Jantungku berdebar seirama dengan detak jarum jam yang tidak pernah berhenti mengiringi suara hati. Rasa bahagia dan rasa tidak percaya melekat di dalam dada ketika sepasang mata ini menyaksikan bayangan diri di dalam cermin. Sungguh cantik berbalutkan gaun indah yang melekat membungkus badan. Aku terpana dengan keindahan paras diri yang berhiaskan mahkota di atas kepala bak seorang putri raja. "Bu Aruna, mari kita keluar," ujar seorang wanita muda yang sedari tadi berada di ruangan ini bersamaku. Aku mengangguk, kemudian mulai meninggalkan cermin yang menjadi tempat favoritku sejak beberapa menit yang lalu. "Aruna, kita ke depan sekarang." Tiba-tiba saja Alina datang dan mengajakku ke tempat di mana akan dilangsungkannya acara pernikahan. Oh, aku sungguh tidak sabar bersanding di pelaminan bersama sang pangeran. Sebelah tanganku dipegang Alina, dan yang satunya lagi diapit wanita muda asisten dari perias pengantin tadi. Seharusnya, Naima lah yang memakai gaun indah nan mahal
Kata orang-orang malam pengantin adalah malam paling indah. Malam pertama, adalah dambaan setiap pasangan yang baru saja menikah. Namun ... sepertinya kalimat itu tidak berlaku bagiku. Jangankan bermanja dan bermesraan dengan pasangan, suamiku saja sedari tadi sibuk dengan pulpen dan bukunya. Entahlah apa yang sedang dia tulis hingga tidak sedikit pun berniat untuk datang dan melihatku yang mendambakannya."Ekhem!" Aku berdehem untuk memancing pria itu agar mau melihatku. Akan tetapi, nihil. Dia hanya berhenti mengangkat kepala sejenak, lalu kembali fokus pada apa yang ada di depan wajahnya. Pesta yang seharusnya digelar dengan meriah, terpaksa harus berakhir di tengah-tengah. Kenapa? Karena Dinata Wiratmadja dan keluarganya lelah menghadapi semua orang yang mempertanyakan alasan tentang mempelai wanita yang berbeda. Alhasil, di sinilah aku berada saat ini. Di kamar pengantin yang tidak seindah dalam anganku. "Tanda tangan di sini."Bariton suara pria membuatku mengangkat kepala
"Luna, ada apa, Dek?" tanyaku kemudian. Isak Luna mereda, tapi dia tak kunjung bicara. Hingga akhirnya, terdengar helaan napas panjang dari sebrang sana. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya sedih saja, karena tidak bisa memberikan pelukan hangat di saat pergantian status Kak Aruna. Selamat, ya Kak. Sekarang Kakak sudah menjadi seorang istri. Tadi Kakak terlihat cantik seperti putri dengan gaun dan mahkota di kepala.""Tadi kamu melihat Kakak?" tanyaku lagi. "Iya, tadi aku datang dan menyusup masuk untuk melihat kakakku menikah dengan seorang pria kaya raya.""Kenapa kamu tidak menemui Kakak, Lun?" "Siapa aku, Kak? Aku bukanlah tamu undangan yang bisa diizinkan menghampiri pengantin. Sedih, memang sebagai keluarga satu-satunya Kak Aruna, aku tidak berada di sana secara langsung. Bahkan, fotoku pun tak ada di album keluarga kalian. Tapi ....""Luna," kataku menghentikan ucapannya yang terdengar ngelantur. Luna berhenti bicara, tapi suaranya berganti dengan tangis yang terdengar jelas. S
"Donita, apa yang kamu lakukan?" tanya Aldi seraya mencekal tangan wanita itu. Donita Aldi memangilnya. Itu artinya, dia mengenal wanita lancang yang sudah membuatku malu setengah mati. Lihatlah, kini diriku jadi tontonan pengunjung lain. Mungkin mereka mengira aku selingkuhan yang dilabrak istri sah. Sungguh memalukan! "Aku sedang memberi pelajaran pada pelakor ini!" ujar wanita itu seraya menunjuk wajahku. "Pelakor? Jaga, ya mulutmu! Suami siapa yang aku rebut? Laki-laki mana yang aku ambil dari pasangannya?!" Aku naik pitam dan langsung mendorong dada wanita itu hingga mundur satu langkah ke belakang. "Dia!" Wanita itu menunjuk Aldi. "Seharusnya dia menikah dengan temanku, bukan denganmu! Kamu merebutnya dari Naima!""Diam!" ujar Aldi berteriak. Aku yang hendak menjawab ucapan wanita itu, terpaksa menutup mulut dengan dada yang naik turun. Begitu pun dengan wanita bernama Donita itu. Dia tidak lagi bicara, dan menatapku dengan penuh kebencian. "Bisa, gak kalian ini tidak s
[Kak, aku sudah di depan hotel, nih. Tapi ... aku gak berani masuk, takut nyasar.] Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala membaca pesan yang baru saja Luna kirimkan.[Tunggu di bawah saja, Kakak akan menjemputmu ke sana. Bersama siapa kamu ke sini?] balasku kemudian. [Sama Kak Damar, Kak. Tadi aku minta dia buat anterin aku ke sini. Sekarang, dia juga masih bersamaku, katanya tidak akan pulang sebelum aku benar-benar bersama Kak Aruna.][Bagus,] balasku singkat. Aku senang jika Damar peduli pada Luna dan menjaganya dengan baik. Dengan begitu, aku jadi tidak khawatir meninggalkan adikku itu bersama pria pendendam itu. Ah, aku pun sama juga dengan Damar. Sama-sama punya dendam pada orang yang saat ini tengah serius dengan laptopnya. Selalu seperti itu. Aldi tidak pernah berubah dari sejak masih menjadi suami Rindu, hingga kini telah jadi suamiku. Hobinya hanya kerja, tidak peduli di mana kami berada saat ini. "Pak," panggilku membuat Aldi menoleh. "Adik saya sudah berada di baw
"Maksudmu?" tanya Aldi setelah Luna selesai berucap. Aku melihat mereka berdua bergantian. Luna dengan raut kecewanya, dan Aldi dengan kening yang mengkerut tanda bingung. "Maksud Luna, menikah dengan Bapak adalah jalan yang dipilih Tuhan. Tanpa ada rencana sebelumnya, tanpa ada niatan untuk saya berumah tangga, tapi jika Allah sudah berkehendak, kita tidak bisa apa-apa," kataku seraya membuka kedua tangan dan kembali memindai wajah-wajah itu. Luna menunduk dengan tersenyum kecil, dan Aldi kembali pada ekspresi datarnya. Di sini, aku menarik napas dalam untuk menghilangkan rasa gugup akibat ucapan Luna yang memancing kebingungan Aldi. "Benar, pernikahan kalian terjadi karena garis takdir yang mengikuti. Sebagai adik, saya hanya mendoakan yang terbaik untuk pernikahan kalian. Dan ... tolong jaga Kak Aruna. Jangan tinggalkan dia apa pun yang terjadi nantinya," ujar Luna kemudian. Keheningan kembali tercipta di antara kami. Hingga akhirnya, Aldi berdiri dan berjalan ke arah koper mi
"Angkat, dong Bu. Aduh ... kok, Alina gak ngangkat teleponku, sih?" Aku bicara sendiri seraya terus berusaha menelpon Alina. Sayangnya, wanita itu tidak sama sekali menerima panggilanku. Pesan yang kukirim pun tidak dibacanya.Dug dug dug! "Aruna, kamu pingsan di sana? Kenapa lama sekali di dalam?!" Suara gedoran diikuti teriakan Aldi membuatku mengangkat kepala menatap daun pintu. Pasti sekarang ini dia tengah kesal karena terlalu lama di kamar mandi. "S–sebentar lagi, Pak," teriakku dari dalam sini. Tadi, aku pura-pura ingin buang air besar untuk bisa menghubungi Alina, meminta wanita itu agar tidak dulu mengemasi barang-barangku yang ada di rumahnya. Bukan tanpa alasan, aku tidak ingin orang rumah sana melihat apa yang aku sembunyikan di sana. Yang pastinya bisa membuat geger dan kaget Alina serta suaminya. "Kalau dalam hitungan ke tiga kamu tidak keluar, aku tinggalkan kami di sini!" ujar Aldi. "Satu ... dua ....""Iya, ini juga udah, kok!" Aku berteriak seraya membuka pintu
"Al, katanya Naima mengurung diri akibat kejadian kemarin," ujar Dinata Wiratmadja. Aldi mengembuskan napas kasar. Tangannya terulur mengambil satu butir anggur, lalu melahapnya. "Itu bukan urusanku, Pah," jawab Aldi masa bodoh. "Aku tidak menyangka kalau Naima seperti itu. Rasanya masih tidak percaya kalau Naima tidur dengan pria yang bukan suaminya." Alina ikut mengeluarkan pendapat."Bukti sudah di depan mata, Al. Dan kamu masih bilang tidak percaya? Bahkan suamimu pun melihatnya.""Iya, Bang. Mungkin karena aku selalu melihat dia dengan tampilan salihah, jadinya ... sedikit gak percaya. Kalau bukan Abang dan Mas Adi yang bilang dan melihatnya langsung, pasti aku akan menolak berita ini," tutur Alina lagi menjawab ucapan kakaknya. "Sudahlah, jangan membicarakan orang lain di sini. Tidak penting. Lebih baik membahas masa depan keluarga kita, daripada membicarakan orang yang sudah membuat kita kecewa. Dan kamu, Aldi. Sekarang kamu punya istri, bersikaplah baik pada dia, jangan me