Suasana menjadi tegang saat Dinata Wiratmadja berdiri dan menatap putrinya tajam. Begitu pun dengan Nyonya Marta yang tak melepaskan pandangan dari Alina. "Kamu bicara apa, Al?" Kini Aldi yang bertanya. "Tante Ratna dan Naima tidak ada, Bang," ucap Alina. "Mah, gimana ini? Kenapa jam segini Tante Ratna dan Naima belum datang?" "Mana Mama tahu? Katanya, kan dia akan datang lebih awal dan berhias di sini, coba kamu telepon, deh." Nyonya Marta berujar dengan sedikit emosi. Keadaan di sini sudah tidak baik-baik saja. Keluarga Aldi mulai panik karena calon pengantin wanita tak kunjung tiba. Beberapa kali Alina menghubungi Naima, tapi tidak ada satu orang pun yang mengangkat teleponnya. Namun, yang kuherankan ialah, kenapa Tante Ratna pun enggan menerima panggilan dari Alina? Apa jangan-jangan Damar ...."Gak diangkat terus, Mah." Alina berucap dengan tidak melihat ibunya. Nyonya Marta terlihat gusar, raut kekhawatiran jelas terpancar dari wajah tua wanita itu. Begitu pun dengan Dina
"Bu, bangun," kataku seraya menggoyangkan bahu Nyonya Marta yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang pengantin. Hiasan bunga yang semula terlihat indah dan rapi, kini sudah berantakan tak berbentuk lagi. Aku ditugaskan Alina untuk menjaga ibunya selama dia pergi mencari bantuan. Tidak lama kemudian, Alina datang dengan ibu mertua serta anak-anaknya. Di belakang mereka, wanita yang tak asing bagiku ikut masuk dan langsung menghampiri Nyonya Marta. "Tolong periksa Mama, Dok." Alina bicara pada wanita tadi. Dan aku pun sedikit menggeser tubuh memberikan ruang pada wanita bergelar dokter itu. Beberapa saat memeriksa Nyonya Marta, Kamila pun menyuruh Alina mengoleskan minyak kayu putih di sekitar bawah hidung, dan akhirnya Nyonya Marta pun siuman. Buru-buru aku mengambil air minum, dan langsung memberikannya pada wanita tua itu. "Duh, kepalaku," ujar Nyonya Marta sangat pelan. "Mama, apa yang sakit? Kenapa jadi begini, Mah?" Alina menghampiri ibunya, kemudian mereka saling
"Naima yang malang," ujarku lagi dengan pandangan tak lepas dari ponsel. Beberapa kali mata ini memicing menyaksikan drama yang diciptakan Damar hingga membuat seorang wanita terlihat sangat terhina.Naima, wanita yang dikenal salihah dan agamis, dipergoki oleh calon suaminya di sebuah kamar hotel dengan tubuh tanpa busana bersama seorang pria. Bisa kubayangkan bagaimana marahnya Aldi, dan sedalam apa rasa malu yang dirasakan Naima sekarang ini. Harga diri, nama baik, hancur berkeping-keping dalam sekejap. "Huh ...." Aku membuang napas seraya menempelkan ponsel ke dada. Ada perasaan salah dari lubuk hati karena telah membuat seorang wanita tersakiti oleh rencanaku. Namun, mata ini tidak boleh tertutup hingga membuat mengurungkan niat yang sudah bulat.Aku harus tetap melanjutkan pembalasan ini, dan optimis jika akan berhasil membuat Rindu mendapatkan keadilan. "Ada apa, sih dengan Aldi dan Naima? Kenapa Naima tidak datang ke sini, dan ada apa hingga Aldi terlihat marah saat kemba
"Apa kamu punya pilihan lain selain ini? Apa kamu tahu bagaimana caranya pergi dari sini dengan wajah yang utuh tanpa noda?" tanya Dinata Wiratmadja seraya menatap tajam Aldi. "Jika jawabannya adalah dengan tidak ada pernikahan, itu bukanlah solusi yang tepat." "Tapi, tidak Aruna, Pah.""Lalu siapa?" Dinata kembali bertanya, dan kini pada istrinya yang baru saja berucap."Mama gak tahu, tapi ... setidaknya carilah wanita yang tepat untuk jadi istri Aldi, Pah.""Apa Mama pikir Aruna tidak tepat?" sergah Dinata. "Ini ... ini hanya untuk menyelamatkan nama baik kita." Dinata melanjutkan kata-katanya yang kali ini membuatku mengangkat kepala. Sorot mata itu kubalas dengan pandangan tidak mengerti. Ucapan Dinata terdengar ambigu di telingaku. Apakah maksudnya aku akan dijadikan istri sementara? Ataukah bayaran? Oh ... sungguh kesombongan yang begitu melekat dalam keluarga ini. "Aruna, kamu bersedia?" Pertanyaan kali ini Dinata tujukan padaku. "Saya ... saya—""Mama tetap tidak setuju
Jantungku berdebar seirama dengan detak jarum jam yang tidak pernah berhenti mengiringi suara hati. Rasa bahagia dan rasa tidak percaya melekat di dalam dada ketika sepasang mata ini menyaksikan bayangan diri di dalam cermin. Sungguh cantik berbalutkan gaun indah yang melekat membungkus badan. Aku terpana dengan keindahan paras diri yang berhiaskan mahkota di atas kepala bak seorang putri raja. "Bu Aruna, mari kita keluar," ujar seorang wanita muda yang sedari tadi berada di ruangan ini bersamaku. Aku mengangguk, kemudian mulai meninggalkan cermin yang menjadi tempat favoritku sejak beberapa menit yang lalu. "Aruna, kita ke depan sekarang." Tiba-tiba saja Alina datang dan mengajakku ke tempat di mana akan dilangsungkannya acara pernikahan. Oh, aku sungguh tidak sabar bersanding di pelaminan bersama sang pangeran. Sebelah tanganku dipegang Alina, dan yang satunya lagi diapit wanita muda asisten dari perias pengantin tadi. Seharusnya, Naima lah yang memakai gaun indah nan mahal
Kata orang-orang malam pengantin adalah malam paling indah. Malam pertama, adalah dambaan setiap pasangan yang baru saja menikah. Namun ... sepertinya kalimat itu tidak berlaku bagiku. Jangankan bermanja dan bermesraan dengan pasangan, suamiku saja sedari tadi sibuk dengan pulpen dan bukunya. Entahlah apa yang sedang dia tulis hingga tidak sedikit pun berniat untuk datang dan melihatku yang mendambakannya."Ekhem!" Aku berdehem untuk memancing pria itu agar mau melihatku. Akan tetapi, nihil. Dia hanya berhenti mengangkat kepala sejenak, lalu kembali fokus pada apa yang ada di depan wajahnya. Pesta yang seharusnya digelar dengan meriah, terpaksa harus berakhir di tengah-tengah. Kenapa? Karena Dinata Wiratmadja dan keluarganya lelah menghadapi semua orang yang mempertanyakan alasan tentang mempelai wanita yang berbeda. Alhasil, di sinilah aku berada saat ini. Di kamar pengantin yang tidak seindah dalam anganku. "Tanda tangan di sini."Bariton suara pria membuatku mengangkat kepala
"Luna, ada apa, Dek?" tanyaku kemudian. Isak Luna mereda, tapi dia tak kunjung bicara. Hingga akhirnya, terdengar helaan napas panjang dari sebrang sana. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya sedih saja, karena tidak bisa memberikan pelukan hangat di saat pergantian status Kak Aruna. Selamat, ya Kak. Sekarang Kakak sudah menjadi seorang istri. Tadi Kakak terlihat cantik seperti putri dengan gaun dan mahkota di kepala.""Tadi kamu melihat Kakak?" tanyaku lagi. "Iya, tadi aku datang dan menyusup masuk untuk melihat kakakku menikah dengan seorang pria kaya raya.""Kenapa kamu tidak menemui Kakak, Lun?" "Siapa aku, Kak? Aku bukanlah tamu undangan yang bisa diizinkan menghampiri pengantin. Sedih, memang sebagai keluarga satu-satunya Kak Aruna, aku tidak berada di sana secara langsung. Bahkan, fotoku pun tak ada di album keluarga kalian. Tapi ....""Luna," kataku menghentikan ucapannya yang terdengar ngelantur. Luna berhenti bicara, tapi suaranya berganti dengan tangis yang terdengar jelas. S
"Donita, apa yang kamu lakukan?" tanya Aldi seraya mencekal tangan wanita itu. Donita Aldi memangilnya. Itu artinya, dia mengenal wanita lancang yang sudah membuatku malu setengah mati. Lihatlah, kini diriku jadi tontonan pengunjung lain. Mungkin mereka mengira aku selingkuhan yang dilabrak istri sah. Sungguh memalukan! "Aku sedang memberi pelajaran pada pelakor ini!" ujar wanita itu seraya menunjuk wajahku. "Pelakor? Jaga, ya mulutmu! Suami siapa yang aku rebut? Laki-laki mana yang aku ambil dari pasangannya?!" Aku naik pitam dan langsung mendorong dada wanita itu hingga mundur satu langkah ke belakang. "Dia!" Wanita itu menunjuk Aldi. "Seharusnya dia menikah dengan temanku, bukan denganmu! Kamu merebutnya dari Naima!""Diam!" ujar Aldi berteriak. Aku yang hendak menjawab ucapan wanita itu, terpaksa menutup mulut dengan dada yang naik turun. Begitu pun dengan wanita bernama Donita itu. Dia tidak lagi bicara, dan menatapku dengan penuh kebencian. "Bisa, gak kalian ini tidak s