Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / Bab 166 Adi dengan sifatnya

Share

Bab 166 Adi dengan sifatnya

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Bu, maaf saya harus pulang, sudah ditelpon Pak Aldi," kataku setelah menerima panggilan.

"Silahkan, Aruna. Aku titip anak-anak padamu, ya? Kata Gang Aldi, Syafiq dekat dan lebih suka bermain denganmu."

Aku tersenyum malu-malu merasa tersanjung dengan ucapan Alina.

Aku selalu mengandalkan pikiran dalam setiap tindakan. Termasuk dalam mengasuh Syafiq. Aku bela-belain mencari tahu tentang bagaimana cara menaklukkan anak kecil dari internet, agar bisa dekat dengan balita nakal itu.

"Saya memang suka anak kecil, Bu. Jadi ... dekat dengan mereka suatu kebahagiaan bagi saya," ujarku penuh kepalsuan.

Alina tersenyum kecil. Wanita itu membiarkan aku mengambil pakaian kotor serta wadah kosong bekas makanan dari rumah untuk kubawa pulang.

Saat hendak keluar dari kamar rawat inap Alina, tiba-tiba Adi menyuruhku menunggu. Aku kira dia akan memberikan uang ongkos taksi padaku, tapi ternyata bukan.

"Kamu pulang bareng saya saja," ujar pria berbadan tinggi tegap itu.

Aku tidak langsung menjaw
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Putri Puja Ayu Kemuning
susah di buka sekarang
goodnovel comment avatar
Sarkol Fanni
hiksss aruna perempuan jelmaan iblis.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 167 pujian Dinata

    "Papaaaaah ...!" Teriakan serta tepukan tangan dari Saffa dan Syafiq menyambut kedatangan kami. Kedatangan Adi, lebih tepatnya. Kedua anak-anak itu langsung menghambur ke pelukan Adikara saat pria itu turun dari mobil. Seperti biasa, aku turun belakangan seraya menenteng barang-barang. Dua paperbag berisikan mainan anak-anak, juga makanan serta tas besar berisikan baju kotor milik Alina. Lasmi yang melihatku kesusahan, langsung menghampiri dan membantuku membawa barang tersebut. Huft! Nasib masih bawahan. "Papa, Mama mana? Kok, enggak pulang?" tanya Saffa masih bergelayut manja di tangan ayah tirinya itu. Sedangkan Syafiq, dia sudah berada di gendong Adi. Aku berjalan mendahului Adi dan langsung masuk masuk ke rumah besar Dinata Wiratmadja. Aku meletakkan dua paper bag di atas meja ruang tengah, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air minum. "Bu Runa, ini cucian semua?" tanya Bi Narsih memegang tas yang tadi diambil Lasmi. "Betul, Bi," kataku singkat, lalu melanjutkan me

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 168 Melenyapkan Syafiq

    Tidak lama Adi berada di rumah Dinata. Dia kembali ke rumah sakit meninggalkan anak-anak yang masih merindukannya. Syafiq dibuat menangis karena ingin ikut bersama ayahnya, hingga akulah yang sekarang repot olehnya. Berusaha menenangkan dia, membujuk agar mau masuk ke rumah setelah kepergian Adi. "Papa ...!" rengek anak itu masih cadel. Tangannya menunjuk ke gerbang yang masih terbuka, bekas keluarnya mobil Adikara."Cup-cup, Sayang ... kita masuk, yuk! Nanti, Papa pulang lagi, kok," kataku mengangkat tubuh gemuk Syafiq yang saat ini terduduk di lantai teras rumah. Namun, anak itu malah berontak. Dia langsung tiduran di lantai masih dengan tangis memanggil ayahnya. Aku yang capek membujuk, ikut duduk seraya terus memperhatikan anak bungsu Alina itu. Tanganku terkepal menahan rasa kesal yang bercampur aduk dengan emosi. Seketika ucapan Damar yang menyuruhku melenyapkan Syafiq, terlintas dalam benak. Haruskah aku melakukannya? Jika aku berhasil melenyapkan anak itu, pasti pekerj

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 169 menolak permintaan Aldi

    "Tiga!" kataku seraya berdiri. Tawa Syafiq semakin lepas ketika aku mengulang berhitung, lalu menurunkan tubuhnya hingga kaki anak itu menyentuh air. Kemudian aku berdiri lagi dan akhirnya menggendong balita yang terlihat sangat senang dengan apa yang aku lakukan.Beberapa kali aku menarik napas untuk menghilangkan kegugupan yang sempat menyelimuti diri. Untung saja aku cepat menyadari jika di belakang sana ada seseorang yang tengah memperhatikanku. Aldi, dia beridiri di balik pintu kaca dengan pandangan lurus ke arahku dan Syafiq. Dari mana aku? Dari kaca di sebrang kolam yang ada di depanku. Air mancur berdindingkan kaca tebal dan besar itu memantulkan bayangan Aldi sehingga aku bisa melihat dia ada di belakangku. "Aruna!" Aku membalikkan badan menoleh pada pria itu. "Loh, kok Bapak ada di sana? Bukannya mau ke rumah sakit?" Aku balik bertanya seraya mengahmpiri Aldi. "Kunci mobilku ketinggalan," katanya, "jangan main di pinggir kolam, bahaya!" lanjut Aldi lagi memberikan p

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 170 Kafe Asmara

    "Dari mana aja, jam segini baru pulang?" Huft! Baru saja masuk rumah, sudah disambut wajah jutek Damar dengan nada bicara yang tak enak didengar. "Kerja lah, dari mana lagi." "Kok, enggak diantar supir lagi? Mana nomormu gak aktif, lagi. Ngapain aja, sih di sana?" cecar Damar mengikutiku sampai ke kamar. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dilipat di perut. Sebelah pundaknya menempel pada daun pintu yang terbuka lebar. "Hapeku mati dilempar anaknya si Alina!" Aku merogoh tas mengambil ponsel dari sana. "Nih,!" lanjutku lagi melemparkannya hingga benda pipih itu mendarat tepat di kaki Damar. Aku membuka blazer, melemparnya asal saking kesal dan lelahnya. Sudahlah tadi jalan kaki dari rumah Dinata Wiratmadja sampai ke depan kompleks, terus sekarang malah dicecar dengan setengah dimarahi. Lengkaplah sudah penderitaanku hari ini. "Aruna ... Aruna! Bodohmu memang tidak ada obat, ya? Kenapa harus pulang dengan membawa barang rongsokan ke sini?""Maksudmu aku harus bu

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 171 Pertengkaran

    Bukan pada Luna kali ini mataku berfokus. Melainkan pada dua sejoli yang saling merangkul mesra dengan sesekali melempar tawa penuh cinta. "Kakak!" ujar Luna saat melihat kedatanganku. Namun, aku abaikan dia yang sudah ketakutan. Kuhampiri meja lain dengan beberapa orang melingkar menikmati momen bahagia penuh canda. Emosi sudah menguasai diri membuatku gelap mata hingga akhirnya melayangkan tangan menampar pria yang pernah mengucapkan kata cinta padaku. "Aruna!" Yoga terlonjak kaget melihatku dengan tindakan yang mengejutkan semua orang. Wanita yang sedari tadi bergelayut manja padanya, melepaskan diri. Menjauhkan tubuhnya dari Yoga dan menghindari tanganku yang hendak menjambak rambut lebat nan tergerai indah itu. Dadaku naik turun. Amarah sudah berada di puncaknya sehingga mengabaikan teriakan Yoga. Hingga akhirnya, tangan pria itu mencekal pergelangan tanganku, lalu menyeretnya ke luar dari kafe."Lepas!" kataku berontak. "Diam! Dasar wanita gila!" umpat Yoga masih mencekal

