"Dari mana aja, jam segini baru pulang?" Huft! Baru saja masuk rumah, sudah disambut wajah jutek Damar dengan nada bicara yang tak enak didengar. "Kerja lah, dari mana lagi." "Kok, enggak diantar supir lagi? Mana nomormu gak aktif, lagi. Ngapain aja, sih di sana?" cecar Damar mengikutiku sampai ke kamar. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dilipat di perut. Sebelah pundaknya menempel pada daun pintu yang terbuka lebar. "Hapeku mati dilempar anaknya si Alina!" Aku merogoh tas mengambil ponsel dari sana. "Nih,!" lanjutku lagi melemparkannya hingga benda pipih itu mendarat tepat di kaki Damar. Aku membuka blazer, melemparnya asal saking kesal dan lelahnya. Sudahlah tadi jalan kaki dari rumah Dinata Wiratmadja sampai ke depan kompleks, terus sekarang malah dicecar dengan setengah dimarahi. Lengkaplah sudah penderitaanku hari ini. "Aruna ... Aruna! Bodohmu memang tidak ada obat, ya? Kenapa harus pulang dengan membawa barang rongsokan ke sini?""Maksudmu aku harus bu
Bukan pada Luna kali ini mataku berfokus. Melainkan pada dua sejoli yang saling merangkul mesra dengan sesekali melempar tawa penuh cinta. "Kakak!" ujar Luna saat melihat kedatanganku. Namun, aku abaikan dia yang sudah ketakutan. Kuhampiri meja lain dengan beberapa orang melingkar menikmati momen bahagia penuh canda. