Harum bunga sedap malam menusuk indera penciuman, wanginya semerbak menghadirkan rasa tak biasa di dalam dada. Aku takut akan gagal mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, keyakinan sangat besar jika tujuanku akan tercapai.Kupandangi barang-barang seserahan yang tersusun rapi di atas meja besar, semuanya cantik, dihias seanggun mungkin untuk hantaran esok hari. Iya, di sinilah aku berada saat ini. Di rumah Dinata Wiratmadja, membantu mempersiapkan pernikahan putra pertama Dinata dan Nyonya Marta. Besok, adalah hari yang bersejarah. Besok, semua mata akan terpana dengan keindahan gedung pesta, dan pengantin yang berbahagia. Itu, harapan mereka. Harapanku? Semuanya menangis duka. "Runa, cobain baju ini, gih! Kemarin saya lupa ngasih ke kamu."Aku mengalihkan pandangan dari satu kotak seserahan yang isinya satu set perhiasan mewah, ke arah Nyonya Marta yang datang dengan barang di tangannya. "Ini baju apa, Bu?" tanyaku seraya mengambil kain yang terbungkus plastik bening dari t
Jadi Damar sudah menjalankan misinya? Pandanganku langsung teralihkan pada pria yang masih berdiri gagah di depanku. Wajahnya berseri, tapi apakah rona itu akan tetap seperti sekarang saat tahu apa yang dilakukan Damar? "Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Damar seraya mengerutkan kening. Aku menggelengkan kepala seraya memasukkan ponsel ke dalam tas, kemudian berjalan mendekati mobil setelah mendapatkan intruksi dari Alina untuk segera berangkat ke tempat tujuan. Semua rombongan keluarga mulai meninggalkan rumah besar Dinata Wiratmadja. Karena aku hanyalah bawahan, maka sangat tidak mungkin berada satu mobil bersama calon pengantin pria. Meskipun aku sangat menginginkannya. Sialnya, aku harus satu kendaraan dengan saudara Alina yang sama sekali tidak aku kenal. Alhasil, tidak ada kata yang keluar dariku, karena memang tidak diajak bicara oleh mereka. Ah, sungguh menyebalkan! Dan ponsellah yang akhirnya menjadi pelampiasan rasa kesal ini. Aku terus berkirim kabar dengan D
Suasana menjadi tegang saat Dinata Wiratmadja berdiri dan menatap putrinya tajam. Begitu pun dengan Nyonya Marta yang tak melepaskan pandangan dari Alina. "Kamu bicara apa, Al?" Kini Aldi yang bertanya. "Tante Ratna dan Naima tidak ada, Bang," ucap Alina. "Mah, gimana ini? Kenapa jam segini Tante Ratna dan Naima belum datang?" "Mana Mama tahu? Katanya, kan dia akan datang lebih awal dan berhias di sini, coba kamu telepon, deh." Nyonya Marta berujar dengan sedikit emosi. Keadaan di sini sudah tidak baik-baik saja. Keluarga Aldi mulai panik karena calon pengantin wanita tak kunjung tiba. Beberapa kali Alina menghubungi Naima, tapi tidak ada satu orang pun yang mengangkat teleponnya. Namun, yang kuherankan ialah, kenapa Tante Ratna pun enggan menerima panggilan dari Alina? Apa jangan-jangan Damar ...."Gak diangkat terus, Mah." Alina berucap dengan tidak melihat ibunya. Nyonya Marta terlihat gusar, raut kekhawatiran jelas terpancar dari wajah tua wanita itu. Begitu pun dengan Dina
"Bu, bangun," kataku seraya menggoyangkan bahu Nyonya Marta yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang pengantin. Hiasan bunga yang semula terlihat indah dan rapi, kini sudah berantakan tak berbentuk lagi. Aku ditugaskan Alina untuk menjaga ibunya selama dia pergi mencari bantuan. Tidak lama kemudian, Alina datang dengan ibu mertua serta anak-anaknya. Di belakang mereka, wanita yang tak asing bagiku ikut masuk dan langsung menghampiri Nyonya Marta. "Tolong periksa Mama, Dok." Alina bicara pada wanita tadi. Dan aku pun sedikit menggeser tubuh memberikan ruang pada wanita bergelar dokter itu. Beberapa saat memeriksa Nyonya Marta, Kamila pun menyuruh Alina mengoleskan minyak kayu putih di sekitar bawah hidung, dan akhirnya Nyonya Marta pun siuman. Buru-buru aku mengambil air minum, dan langsung memberikannya pada wanita tua itu. "Duh, kepalaku," ujar Nyonya Marta sangat pelan. "Mama, apa yang sakit? Kenapa jadi begini, Mah?" Alina menghampiri ibunya, kemudian mereka saling
"Naima yang malang," ujarku lagi dengan pandangan tak lepas dari ponsel. Beberapa kali mata ini memicing menyaksikan drama yang diciptakan Damar hingga membuat seorang wanita terlihat sangat terhina.Naima, wanita yang dikenal salihah dan agamis, dipergoki oleh calon suaminya di sebuah kamar hotel dengan tubuh tanpa busana bersama seorang pria. Bisa kubayangkan bagaimana marahnya Aldi, dan sedalam apa rasa malu yang dirasakan Naima sekarang ini. Harga diri, nama baik, hancur berkeping-keping dalam sekejap. "Huh ...." Aku membuang napas seraya menempelkan ponsel ke dada. Ada perasaan salah dari lubuk hati karena telah membuat seorang wanita tersakiti oleh rencanaku. Namun, mata ini tidak boleh tertutup hingga membuat mengurungkan niat yang sudah bulat.Aku harus tetap melanjutkan pembalasan ini, dan optimis jika akan berhasil membuat Rindu mendapatkan keadilan. "Ada apa, sih dengan Aldi dan Naima? Kenapa Naima tidak datang ke sini, dan ada apa hingga Aldi terlihat marah saat kemba
"Apa kamu punya pilihan lain selain ini? Apa kamu tahu bagaimana caranya pergi dari sini dengan wajah yang utuh tanpa noda?" tanya Dinata Wiratmadja seraya menatap tajam Aldi. "Jika jawabannya adalah dengan tidak ada pernikahan, itu bukanlah solusi yang tepat." "Tapi, tidak Aruna, Pah.""Lalu siapa?" Dinata kembali bertanya, dan kini pada istrinya yang baru saja berucap."Mama gak tahu, tapi ... setidaknya carilah wanita yang tepat untuk jadi istri Aldi, Pah.""Apa Mama pikir Aruna tidak tepat?" sergah Dinata. "Ini ... ini hanya untuk menyelamatkan nama baik kita." Dinata melanjutkan kata-katanya yang kali ini membuatku mengangkat kepala. Sorot mata itu kubalas dengan pandangan tidak mengerti. Ucapan Dinata terdengar ambigu di telingaku. Apakah maksudnya aku akan dijadikan istri sementara? Ataukah bayaran? Oh ... sungguh kesombongan yang begitu melekat dalam keluarga ini. "Aruna, kamu bersedia?" Pertanyaan kali ini Dinata tujukan padaku. "Saya ... saya—""Mama tetap tidak setuju
Jantungku berdebar seirama dengan detak jarum jam yang tidak pernah berhenti mengiringi suara hati. Rasa bahagia dan rasa tidak percaya melekat di dalam dada ketika sepasang mata ini menyaksikan bayangan diri di dalam cermin. Sungguh cantik berbalutkan gaun indah yang melekat membungkus badan. Aku terpana dengan keindahan paras diri yang berhiaskan mahkota di atas kepala bak seorang putri raja. "Bu Aruna, mari kita keluar," ujar seorang wanita muda yang sedari tadi berada di ruangan ini bersamaku. Aku mengangguk, kemudian mulai meninggalkan cermin yang menjadi tempat favoritku sejak beberapa menit yang lalu. "Aruna, kita ke depan sekarang." Tiba-tiba saja Alina datang dan mengajakku ke tempat di mana akan dilangsungkannya acara pernikahan. Oh, aku sungguh tidak sabar bersanding di pelaminan bersama sang pangeran. Sebelah tanganku dipegang Alina, dan yang satunya lagi diapit wanita muda asisten dari perias pengantin tadi. Seharusnya, Naima lah yang memakai gaun indah nan mahal
Kata orang-orang malam pengantin adalah malam paling indah. Malam pertama, adalah dambaan setiap pasangan yang baru saja menikah. Namun ... sepertinya kalimat itu tidak berlaku bagiku. Jangankan bermanja dan bermesraan dengan pasangan, suamiku saja sedari tadi sibuk dengan pulpen dan bukunya. Entahlah apa yang sedang dia tulis hingga tidak sedikit pun berniat untuk datang dan melihatku yang mendambakannya."Ekhem!" Aku berdehem untuk memancing pria itu agar mau melihatku. Akan tetapi, nihil. Dia hanya berhenti mengangkat kepala sejenak, lalu kembali fokus pada apa yang ada di depan wajahnya. Pesta yang seharusnya digelar dengan meriah, terpaksa harus berakhir di tengah-tengah. Kenapa? Karena Dinata Wiratmadja dan keluarganya lelah menghadapi semua orang yang mempertanyakan alasan tentang mempelai wanita yang berbeda. Alhasil, di sinilah aku berada saat ini. Di kamar pengantin yang tidak seindah dalam anganku. "Tanda tangan di sini."Bariton suara pria membuatku mengangkat kepala