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 172 Aldi mulai peduli

    "Ya, bener, 'kan? Menurutmu tindakan kamu yang tadi memukul wanita itu sikap baik dan benar?" ujar Aldi masih membahas kejadian tadi. "Itu tindakan bodoh yang memalukan." Aku berdehem. Jari-jariku saling bertautan dengan pandangan menunduk. "Maaf, saya terlalu marah," kataku, "eh, tapi emang Bapak melihat semuanya?" "Tentu saja aku melihatnya. Bahkan dari kamu mulai masuk ke dalam kafe itu, hingga pertengkaranmu dengan pria tadi."Aku melihat Aldi dengan tidak percaya. Rasanya tidak mungkin seorang pengusaha yang sibuk, apalagi sedang memiliki masalah keluarga, datang ke kafe yang memang tidak selevel dengannya. Apa jangan-jangan dia mengikutiku? "Bapak sengaja datang ke sini?" tanyaku ingin tahu. "Tidak. Tadi, niatku untuk datang ke rumahmu. Tapi, karena melihat kamu di sini, makanya aku berhenti dan turun ketika kami bertengkar dengan kekasihmu itu." Aldi menjelaskan. Seketika keningku langsung berkerut mencerna kata-kata dia yang katanya sengaja ingin ke rumahku. Untuk apa?

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 173 persiapan tinggal di rumah besar

    "Apa-apaan, lo bilang jangan?" Damar bertanya pada Luna dengan wajah tak suka. Gadis dua puluh tahun itu belum menjawab. Dia terlihat gugup dilihat dari wajahnya yang pucat dengan pandangan kosong. "Luna," panggilku membuatnya menatapku. Luna menghampiri, dia duduk di kursi panjang yang ada di sebelahku. "Aku tidak ada teman jika Kakak tinggal di rumah Pak Aldi. Sudahlah, Kak hentikan semua ini. Aku takut."Aku membuang napas dengan kasar. Lagi-lagi kata takut yang dia ucapkan. Dan aku tahu ketakutan seperti apa yang dirasakan Luna. Dia khawatir aku akan ketahuan punya tujuan tidak baik oleh keluarga Aldi. Dia takut aku masuk penjara dan meninggalkannya seorang diri di kota ini. "Luna," kataku seraya mengambil kedua tangannya. Bibir adikku bergetar. Perasaan sedih kentara dari wajah manis pemilik lesung pipi itu. "Jangan tinggal di sana, Kak." Luna kembali meminta. "Ini untuk sementara, Lun. Jika nanti Kakak berhasil jadi keluarga mereka, Kakak tidak akan membiarkanmu tinggal

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 174 tamu di rumah besar

    Langit begitu cerah dengan awan yang terlihat putih bersih. Angin berembus pelan membelai daun-daun yang masih berembun. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya menikmati pagi yang sangat indah ini. Pandangan lurus pada dua anak beda usia yang tengah berlari ke sana kemari mengejar kupu-kupu yang hinggap pada bunga bermekaran. "Ah ...." Aku menoleh ke samping, pada pria yang baru saja menghenyakkan bokong seraya mendesah panjang. "Sepertinya mereka sangat gembira," celetuk Aldi kemudian. "Seperti yang Bapak lihat, mereka nampak tak ada beban," timpalku menjawab ucapan pria itu. Setelah menjemputku, Aldi tidak langsung membawaku ke rumahnya. Dia memilih mampir ke sebuh taman untuk sekedar memanjakan dua keponakannya. Dan bodohnya aku ialah, lupa jika hari ini akhir pekan. Pakaian yang kukenakan pun masih formal dengan setelan blazer dan celana panjang.Malu? Iya. Akan tetapi, Aruna wanita paling percaya diri dan tidak pernah merasa salah. Aku justru merasa lebih cantik hari ini dengan

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status