"Maksudmu?" tanya Aldi setelah Luna selesai berucap. Aku melihat mereka berdua bergantian. Luna dengan raut kecewanya, dan Aldi dengan kening yang mengkerut tanda bingung. "Maksud Luna, menikah dengan Bapak adalah jalan yang dipilih Tuhan. Tanpa ada rencana sebelumnya, tanpa ada niatan untuk saya berumah tangga, tapi jika Allah sudah berkehendak, kita tidak bisa apa-apa," kataku seraya membuka kedua tangan dan kembali memindai wajah-wajah itu. Luna menunduk dengan tersenyum kecil, dan Aldi kembali pada ekspresi datarnya. Di sini, aku menarik napas dalam untuk menghilangkan rasa gugup akibat ucapan Luna yang memancing kebingungan Aldi. "Benar, pernikahan kalian terjadi karena garis takdir yang mengikuti. Sebagai adik, saya hanya mendoakan yang terbaik untuk pernikahan kalian. Dan ... tolong jaga Kak Aruna. Jangan tinggalkan dia apa pun yang terjadi nantinya," ujar Luna kemudian. Keheningan kembali tercipta di antara kami. Hingga akhirnya, Aldi berdiri dan berjalan ke arah koper mi
"Angkat, dong Bu. Aduh ... kok, Alina gak ngangkat teleponku, sih?" Aku bicara sendiri seraya terus berusaha menelpon Alina. Sayangnya, wanita itu tidak sama sekali menerima panggilanku. Pesan yang kukirim pun tidak dibacanya.Dug dug dug! "Aruna, kamu pingsan di sana? Kenapa lama sekali di dalam?!" Suara gedoran diikuti teriakan Aldi membuatku mengangkat kepala menatap daun pintu. Pasti sekarang ini dia tengah kesal karena terlalu lama di kamar mandi. "S–sebentar lagi, Pak," teriakku dari dalam sini. Tadi, aku pura-pura ingin buang air besar untuk bisa menghubungi Alina, meminta wanita itu agar tidak dulu mengemasi barang-barangku yang ada di rumahnya. Bukan tanpa alasan, aku tidak ingin orang rumah sana melihat apa yang aku sembunyikan di sana. Yang pastinya bisa membuat geger dan kaget Alina serta suaminya. "Kalau dalam hitungan ke tiga kamu tidak keluar, aku tinggalkan kami di sini!" ujar Aldi. "Satu ... dua ....""Iya, ini juga udah, kok!" Aku berteriak seraya membuka pintu
"Al, katanya Naima mengurung diri akibat kejadian kemarin," ujar Dinata Wiratmadja. Aldi mengembuskan napas kasar. Tangannya terulur mengambil satu butir anggur, lalu melahapnya. "Itu bukan urusanku, Pah," jawab Aldi masa bodoh. "Aku tidak menyangka kalau Naima seperti itu. Rasanya masih tidak percaya kalau Naima tidur dengan pria yang bukan suaminya." Alina ikut mengeluarkan pendapat."Bukti sudah di depan mata, Al. Dan kamu masih bilang tidak percaya? Bahkan suamimu pun melihatnya.""Iya, Bang. Mungkin karena aku selalu melihat dia dengan tampilan salihah, jadinya ... sedikit gak percaya. Kalau bukan Abang dan Mas Adi yang bilang dan melihatnya langsung, pasti aku akan menolak berita ini," tutur Alina lagi menjawab ucapan kakaknya. "Sudahlah, jangan membicarakan orang lain di sini. Tidak penting. Lebih baik membahas masa depan keluarga kita, daripada membicarakan orang yang sudah membuat kita kecewa. Dan kamu, Aldi. Sekarang kamu punya istri, bersikaplah baik pada dia, jangan me
"Mudah-mudahan siapa-siapa saja yang ada di sekitar sini tidak membuka kardus yang kubuang." Aku meletakkan kardus yang sedari tadi aku pegang di tong sampah tepat di depan rumah Alina. Biasanya, setiap hari akan ada orang yang mengangkut sampah di sini. Dan semoga saja orang itu secepatnya datang, biar hidupku aman. "Buruan!" ujar Aldi dari dalam mobil.Aku pun meninggalkan tempat sampah, lalu berlari kecil dan masuk ke mobil. Aldi menggerutu, tapi tidak aku indahkan. Sudah mulai terbiasa aku dengan kata-kata dia yang tidak enak di telinga. Jadi istri Aldi Wiratmadja itu harus kuat lahir batin. Bukan hanya tidak akan dinafkahi secara batin, aku pun tidak akan mendapatkan kata-kata pujian yang bernada mesra. Ah, itu mustahil untuk saat ini. "Maaf, Pak," kataku singkat. Mobil mulai melaju meninggalkan rumah Alina. Dan di tengah-tengah jalan, hujan turun dengan deras membuat udara panas berubah dingin. "Tidak berhenti dulu, Pak?" kataku akhirnya. "Tidak usah. Lama." Aku mengeru
"Kalian akan masuk kerja hari ini?" tanya Nyonya Marta saat kami sedang sarapan pagi ini. "Iya, Mah. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Apalagi ... di toko yang kemarin di kelola Naima."Hening. Semuanya diam setelah Aldi menyebutkan nama seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Mantan calon istri. "Kamu akan mencari ganti Naima?" tanya Dinata kemudian. "Sepertinya begitu. Tapi, aku belum tahu siapa yang akan menggantikan dia.""Kenapa gak Aruna saja?" Aku langsung mengangkat kepala menatap Nyonya Marta yang baru saja memberi usulan pada putranya. "Tidak, Mah. Aruna akan tetap jadi asistenku. Dia tidak akan mampu mengelola toko."Kini aku tersenyum kecut mendengar jawaban dari Aldi. Ya, memang benar apa yang dia katakan. Aku tidak akan mampu, karena aku bukanlah Naima yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. "Apa pun keputusanmu, Mama dukung, Al. Tapi, kamu harus ingat satu hal. Aruna, sekarang istrimu. Bedakan sikapmu di tempat kerja, dan
"Selamat pagi, Pak!" ucap karyawan toko serempak menyambut kedatangan kami. Menyapa Aldi, lebih tepatnya. Aku tersenyum manis kepada tiga wanita dan dua pria yang berdiri berjejer di depan pintu. Mereka membubarkan diri seiring dengan tubuh Aldi yang sudah masuk ke dalam toko. Dan aku masih mengikuti langkah kakinya yang berjalan lebar pergi ke sebuah ruangan. Harum parfum seorang wanita tercium saat Aldi membuka pintu. Barang-barang milik wanita itu pun masih tersimpan rapi tidak ada yang menyentuh. "Panggil semua karyawan," suruh Aldi padaku. "Untuk?" "Membereskan barang Naima."Aku tertegun. Benarkah apa yang aku dengar saat ini? Secepat itukah Aldi ingin melupakan Naima? "Kenapa diam? Tidak mendengar apa yang aku katakan tadi?" "Eh, iya, Pak. Saya mendengarnya." Buru-buru aku keluar dari ruangan Naima, lalu memanggil semua karyawan toko. Seperti yang tadi dia katakan padaku, Aldi benar-benar menyuruh karyawannya untuk mengemasi barang-barang milik mantan calon istrinya itu
"Tante, lepaskan Aruna!" Aldi buru-buru menghampiriku yang dijambak Tante Ratna. Suamiku itu langsung menarik tanganku, menjauhkanku dari jangkauan ibunya Naima. Namun, Tante Ratna tidak tinggal diam. Dia terus berusaha menyerangku meskipun tubuh ini sudah dalam kuasa Aldi. Iya, demi untuk menghindari Tante Ratna yang kesetanan, Aldi sampai memeluk tubuhku dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangan satunya terus menghalau serangan Tante Ratna yang membabi buta. "Tante, sudah hentikan! Sudah aku bilang, pernikahanku dengan Aruna bukan karena keinginan kami, ini murni perintah Papa demi menutupi rasa malu keluarga kami!" ujar Aldi berkata tegas. "Omong kosong! Kalian pasti memiliki hubungan di belakang Naima, bukan? Dan demi perempuan murahan ini, kamu tega menjebak Naima di hari pernikahannya! Kalian yang sudah menjebak putriku, membuat dia menjadi tersangka, padahal dia korban! Korban kebiadaban kalian!!" Tante Ratna berteriak kencang hingga urat-urat lehernya menegang. Tanganku
"Tadi kamu bilang sama Tante Ratna, terpaksa putus dari pacarmu karena menjalani pernikahan denganku. Jadi, setelah kamu dikhianati pria itu, kamu dan dia masih bersama?"Aku membulatkan mata seraya mengangguk pelan menyadari ke mana arah bicara Aldi. Rupanya dia mempercayai ucapan bohongku pada Tante Ratna tadi? "Tidak, tadi saya bohong demi untuk mendiamkan dia agar tidak menyalahkan saya terus, Pak," kataku akhirnya. "Oh, kirain kamu beneran masih sama pria itu."Aku menggelengkan kepala. Setelah drama Tante Ratna berakhir, Aldi membawaku pergi dari toko sepatu, lalu melanjutkan perjalanan ke pabrik tempatku pertama kali bertemu dengan Aldi Wiratmadja. Kupandangi bangunan di depan sana yang sudah menjadi jalan menuju posisiku saat ini. Senyumku mengembang ketika banyak sekali karangan bunga di depan pabrik yang bertuliskan doa serta ucapan selamat atas pernikahan aku dan Aldi. "Bunganya bagus," kataku menghampiri salah satu karangan bunga, lalu memotretnya. "Bagus katamu? Ap