Kata orang-orang malam pengantin adalah malam paling indah. Malam pertama, adalah dambaan setiap pasangan yang baru saja menikah. Namun ... sepertinya kalimat itu tidak berlaku bagiku. Jangankan bermanja dan bermesraan dengan pasangan, suamiku saja sedari tadi sibuk dengan pulpen dan bukunya. Entahlah apa yang sedang dia tulis hingga tidak sedikit pun berniat untuk datang dan melihatku yang mendambakannya."Ekhem!" Aku berdehem untuk memancing pria itu agar mau melihatku. Akan tetapi, nihil. Dia hanya berhenti mengangkat kepala sejenak, lalu kembali fokus pada apa yang ada di depan wajahnya. Pesta yang seharusnya digelar dengan meriah, terpaksa harus berakhir di tengah-tengah. Kenapa? Karena Dinata Wiratmadja dan keluarganya lelah menghadapi semua orang yang mempertanyakan alasan tentang mempelai wanita yang berbeda. Alhasil, di sinilah aku berada saat ini. Di kamar pengantin yang tidak seindah dalam anganku. "Tanda tangan di sini."Bariton suara pria membuatku mengangkat kepala
"Luna, ada apa, Dek?" tanyaku kemudian. Isak Luna mereda, tapi dia tak kunjung bicara. Hingga akhirnya, terdengar helaan napas panjang dari sebrang sana. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya sedih saja, karena tidak bisa memberikan pelukan hangat di saat pergantian status Kak Aruna. Selamat, ya Kak. Sekarang Kakak sudah menjadi seorang istri. Tadi Kakak terlihat cantik seperti putri dengan gaun dan mahkota di kepala.""Tadi kamu melihat Kakak?" tanyaku lagi. "Iya, tadi aku datang dan menyusup masuk untuk melihat kakakku menikah dengan seorang pria kaya raya.""Kenapa kamu tidak menemui Kakak, Lun?" "Siapa aku, Kak? Aku bukanlah tamu undangan yang bisa diizinkan menghampiri pengantin. Sedih, memang sebagai keluarga satu-satunya Kak Aruna, aku tidak berada di sana secara langsung. Bahkan, fotoku pun tak ada di album keluarga kalian. Tapi ....""Luna," kataku menghentikan ucapannya yang terdengar ngelantur. Luna berhenti bicara, tapi suaranya berganti dengan tangis yang terdengar jelas. S
"Donita, apa yang kamu lakukan?" tanya Aldi seraya mencekal tangan wanita itu. Donita Aldi memangilnya. Itu artinya, dia mengenal wanita lancang yang sudah membuatku malu setengah mati. Lihatlah, kini diriku jadi tontonan pengunjung lain. Mungkin mereka mengira aku selingkuhan yang dilabrak istri sah. Sungguh memalukan! "Aku sedang memberi pelajaran pada pelakor ini!" ujar wanita itu seraya menunjuk wajahku. "Pelakor? Jaga, ya mulutmu! Suami siapa yang aku rebut? Laki-laki mana yang aku ambil dari pasangannya?!" Aku naik pitam dan langsung mendorong dada wanita itu hingga mundur satu langkah ke belakang. "Dia!" Wanita itu menunjuk Aldi. "Seharusnya dia menikah dengan temanku, bukan denganmu! Kamu merebutnya dari Naima!""Diam!" ujar Aldi berteriak. Aku yang hendak menjawab ucapan wanita itu, terpaksa menutup mulut dengan dada yang naik turun. Begitu pun dengan wanita bernama Donita itu. Dia tidak lagi bicara, dan menatapku dengan penuh kebencian. "Bisa, gak kalian ini tidak s
[Kak, aku sudah di depan hotel, nih. Tapi ... aku gak berani masuk, takut nyasar.] Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala membaca pesan yang baru saja Luna kirimkan.[Tunggu di bawah saja, Kakak akan menjemputmu ke sana. Bersama siapa kamu ke sini?] balasku kemudian. [Sama Kak Damar, Kak. Tadi aku minta dia buat anterin aku ke sini. Sekarang, dia juga masih bersamaku, katanya tidak akan pulang sebelum aku benar-benar bersama Kak Aruna.][Bagus,] balasku singkat. Aku senang jika Damar peduli pada Luna dan menjaganya dengan baik. Dengan begitu, aku jadi tidak khawatir meninggalkan adikku itu bersama pria pendendam itu. Ah, aku pun sama juga dengan Damar. Sama-sama punya dendam pada orang yang saat ini tengah serius dengan laptopnya. Selalu seperti itu. Aldi tidak pernah berubah dari sejak masih menjadi suami Rindu, hingga kini telah jadi suamiku. Hobinya hanya kerja, tidak peduli di mana kami berada saat ini. "Pak," panggilku membuat Aldi menoleh. "Adik saya sudah berada di baw
"Maksudmu?" tanya Aldi setelah Luna selesai berucap. Aku melihat mereka berdua bergantian. Luna dengan raut kecewanya, dan Aldi dengan kening yang mengkerut tanda bingung. "Maksud Luna, menikah dengan Bapak adalah jalan yang dipilih Tuhan. Tanpa ada rencana sebelumnya, tanpa ada niatan untuk saya berumah tangga, tapi jika Allah sudah berkehendak, kita tidak bisa apa-apa," kataku seraya membuka kedua tangan dan kembali memindai wajah-wajah itu. Luna menunduk dengan tersenyum kecil, dan Aldi kembali pada ekspresi datarnya. Di sini, aku menarik napas dalam untuk menghilangkan rasa gugup akibat ucapan Luna yang memancing kebingungan Aldi. "Benar, pernikahan kalian terjadi karena garis takdir yang mengikuti. Sebagai adik, saya hanya mendoakan yang terbaik untuk pernikahan kalian. Dan ... tolong jaga Kak Aruna. Jangan tinggalkan dia apa pun yang terjadi nantinya," ujar Luna kemudian. Keheningan kembali tercipta di antara kami. Hingga akhirnya, Aldi berdiri dan berjalan ke arah koper mi
"Angkat, dong Bu. Aduh ... kok, Alina gak ngangkat teleponku, sih?" Aku bicara sendiri seraya terus berusaha menelpon Alina. Sayangnya, wanita itu tidak sama sekali menerima panggilanku. Pesan yang kukirim pun tidak dibacanya.Dug dug dug! "Aruna, kamu pingsan di sana? Kenapa lama sekali di dalam?!" Suara gedoran diikuti teriakan Aldi membuatku mengangkat kepala menatap daun pintu. Pasti sekarang ini dia tengah kesal karena terlalu lama di kamar mandi. "S–sebentar lagi, Pak," teriakku dari dalam sini. Tadi, aku pura-pura ingin buang air besar untuk bisa menghubungi Alina, meminta wanita itu agar tidak dulu mengemasi barang-barangku yang ada di rumahnya. Bukan tanpa alasan, aku tidak ingin orang rumah sana melihat apa yang aku sembunyikan di sana. Yang pastinya bisa membuat geger dan kaget Alina serta suaminya. "Kalau dalam hitungan ke tiga kamu tidak keluar, aku tinggalkan kami di sini!" ujar Aldi. "Satu ... dua ....""Iya, ini juga udah, kok!" Aku berteriak seraya membuka pintu
"Al, katanya Naima mengurung diri akibat kejadian kemarin," ujar Dinata Wiratmadja. Aldi mengembuskan napas kasar. Tangannya terulur mengambil satu butir anggur, lalu melahapnya. "Itu bukan urusanku, Pah," jawab Aldi masa bodoh. "Aku tidak menyangka kalau Naima seperti itu. Rasanya masih tidak percaya kalau Naima tidur dengan pria yang bukan suaminya." Alina ikut mengeluarkan pendapat."Bukti sudah di depan mata, Al. Dan kamu masih bilang tidak percaya? Bahkan suamimu pun melihatnya.""Iya, Bang. Mungkin karena aku selalu melihat dia dengan tampilan salihah, jadinya ... sedikit gak percaya. Kalau bukan Abang dan Mas Adi yang bilang dan melihatnya langsung, pasti aku akan menolak berita ini," tutur Alina lagi menjawab ucapan kakaknya. "Sudahlah, jangan membicarakan orang lain di sini. Tidak penting. Lebih baik membahas masa depan keluarga kita, daripada membicarakan orang yang sudah membuat kita kecewa. Dan kamu, Aldi. Sekarang kamu punya istri, bersikaplah baik pada dia, jangan me
"Mudah-mudahan siapa-siapa saja yang ada di sekitar sini tidak membuka kardus yang kubuang." Aku meletakkan kardus yang sedari tadi aku pegang di tong sampah tepat di depan rumah Alina. Biasanya, setiap hari akan ada orang yang mengangkut sampah di sini. Dan semoga saja orang itu secepatnya datang, biar hidupku aman. "Buruan!" ujar Aldi dari dalam mobil.Aku pun meninggalkan tempat sampah, lalu berlari kecil dan masuk ke mobil. Aldi menggerutu, tapi tidak aku indahkan. Sudah mulai terbiasa aku dengan kata-kata dia yang tidak enak di telinga. Jadi istri Aldi Wiratmadja itu harus kuat lahir batin. Bukan hanya tidak akan dinafkahi secara batin, aku pun tidak akan mendapatkan kata-kata pujian yang bernada mesra. Ah, itu mustahil untuk saat ini. "Maaf, Pak," kataku singkat. Mobil mulai melaju meninggalkan rumah Alina. Dan di tengah-tengah jalan, hujan turun dengan deras membuat udara panas berubah dingin. "Tidak berhenti dulu, Pak?" kataku akhirnya. "Tidak usah. Lama." Aku mengeru
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan