"Run, tolong temenin Mama belanja. Katanya mau masak-masak buat nyambut kedatangan Tante Ratna dan Naima."Ucapan Alina yang menggantung langsung terhenti ketika Adi datang dan mengatakan sesuatu. Aku yang menanti jawaban dari Alina, harus berbesar hati tidak mendapatkan informasi mengenai di mana pernikahan Aldi akan digelar. Anggukkan kepala terasa hampa, tubuh yang berdiri pun terasa tak menapak bumi, saking kesal dan kecewanya aku pada Adi, karena masuk di waktu yang kurang tepat. "Anak-anak, gimana, Pak?" tanyaku seraya berbalik badan ketika kaki sudah hampir sampai di ambang pintu. "Anak-anak biar sama saya dan Papa di sini. Kamu ke supermarket saja sama Mama dan Bang Aldi."Untuk kedua kalinya aku mengangguk, kemudian keluar dari kamar Alina dan Adi. Ternyata, di luar sana Aldi dan ibunya sudah bersiap untuk pergi. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung lari ke kamar untuk mengambil tas dan ponsel, kemudian ikut dengan mereka. "Aruna duduk di depan saja sama Aldi, biar saya
"Aruna, mari makan bersama kita," ucap orang itu lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian membalikkan badan melihat siapa yang mengajakku bicara. Senyum kuukir semanis mungkin agar dia tidak mencurigaiku. Di bawah sana, sebelah kaki sengaja menginjak rokok yang masih menyala, hingga kurasakan panas tiada tara menyentuh kulit telapak kaki. "Tidak usah, Pak. Saya di sini saja," kataku menolak ajakan pria itu. "Ayolah, Runa. Jangan diam di sini seorang diri. Kamu berada satu atap dengan kami, berarti kamu pun bagian dari kami," ujar Adikara lagi lebih meyakinkanku.Senyum tulus tapi palsu kembali aku berikan. Badan terpaksa kutegakkan untuk menahan rasa sakit nan panas di bawah sana. "Terima kasih tawarannya, Pak. Tapi ... saya di sini saja. Maaf, bukan tidak sopan telah menolak ajakan Bapak, tapi saya sedang mengobrol dengan adik saya," kataku seraya mengacungkan ponsel seraya terbalik ke arah Adikara. "Oh, baiklah kalau begitu. Saya kembali lagi ke meja makan."Aku menganggu
Mataku celingukan mencari sekiranya ada orang lain yang melihat tingkahku saat ini. Setelah memastikan hanya aku seorang diri di sini, aku pun langsung pergi ke kamar dengan membawa serta pizza yang tadi aku simpan di atas meja. Pintu kamar aku tutup rapat-rapat, lalu kukunci dari dalam. Kemudian duduk di pinggir ranjang seraya memangku kotak berisikan pizza yang masih hangat. Mata ini membaca lagi pesan yang tadi seseorang kirim untukku.[Tidak bisakah kamu membaca nota pembelian yang diberikan kurir? Aku yang memesan makanan itu untukmu, Aruna. Karena kasihan padamu yang belum makan, dan tidak mau ikut makan dengan keluargaku.]Bunyi pesan itu masih sama seperti pertama aku membacanya tadi. Tidak terasa, kedua sudut bibirku terangkat membayangkan wajah Aldi yang mungkin tengah kesal padaku. Iya, rupanya Aldi lah yang memesan makanan ini untukku. Tanpa sepengetahuan orang lain, dia ternyata memperhatikanku. "Oh ... baik sekali bosku itu." Aku berkata seraya membuka kotak pizza, l
"Sudah, Run?" tanya Alina saat aku menghampiri dia dan Syafiq. "Sudah, Bu. Yuk, kita pulang sekarang. Takutnya Saffa keburu pulang." Alina mengangguk. Dia pun membujuk putranya untuk berhenti bermain dan pulang bersama kami. Meskipun awalnya sulit, tapi Syafiq akhirnya menurut. Dia mau diajak pulang meskipun wajahnya cemberut. Tidak ada pembicaraan penting selama perjalanan kami pulang. Ocehan masih didominasi Syafiq dan Alina. Dari depan, kulirik ibu dan anak itu dari spion. Tidak ada lagi guratan kesedihan dari wajah Alina, seperti satu minggu yang lalu. Dia sudah bisa tersenyum lebar dengan sesekali menggelitik putranya. "Run, apa kamu bisa menjahit?" Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan Alina. Namun, tak urung aku jawab dengan jujur sesuai yang aku mampu. "Bisa, Bu. Tapi ... sedikit," kataku diakhiri dengan kekehan. "Kalau begitu, kegiatan hari ini kita isi dengan jahit menjahit, saja, Run? Kita bikin baju, gitu?" tutur Alina lagi terdengar bersemangat. "Boleh, Bu. Ema
"Loh, kok masuk kamar Tante Aruna? Sini keluar bawa adeknya, Fa." Alina berucap seraya beranjak dari tempat tadi dia berdiri. Jantungku semakin berdegup kencang ketika Alina mulai berjalan ke arah kamarku. Dan dengan cepat, aku pun berjalan ke mana arah tujuan Alina, kemudian masuk ke kamar mendahului wanita itu. Setelah sampai di kamar, aku berdiri mematung kehabisan kata-kata. Perasaanku tak menentu antara kaget bercampur senang, karena ternyata bukan kardus berisikan minuman keras yang dibuka Syafiq. Melainkan paper bag berisikan kado pernikahan untuk Aldi yang aku beli tadi. "Ya ampun, Sayang. Simpan lagi, tidak boleh, lho buka-buka barang orang lain. Yuk, kita keluar, yuk!" Alina bergegas masuk dan mengajak kedua anaknya untuk pergi dari kamarku. Seperti orang bodoh, aku hanya bisa diam seraya memperhatikan dua anak yang digiring ibunya keluar. Setelahnya, aku langsung menghembuskan napas lega karena terbebas dari masalah besar. "Uuh .... Untung saja bukan tempat rokokku yan
"Kak Aruna!" Luna berseru, kemudian langsung lari memelukku. "Eh, lo siapa? Ngapain di rumah gue, minum-minum, goda-godain adek gue?!" teriakku lagi membuat beberapa pria yang duduk di kursi saling pandang. Aku benar-benar dibuat naik darah melihat pemandangan yang begitu sangat menyesakkan. Luna adikku, dibabukan oleh orang tak dikenal, lalu digoda dengan sentuhan nakal tangan-tangan menjijikkan itu. "Gue temannya Damar, lalu lo siapa? Datang-datang teriak-teriak sambil marah-marah," ucap salah satu pria seraya berdiri. Aku maju satu langkah semakin dekat ke arah mereka. Kantong plastik berisikan kue pemberian Alina, aku lempar sekenanya hingga mengenai wajah laki-laki itu. "Kurang ajar!" geramnya tidak terima. Laki-laki itu melayangkan tangan hendak memukul wajahku, tapi teriakan seorang pria yang baru saja keluar dari dalam kamar menghentikan aksi pria asing itu. Damar. Dia datang dengan bertelanjang dada. Berjalan menghampiriku, menarik tangan temannya untuk menjauh. Enta
"Jadi, kamu yang pakai mobil Alina?" Aku mengangguk pelan. Di sampingku, Luna berdiri dengan memegang lenganku erat. Dia terlihat takut ketika melihat Aldi yang berucap sangat dingin padaku. "Habis dari mana memang?" tanya Aldi lagi. "Tadi, saya ijin pulang karena rindu dengan adik saya, terus ... saya bawa dia makan sebentar di sini." Aku menunjuk bangunan di belakangku. "Terus, sekarang mau ke mana?" "Pulang," jawabku singkat. Aldi tidak bicara lagi. Dia menyingkir dari mobil Alina, kemudian masuk ke dalam restoran tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku dan Luna membalikkan badan, melihat punggung pria itu yang mulai menghilang menjauh dari pandangan. "Kak, itu tadi bosnya, Kakak?" tanya Luna. "Iya. Yuk, kita pulang saja."Aku berjalan mendahului Luna, lalu cepat-cepat anak itu mengikuti langkahku yang sudah berada di dalam mobil. "Kak, kok bos Kakak itu dingin sekali? Apa Kakak betah berkerja dengannya?" Bukannya menjawab pertanyaan Luna, aku malah mengembuskan napas be
Harum bunga sedap malam menusuk indera penciuman, wanginya semerbak menghadirkan rasa tak biasa di dalam dada. Aku takut akan gagal mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, keyakinan sangat besar jika tujuanku akan tercapai.Kupandangi barang-barang seserahan yang tersusun rapi di atas meja besar, semuanya cantik, dihias seanggun mungkin untuk hantaran esok hari. Iya, di sinilah aku berada saat ini. Di rumah Dinata Wiratmadja, membantu mempersiapkan pernikahan putra pertama Dinata dan Nyonya Marta. Besok, adalah hari yang bersejarah. Besok, semua mata akan terpana dengan keindahan gedung pesta, dan pengantin yang berbahagia. Itu, harapan mereka. Harapanku? Semuanya menangis duka. "Runa, cobain baju ini, gih! Kemarin saya lupa ngasih ke kamu."Aku mengalihkan pandangan dari satu kotak seserahan yang isinya satu set perhiasan mewah, ke arah Nyonya Marta yang datang dengan barang di tangannya. "Ini baju apa, Bu?" tanyaku seraya mengambil kain yang terbungkus plastik bening dari t
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan