"Aruna, mari makan bersama kita," ucap orang itu lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian membalikkan badan melihat siapa yang mengajakku bicara. Senyum kuukir semanis mungkin agar dia tidak mencurigaiku. Di bawah sana, sebelah kaki sengaja menginjak rokok yang masih menyala, hingga kurasakan panas tiada tara menyentuh kulit telapak kaki. "Tidak usah, Pak. Saya di sini saja," kataku menolak ajakan pria itu. "Ayolah, Runa. Jangan diam di sini seorang diri. Kamu berada satu atap dengan kami, berarti kamu pun bagian dari kami," ujar Adikara lagi lebih meyakinkanku.Senyum tulus tapi palsu kembali aku berikan. Badan terpaksa kutegakkan untuk menahan rasa sakit nan panas di bawah sana. "Terima kasih tawarannya, Pak. Tapi ... saya di sini saja. Maaf, bukan tidak sopan telah menolak ajakan Bapak, tapi saya sedang mengobrol dengan adik saya," kataku seraya mengacungkan ponsel seraya terbalik ke arah Adikara. "Oh, baiklah kalau begitu. Saya kembali lagi ke meja makan."Aku menganggu
Mataku celingukan mencari sekiranya ada orang lain yang melihat tingkahku saat ini. Setelah memastikan hanya aku seorang diri di sini, aku pun langsung pergi ke kamar dengan membawa serta pizza yang tadi aku simpan di atas meja. Pintu kamar aku tutup rapat-rapat, lalu kukunci dari dalam. Kemudian duduk di pinggir ranjang seraya memangku kotak berisikan pizza yang masih hangat. Mata ini membaca lagi pesan yang tadi seseorang kirim untukku.[Tidak bisakah kamu membaca nota pembelian yang diberikan kurir? Aku yang memesan makanan itu untukmu, Aruna. Karena kasihan padamu yang belum makan, dan tidak mau ikut makan dengan keluargaku.]Bunyi pesan itu masih sama seperti pertama aku membacanya tadi. Tidak terasa, kedua sudut bibirku terangkat membayangkan wajah Aldi yang mungkin tengah kesal padaku. Iya, rupanya Aldi lah yang memesan makanan ini untukku. Tanpa sepengetahuan orang lain, dia ternyata memperhatikanku. "Oh ... baik sekali bosku itu." Aku berkata seraya membuka kotak pizza, l
"Sudah, Run?" tanya Alina saat aku menghampiri dia dan Syafiq. "Sudah, Bu. Yuk, kita pulang sekarang. Takutnya Saffa keburu pulang." Alina mengangguk. Dia pun membujuk putranya untuk berhenti bermain dan pulang bersama kami. Meskipun awalnya sulit, tapi Syafiq akhirnya menurut. Dia mau diajak pulang meskipun wajahnya cemberut. Tidak ada pembicaraan penting selama perjalanan kami pulang. Ocehan masih didominasi Syafiq dan Alina. Dari depan, kulirik ibu dan anak itu dari spion. Tidak ada lagi guratan kesedihan dari wajah Alina, seperti satu minggu yang lalu. Dia sudah bisa tersenyum lebar dengan sesekali menggelitik putranya. "Run, apa kamu bisa menjahit?" Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan Alina. Namun, tak urung aku jawab dengan jujur sesuai yang aku mampu. "Bisa, Bu. Tapi ... sedikit," kataku diakhiri dengan kekehan. "Kalau begitu, kegiatan hari ini kita isi dengan jahit menjahit, saja, Run? Kita bikin baju, gitu?" tutur Alina lagi terdengar bersemangat. "Boleh, Bu. Ema
"Loh, kok masuk kamar Tante Aruna? Sini keluar bawa adeknya, Fa." Alina berucap seraya beranjak dari tempat tadi dia berdiri. Jantungku semakin berdegup kencang ketika Alina mulai berjalan ke arah kamarku. Dan dengan cepat, aku pun berjalan ke mana arah tujuan Alina, kemudian masuk ke kamar mendahului wanita itu. Setelah sampai di kamar, aku berdiri mematung kehabisan kata-kata. Perasaanku tak menentu antara kaget bercampur senang, karena ternyata bukan kardus berisikan minuman keras yang dibuka Syafiq. Melainkan paper bag berisikan kado pernikahan untuk Aldi yang aku beli tadi. "Ya ampun, Sayang. Simpan lagi, tidak boleh, lho buka-buka barang orang lain. Yuk, kita keluar, yuk!" Alina bergegas masuk dan mengajak kedua anaknya untuk pergi dari kamarku. Seperti orang bodoh, aku hanya bisa diam seraya memperhatikan dua anak yang digiring ibunya keluar. Setelahnya, aku langsung menghembuskan napas lega karena terbebas dari masalah besar. "Uuh .... Untung saja bukan tempat rokokku yan
"Kak Aruna!" Luna berseru, kemudian langsung lari memelukku. "Eh, lo siapa? Ngapain di rumah gue, minum-minum, goda-godain adek gue?!" teriakku lagi membuat beberapa pria yang duduk di kursi saling pandang. Aku benar-benar dibuat naik darah melihat pemandangan yang begitu sangat menyesakkan. Luna adikku, dibabukan oleh orang tak dikenal, lalu digoda dengan sentuhan nakal tangan-tangan menjijikkan itu. "Gue temannya Damar, lalu lo siapa? Datang-datang teriak-teriak sambil marah-marah," ucap salah satu pria seraya berdiri. Aku maju satu langkah semakin dekat ke arah mereka. Kantong plastik berisikan kue pemberian Alina, aku lempar sekenanya hingga mengenai wajah laki-laki itu. "Kurang ajar!" geramnya tidak terima. Laki-laki itu melayangkan tangan hendak memukul wajahku, tapi teriakan seorang pria yang baru saja keluar dari dalam kamar menghentikan aksi pria asing itu. Damar. Dia datang dengan bertelanjang dada. Berjalan menghampiriku, menarik tangan temannya untuk menjauh. Enta
"Jadi, kamu yang pakai mobil Alina?" Aku mengangguk pelan. Di sampingku, Luna berdiri dengan memegang lenganku erat. Dia terlihat takut ketika melihat Aldi yang berucap sangat dingin padaku. "Habis dari mana memang?" tanya Aldi lagi. "Tadi, saya ijin pulang karena rindu dengan adik saya, terus ... saya bawa dia makan sebentar di sini." Aku menunjuk bangunan di belakangku. "Terus, sekarang mau ke mana?" "Pulang," jawabku singkat. Aldi tidak bicara lagi. Dia menyingkir dari mobil Alina, kemudian masuk ke dalam restoran tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku dan Luna membalikkan badan, melihat punggung pria itu yang mulai menghilang menjauh dari pandangan. "Kak, itu tadi bosnya, Kakak?" tanya Luna. "Iya. Yuk, kita pulang saja."Aku berjalan mendahului Luna, lalu cepat-cepat anak itu mengikuti langkahku yang sudah berada di dalam mobil. "Kak, kok bos Kakak itu dingin sekali? Apa Kakak betah berkerja dengannya?" Bukannya menjawab pertanyaan Luna, aku malah mengembuskan napas be
Harum bunga sedap malam menusuk indera penciuman, wanginya semerbak menghadirkan rasa tak biasa di dalam dada. Aku takut akan gagal mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, keyakinan sangat besar jika tujuanku akan tercapai.Kupandangi barang-barang seserahan yang tersusun rapi di atas meja besar, semuanya cantik, dihias seanggun mungkin untuk hantaran esok hari. Iya, di sinilah aku berada saat ini. Di rumah Dinata Wiratmadja, membantu mempersiapkan pernikahan putra pertama Dinata dan Nyonya Marta. Besok, adalah hari yang bersejarah. Besok, semua mata akan terpana dengan keindahan gedung pesta, dan pengantin yang berbahagia. Itu, harapan mereka. Harapanku? Semuanya menangis duka. "Runa, cobain baju ini, gih! Kemarin saya lupa ngasih ke kamu."Aku mengalihkan pandangan dari satu kotak seserahan yang isinya satu set perhiasan mewah, ke arah Nyonya Marta yang datang dengan barang di tangannya. "Ini baju apa, Bu?" tanyaku seraya mengambil kain yang terbungkus plastik bening dari t
Jadi Damar sudah menjalankan misinya? Pandanganku langsung teralihkan pada pria yang masih berdiri gagah di depanku. Wajahnya berseri, tapi apakah rona itu akan tetap seperti sekarang saat tahu apa yang dilakukan Damar? "Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Damar seraya mengerutkan kening. Aku menggelengkan kepala seraya memasukkan ponsel ke dalam tas, kemudian berjalan mendekati mobil setelah mendapatkan intruksi dari Alina untuk segera berangkat ke tempat tujuan. Semua rombongan keluarga mulai meninggalkan rumah besar Dinata Wiratmadja. Karena aku hanyalah bawahan, maka sangat tidak mungkin berada satu mobil bersama calon pengantin pria. Meskipun aku sangat menginginkannya. Sialnya, aku harus satu kendaraan dengan saudara Alina yang sama sekali tidak aku kenal. Alhasil, tidak ada kata yang keluar dariku, karena memang tidak diajak bicara oleh mereka. Ah, sungguh menyebalkan! Dan ponsellah yang akhirnya menjadi pelampiasan rasa kesal ini. Aku terus berkirim kabar dengan D