat, seolah-olah slow motion mode on dalam sebuah adegan film. Kenzy masih menunggu jawaban atas ajakannya tadi. Sejujur-jujurnya kukatakan, aku mau tapi takut. Kenzy malah tertawa terpingkal-pingkal, terjungkal-jungkal menciptakan gugup. Terlalu gugup, sehingga aku menuduhnya seperti ini di dalam hati, "Tuh kaaan, apa kubilang? Kenzy pasti ingkar janji?
"Kok, tertawa?" tanyaku sambil menarik keranjang roti, "Ada yang lucu?"
Hampir delapan bulan hidup bersama, tapi belum pernah aku melihatnya tertawa selepas ini. Apalagi sampai memberikan tatapan yang menyenangkan, nggak memicingkan mata seperti biasanya. Aneh, kan? Apa dia benar-benar serius, mengajakku makan malam? Eh, jangan-jangan, ada udang di balik batu? Oh ya, jelas, dia sedang mabuk. Apalagi?
Roti tawar sudah selesai kumasukkan ke dalam keranjang dan sekarang sudah tersusun rapi. Berdasarkan urutan Expired Date. Sejak hari pertama kami di sini, Kenzy mengenalkanku pada Boeren Volkoren. Jadi, roti tawar itulah yang kami konsumsi setiap hari. Semacam favourite bread lah, walaupun Menurut Elize itu roti untuk petani. Heran juga sebenarnya, mengapa Kenzy menyukai roti itu namun aku sudah terlanjur suka. Nggak bisa berpindah ke lain roti. Hihi.
"Kamu mau kan Nya, makan malam sama aku?"
Kenzy memasang wajah memohon-mohon, "Lagian, emang salah ya, kalau sekali-kali ngajak makan malam istri sendiri?"
'Wekawekaweka, sejak kapan dia sadar kalau sudah punya isteri?' batinku kesal sambil menyurukkan keranjang roti ke dalam rak makanan. Kulihat Kenzy mengalihkan pandangan ke keranjang buah yang masih kosong, meraih sekantong plastik buah segar dan menatanya satu per satu di sana. Sekilas kuperhatikan, rapi juga tatanannya. Hampir sama dengan caraku menata buah.
Pisang selalu menjadi penghuni pertama keranjang, baru kemudian apel, pir, jeruk ... Bedanya, Kenzy nggak menyusun berdasarkan kelompok buah. Jadi, apel berjajar dengan jeruk atau pir, campur-campur. Aku sengaja nggak mengoreksinya. Karena apa? Seumur pernikahan kami, baru kali ini dia peduli---untuk alasan apapun itu---dengan yang namanya keranjang buah. Biasanya mah, bodo amat!
"Anya?"
"Hemmm, ya?"
"Dinner?"
Berat hatiku untuk mengatakan iya, jujur. Dalam hati terus bertanya-tanya, mengapa harus di Den Haag? Bisa kan, di rumah saja? Oke, kalaupun ingin makan malam di restoran, bisa kan, yang di sekitar sini saja? Chinese Restaurant, misalnya? Itu, yang di kooper mollen?
"Let's see!" jawabku ragu-ragu setelah dia mencolek pipiku yang sedikit dingin karena berkeringat, "Ya, let's see!"
Kenzy tersenyum lebar sambil meraih beberapa helai pucuk rambutku yang tergerai ke depan, "Cantik!"
Dug!
Begitulah bunyi detak jantungku, saat Kenzy memuji rambut panjang sepinggangku. Rasanya, oooh, rasanya seperti diterbangkan ke langit biru. Saat itu, benakku mulai dijejali oleh banyak hal, banyak sekali. Salah satunya kalimat pengandaian yang berisi andai Kenzy bukan pemabuk, pemuja wanita penghibur ataupun zat addictive lover ... He is handsome, really. Andai juga dia bukan penggemar kegiatan begadang yang bagiku sangat sangat sangaaat melelahkan bahkan hanya untuk dibayangkan. Mungkin, mungkin aku nggak akan sekuat ini berjauhan terus darinya. Nggak akan setabah ini menghabiskan hampir dua puluh empat jam seorang diri, di benua Eropa. Tepatnya, Leiden the Netherland.
Sebenarnya, inti dari yang baru saja kuceritakan adalah aku gadis normal yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Satu-satunya hal yang kadang membuatku hampir frustrasi dan menyerah, kalau kalian ingin tahu, Kenzy yang cuek bebek mandi di kali. Nggak peduli sama sekali denganku. Terlalu saklek dengan komitmen yang kami buat sebelum menikah dulu.
Papaku dan papanya sudah sama-sama sepakat untuk menikahkan kami, apapun yang terjadi. Karena hanya dengan jalan itulah masing-masing bisa melanjutkan kehidupan di dunia ini dengan tenang dan bahagia. Apalagi aku tahu persis, bagaimana kondisi perusahaan papaku waktu itu. Lebih dari bangkrut, habis-habisan. Kritis.
Benar, itu risiko yang harus ditanggung Papa, sebagai seorang entrepreneur. Tapi, siapa yang dapat menduga sebelumnya kalau risiko itu bisa memberikan dampak yang sangat fatal? Mama terkena heart attack dan dinyatakan meninggal begitu sampai di rumah sakit. Oh, ooohhh, rasanya benar-benar kiamat waktu itu.
"Are you crying, Girl?"
Kenzy mendongakkan wajahku, "Hei, what's happening? Kalau kamu nggak mau pergi makan malam juga nggak apa-apa, tapi jangan nangis!"
Diberikan secuil perhatian seperti itu, entah mengapa, air mataku justru semakin deras mengalir. Seperti hujan di bulan Desember, menyesakkan dada. Sejujurnya, aku rindu Papa. Sebelum menikah dengan Kenzy, belum pernah kami terkisah dalam long distance relationship seperti ini. Apalagi, yaaah, kami sangat dekat. Bahkan sampai kebutuhan men's pad-ku setiap bulan, Papa yang selalu care. Bisa kalian bayangkan kan, bagaimana dengan semua kebutuhan yang lain?
Kenzy masih mendongakkan wajahku, memandang dengan sorot mata yang berbeda, entah apa artinya. Dalam hati, sempat terlintas sebuah pertanyaan lugas, apakah dia mengkhawatirkanku? Tapi, tentu saja segera menepisnya jauh-jauh karena tahu persis bagaimana dia. Seorang Kenzy Van Snoek, pria dewasa yang sudah sah menjadi suamiku baik secara Agama maupun Negera, pria yang dingin dan tak acuh.
"Anyelir,"
"Ya?"
"Are you OK?"
"As you can see!"
Anyelir. Kalau Kenzy memanggilku dengan nama itu, berarti dia sedang serius. Nggak sedang berpura-pura atau semacamnya tapi sekarang aku sudah baik-baik saja lagi. Nggak perlu membahas apa-apa lagi, termasuk ajakan makan malamnya. Dia sendiri kan yang mengatakan, nggak apa-apa nggak makan malam?
***
Yes, yes!
Mungkin, inilah yang disebut dengan the power of love. Baru saja Papa video call aku. Waaahhh, rasanya luar biasa. Lebih dari mendapatkan kado ulang tahun, berlipat-lipat. Papa terlihat sehat dan bahagia. Dia sedang di kantor tadi, di ruang kerjanya. Sumringah, dia menunjukkan bagian-bagian ruang kerjanya yang tertata super duper rapi dan bersih cling. Di mejanya, ada bingkai foto kami bertiga, foto waktu kami berlibur di Bali. Aku ditengah, Mama dan Papa sama-sama merangkulku dari samping. Kami sama-sama tersenyum dalam foto itu, senyum bahagia. Di balik sunglasses-nya mata Mama terlihat berbinar-binar. Begitu jugu dengan mata kami.
Ahhhh, kenapa yang namanya kenangan itu selalu lebih berarti dari pada kenyataannya dulu? Kenapa selalu lebih berharga. Hik, hiks, hiiiksss ... Andai bisa memutar waktu kembali, andai Mama nggak secepat ini pergi. Oh, ooohhh, andai perusahaan Papa nggak bangkrut total sampai mati suri.
"Anyelir, baik-baik di sana ya?" kata Papa di penghujung video call kami, "Jaga dirimu baik-baik ya, Anyelir?"
Aku menatap lekat-lekat wajah Papa yang terlihat semakin menua, "Ya, Pa. Papa juga ya, sehat selalu di sana? Jangan jadi workaholic lagi ya, Pa?"
Soal pekerjaan, Papa memang luar biasa. Seolah-olah mesin yang tak mengenal lelah. Memang sih, Papa selalu memperhatikan kesehatannya tapi kan, aku khawatir juga. Apalagi sekarang ini hanya tinggal bertiga di rumah, bersama Mbah Mi dan Pak Arkan. Itu, pembantu dan supir yang sudah puluhan tahun bekerja di rumah.
"Tenang saja Anyelir, Papa bisa jaga diri." sahut Papa menciptakan sebentuk ketenangan di hatiku, "Gimana Anyelir, kapan kira-kira Papa bisa menimang cucu?"
Oh, nooo, selalu itu yang ditanyakan Papa. Hik, hiks, hiiiksss andai Papa tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Apa yang sebenarnya kami sepakati dalam pernikahan kami. Ooohhh, andai Papa tahu, kami bahkan belum pernah tidur bersama di salah satu kamar di rumah ini.
"Belum tahu, Papa. Doakan saja ya, Pa?"
Itu jawaban yang kuberikan hanya untuk menyenangkan hatinya, "Enggg, Anyelir masih harus menyelesaikan berbagai les di sini, Pa. Alhamdulillah, kemarin sudah lulus les bahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Nah, mulai bulan ini, Anyelir harus ikut les yang terampil dan mahir, Pa."
Bukan alasan yang bagus sebenarnya, tapi aku nggak punya alasan lain yang lebih rasional. Lagipula, selain soal komitmen---di belakang layar---bersama Kenzy, aku nggak ingin berbohong lagi pada Papa. Cukup yang itu saja, bohong putih?
Papa tersenyum mendengar jawabanku tadi lalu mengacungkan dua jempol, pertanda mendukung dan bangga padaku. Lihatlah, kulit wajah Papa memerah muda, oleh karenanya. Aku sampai deg-degan untuk beberapa saat lamanya. Berarti, Papa jujur dengan senyumannya. Bukan hanya sekadar kamuflase belaka. Anyway, apakah papa Kenzy juga memiliki impian yang sama dengan Papa? Menimang cucu.
Seperti biasa, video call kami berakhir dengan ciuman jarak jauh dan mantra cinta, I love you too forever. Bergantian, kami mengucapkan itu ekspresi masing-masing. Aku, sambil meneteskan air mata. Ohhh, Papa!
Aku memang manusia biasaYang tak sempurna dan kadang salahNamun di hatiku hanya satuCinta untukmu luar biasaLagu Manusia Biasanya Yovie & Nuno masih mengalun merdu di kamar Kenzy. Entah mengapa, hampir seharian ini dia memutar lagu-lagu lawas berbahasa Indonesia. Bukan, bukan berarti aku memperhatikan kebiasaaan dia, sih. Terserah saja dia mau memutar lagu apa, kapan, dimana dan sampai kapan. That is not my business. Tapi masalahnya volumenya itu lhooo, sudah seperti di Baar and Karaoke saja?Aku mau mendampingi dirimuAku mau cintai kekuranganmuSlalu bersedia bahagiakanmuApapun terjadi kujanjikan aku adaNah, kaaan?Bukannya dipelankan malah semakin dikeraskan! Bagaimana aku bisa konsentrasi belajar kalau begini ceritanya? Masa harus mengungsi di kamar tamu lagi, sih? Bukan apa-apa, aku malas naik turun tangganya. Belum lagi, di sana nggak ada pemanas ruangannya. Duh, duuuhhh, perlu pertimbangan sejuta k
Deru angin dingin yang mengantarkan beku, membuatku tersadar, sudah sampai di belakang rumah. Serta merta pandanganku tertuju pada rumah boneka berpagar kayu merah jambu, rumah khas Belanda. Garasi sepeda yang terletak di samping kiri pintu pagar terlihat teduh dan hangat. Dinding kayunya yang bercat ungu muda, terlihat kontras dengan warna pagar. Kontras yang manis, menurutku.Di samping garasi sepeda, aku memanfaatkan lahan kecil---sekitar tiga kali empat meter---sebagai taman bunga. Sebenarnya, aku nggak begitu suka bertaman atau berkebun. Tapi, hanya itu yang bisa kulakuan untuk mengisi waktu luang di rumah. Dari pada bengong alias blank, kan? Lebih baik diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.Begitu semangatnya, sampai-sampai aku membeli dua rak bunga putar dan meletakkannya di ujung taman. Sebenarnya, itu tempat untuk meja barbecue. Tapi karena Kenzy nggak pernah mengadakan, aku menggantinya dengan rak putar. Dua-duanya dipenuhi dengan bunga mawar dan dan aster. Warn
Seven months seven days.Itu usia pernikahan kami. Pernikahan yang terikat kuat meskipun berdasarkan sebuah kata pusaka, terpaksa. Bukan hanya aku yang terpaksa, tetapi Kenzy juga. Kami sama. Sama-sama terpojok oleh pahit dan sakitnya keadaan.Meskipun tetap nggak adil, menurutku. Iya, nggak adil, karena harus berdampingan dengan Kenzy yang sudah rusak ... Malu untuk mengakuinya, sebenarnya. Takut juga. Sebelum menikah denganku, Kenzy sudah sering terlibat dengan kasus obat-obatan terlarang. Sebelum menikah denganku, sudah beberapa kali keluar masuk hotel prodeo.Terapi di Rumah Sakit Jiwa pun sudah dijalaninya beberapa kali namun belum membuahkan hasil. Entah bagaimana, papanya yang rekan bisnis Papa, tiba-tiba punya pemikiran ajaib. Menurut pendapatku, papanya bukan mendapatkan wangsit secara misterius seperti yang diutarakannya. Aku yakin, dia hanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Well, sebagai rekan bisnis, pasti dia tahu kalau perusahaan Papa seda
Sumpah, meskipun sudah membaca Pippi Longstocking karya Astrid Anna Emilia Lindgren---secara acak---dan Love, Star Girl karya Jerry Spinelli---juga secara acak---nyatanya perasaanku belum membaik juga. Rasanya seperti selembar kertas yang disobek dengan kasar oleh seseorang karena berulang kali typo, diremas-remas hingga membentuk bola lalu dilemparkan begitu saja ke tempat sampah. Plung dan hilang. Tenggelam di antara sekeranjang sampah yang lain.Yeaaahhh, andai selembar kertas memiliki perasaan, sih!Ummm, sepertinya aku membutuhkan sesuatu selain buku, deh? Itu, untuk menghapus jejak dan bayangan Marcella dari ingatan yang mulai over loaded. Saloon and Spa, shopping, gardening atau berjemur di pantai? Tapi, masa sendiri, sih? Ahaaa, aku tahu, aku tahu! Es krim. Titik.Segera, aku mengemasi tiga novel
Aku meninggalkan speltuin yang semakin ramai oleh anak-anak dengan perasaan yang semakin berat, porak poranda. Takjub dengan semua yang menimpaku hari ini. Kenzy yang mengamuk di kamar mandi tadi pagi, tanpa sebab yang kuketahui. Katakanlah dia mabuk kuadrat dan mengacak-acak lemari perlengkapan dengan sempurna. Tetap saja amazing tralala, rasanya. Ketika aku menyalurkan empati dengan menanyakan apa yang telah terjadi, dia malah semakin mengamuk. Matanya melotot besar sekali seolah-olah aku baru saja menegurnya dengan kata-kata, "Hei, apa yang kamu lakukan, Kenzy?"Auto mundur alon-alon lah, aku. Tahu, kan? Mundur perlahan-lahan. Menyelamatkan diri. Kalau sudah melotot seperti itu, berarti mabuknya parah. Jadi, lebih baik aku yang mengalah. Nggak, nggak mungkin kembali ke kamar. Takut. Jadi, aku langsung berderap menuruni tangga menuju ruang makan keluarga yang terletak di dapur.
Aku nggak tahu, harus sedih atau bahagia. Harus segera pulang atau tetap di sini, menghabiskan es krim dan brownies favorit. Ummm, yang jelas, harus membalas chat Kenzy, kan? Enak saja dia, menuduhku seperti itu? Kenzy jahat![Sorry?] ketikku di chat room lalu mengirimkannya dengan peasaan marah. Kadang-kadang Kenzy sulit untuk dimengerti, sungguh.Well, memang bukan urusanku, kalau pun pada kenyataan Kenzy terikat dalam hubungan khusus dengan Marcella. Tapi nggak perlu marah juga, dong? Apa salahku? Toh, Marcella pasti sudah memberi tahu kalau dia ke rumah, kan? Buktinya dia sudah tahu. Apa masalahnya, coba?Dooong!Kenzy: [At least, kamu chat aku, dong?]Hellooo, any body home?Sej
Nggak mau pusing dengan kehidupan Kenzy yang semakin terlihat memprihatinkan, aku memutuskan untuk pergi ke toko buku. Bersama Elize, tentu saja. Sebenarnya aku nggak mengajaknya sih, dia sendiri yang menawarkan diri. Well, hanya orang bodoh yang menolak tawaran manisnya. Apalagi katanya, Tante Theodora sudah ada yang menemani di rumah. Kakaknya yang tingggal di Sidney, Australia mengirimkan istrinya untuk menjaga Tante Theodora selama dua minggu ini. Mumpung belum punya momongan, katanya begitu.What ever that may be, aku sedang bersiap-siap sekarang. Silakan saja, jika Kenzy mau membuat hidupnya lebih hancur atau bagaimana. Bukan urusanku lagi. Dia yang nggak bisa mengendalikan dirinya, bukan karena kesalahanku. Well, aku isteri yang manis dan menyenangkan, bukan? Salah satu buktinya, tetap menyiapkan makan siang untuknya walaupun masih bad mood. Dia requests pizza tadi, beberapa menit setelah aku sampai di kamar dan menghem
Rose Bucket, The Purple Love, Love is Blind ... Aku mulai membaca judul-judul novel yang tersusun rapi di rak kayu yang dicat oranye. My Romantic Husband, A Love in Amsterdam ... Kok, aku kurang suka ya, dengan genre ini? Baiklah, sepertinya harus kembali ke habitat semula, deh? Teenlit.Jadi, inilah yang kulakukan sekarang. Mencari rak buku teenlit yang menurut denah ruangan terletak di sekitar rak buku komik dan majalah anak. Dengan ringan hati, aku melangkah ke sana. Melewati rak-rak buku yang di atasnya bertuliskan Hobbies, Pets dan Crafts. Sebenarnya, aku tertarik untuk menyinggahi rak buku Pets tapi kuurungkan. Nanti lah, kalau waktunya masih cukup. Sekarang mencari novel teenlit dulu.Drrrttt, drrrttt!Smartphone bergetar indah, membuat hatiku mencelos dengan sempurna. Satu-satunya kontak yang kuberi ringtone
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja