"Sudah, Run?" tanya Alina saat aku menghampiri dia dan Syafiq. "Sudah, Bu. Yuk, kita pulang sekarang. Takutnya Saffa keburu pulang." Alina mengangguk. Dia pun membujuk putranya untuk berhenti bermain dan pulang bersama kami. Meskipun awalnya sulit, tapi Syafiq akhirnya menurut. Dia mau diajak pulang meskipun wajahnya cemberut. Tidak ada pembicaraan penting selama perjalanan kami pulang. Ocehan masih didominasi Syafiq dan Alina. Dari depan, kulirik ibu dan anak itu dari spion. Tidak ada lagi guratan kesedihan dari wajah Alina, seperti satu minggu yang lalu. Dia sudah bisa tersenyum lebar dengan sesekali menggelitik putranya. "Run, apa kamu bisa menjahit?" Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan Alina. Namun, tak urung aku jawab dengan jujur sesuai yang aku mampu. "Bisa, Bu. Tapi ... sedikit," kataku diakhiri dengan kekehan. "Kalau begitu, kegiatan hari ini kita isi dengan jahit menjahit, saja, Run? Kita bikin baju, gitu?" tutur Alina lagi terdengar bersemangat. "Boleh, Bu. Ema
"Loh, kok masuk kamar Tante Aruna? Sini keluar bawa adeknya, Fa." Alina berucap seraya beranjak dari tempat tadi dia berdiri. Jantungku semakin berdegup kencang ketika Alina mulai berjalan ke arah kamarku. Dan dengan cepat, aku pun berjalan ke mana arah tujuan Alina, kemudian masuk ke kamar mendahului wanita itu. Setelah sampai di kamar, aku berdiri mematung kehabisan kata-kata. Perasaanku tak menentu antara kaget bercampur senang, karena ternyata bukan kardus berisikan minuman keras yang dibuka Syafiq. Melainkan paper bag berisikan kado pernikahan untuk Aldi yang aku beli tadi. "Ya ampun, Sayang. Simpan lagi, tidak boleh, lho buka-buka barang orang lain. Yuk, kita keluar, yuk!" Alina bergegas masuk dan mengajak kedua anaknya untuk pergi dari kamarku. Seperti orang bodoh, aku hanya bisa diam seraya memperhatikan dua anak yang digiring ibunya keluar. Setelahnya, aku langsung menghembuskan napas lega karena terbebas dari masalah besar. "Uuh .... Untung saja bukan tempat rokokku yan
"Kak Aruna!" Luna berseru, kemudian langsung lari memelukku. "Eh, lo siapa? Ngapain di rumah gue, minum-minum, goda-godain adek gue?!" teriakku lagi membuat beberapa pria yang duduk di kursi saling pandang. Aku benar-benar dibuat naik darah melihat pemandangan yang begitu sangat menyesakkan. Luna adikku, dibabukan oleh orang tak dikenal, lalu digoda dengan sentuhan nakal tangan-tangan menjijikkan itu. "Gue temannya Damar, lalu lo siapa? Datang-datang teriak-teriak sambil marah-marah," ucap salah satu pria seraya berdiri. Aku maju satu langkah semakin dekat ke arah mereka. Kantong plastik berisikan kue pemberian Alina, aku lempar sekenanya hingga mengenai wajah laki-laki itu. "Kurang ajar!" geramnya tidak terima. Laki-laki itu melayangkan tangan hendak memukul wajahku, tapi teriakan seorang pria yang baru saja keluar dari dalam kamar menghentikan aksi pria asing itu. Damar. Dia datang dengan bertelanjang dada. Berjalan menghampiriku, menarik tangan temannya untuk menjauh. Enta
"Jadi, kamu yang pakai mobil Alina?" Aku mengangguk pelan. Di sampingku, Luna berdiri dengan memegang lenganku erat. Dia terlihat takut ketika melihat Aldi yang berucap sangat dingin padaku. "Habis dari mana memang?" tanya Aldi lagi. "Tadi, saya ijin pulang karena rindu dengan adik saya, terus ... saya bawa dia makan sebentar di sini." Aku menunjuk bangunan di belakangku. "Terus, sekarang mau ke mana?" "Pulang," jawabku singkat. Aldi tidak bicara lagi. Dia menyingkir dari mobil Alina, kemudian masuk ke dalam restoran tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku dan Luna membalikkan badan, melihat punggung pria itu yang mulai menghilang menjauh dari pandangan. "Kak, itu tadi bosnya, Kakak?" tanya Luna. "Iya. Yuk, kita pulang saja."Aku berjalan mendahului Luna, lalu cepat-cepat anak itu mengikuti langkahku yang sudah berada di dalam mobil. "Kak, kok bos Kakak itu dingin sekali? Apa Kakak betah berkerja dengannya?" Bukannya menjawab pertanyaan Luna, aku malah mengembuskan napas be
Harum bunga sedap malam menusuk indera penciuman, wanginya semerbak menghadirkan rasa tak biasa di dalam dada. Aku takut akan gagal mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, keyakinan sangat besar jika tujuanku akan tercapai.Kupandangi barang-barang seserahan yang tersusun rapi di atas meja besar, semuanya cantik, dihias seanggun mungkin untuk hantaran esok hari. Iya, di sinilah aku berada saat ini. Di rumah Dinata Wiratmadja, membantu mempersiapkan pernikahan putra pertama Dinata dan Nyonya Marta. Besok, adalah hari yang bersejarah. Besok, semua mata akan terpana dengan keindahan gedung pesta, dan pengantin yang berbahagia. Itu, harapan mereka. Harapanku? Semuanya menangis duka. "Runa, cobain baju ini, gih! Kemarin saya lupa ngasih ke kamu."Aku mengalihkan pandangan dari satu kotak seserahan yang isinya satu set perhiasan mewah, ke arah Nyonya Marta yang datang dengan barang di tangannya. "Ini baju apa, Bu?" tanyaku seraya mengambil kain yang terbungkus plastik bening dari t
Jadi Damar sudah menjalankan misinya? Pandanganku langsung teralihkan pada pria yang masih berdiri gagah di depanku. Wajahnya berseri, tapi apakah rona itu akan tetap seperti sekarang saat tahu apa yang dilakukan Damar? "Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Damar seraya mengerutkan kening. Aku menggelengkan kepala seraya memasukkan ponsel ke dalam tas, kemudian berjalan mendekati mobil setelah mendapatkan intruksi dari Alina untuk segera berangkat ke tempat tujuan. Semua rombongan keluarga mulai meninggalkan rumah besar Dinata Wiratmadja. Karena aku hanyalah bawahan, maka sangat tidak mungkin berada satu mobil bersama calon pengantin pria. Meskipun aku sangat menginginkannya. Sialnya, aku harus satu kendaraan dengan saudara Alina yang sama sekali tidak aku kenal. Alhasil, tidak ada kata yang keluar dariku, karena memang tidak diajak bicara oleh mereka. Ah, sungguh menyebalkan! Dan ponsellah yang akhirnya menjadi pelampiasan rasa kesal ini. Aku terus berkirim kabar dengan D
Suasana menjadi tegang saat Dinata Wiratmadja berdiri dan menatap putrinya tajam. Begitu pun dengan Nyonya Marta yang tak melepaskan pandangan dari Alina. "Kamu bicara apa, Al?" Kini Aldi yang bertanya. "Tante Ratna dan Naima tidak ada, Bang," ucap Alina. "Mah, gimana ini? Kenapa jam segini Tante Ratna dan Naima belum datang?" "Mana Mama tahu? Katanya, kan dia akan datang lebih awal dan berhias di sini, coba kamu telepon, deh." Nyonya Marta berujar dengan sedikit emosi. Keadaan di sini sudah tidak baik-baik saja. Keluarga Aldi mulai panik karena calon pengantin wanita tak kunjung tiba. Beberapa kali Alina menghubungi Naima, tapi tidak ada satu orang pun yang mengangkat teleponnya. Namun, yang kuherankan ialah, kenapa Tante Ratna pun enggan menerima panggilan dari Alina? Apa jangan-jangan Damar ...."Gak diangkat terus, Mah." Alina berucap dengan tidak melihat ibunya. Nyonya Marta terlihat gusar, raut kekhawatiran jelas terpancar dari wajah tua wanita itu. Begitu pun dengan Dina
"Bu, bangun," kataku seraya menggoyangkan bahu Nyonya Marta yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang pengantin. Hiasan bunga yang semula terlihat indah dan rapi, kini sudah berantakan tak berbentuk lagi. Aku ditugaskan Alina untuk menjaga ibunya selama dia pergi mencari bantuan. Tidak lama kemudian, Alina datang dengan ibu mertua serta anak-anaknya. Di belakang mereka, wanita yang tak asing bagiku ikut masuk dan langsung menghampiri Nyonya Marta. "Tolong periksa Mama, Dok." Alina bicara pada wanita tadi. Dan aku pun sedikit menggeser tubuh memberikan ruang pada wanita bergelar dokter itu. Beberapa saat memeriksa Nyonya Marta, Kamila pun menyuruh Alina mengoleskan minyak kayu putih di sekitar bawah hidung, dan akhirnya Nyonya Marta pun siuman. Buru-buru aku mengambil air minum, dan langsung memberikannya pada wanita tua itu. "Duh, kepalaku," ujar Nyonya Marta sangat pelan. "Mama, apa yang sakit? Kenapa jadi begini, Mah?" Alina menghampiri ibunya, kemudian mereka saling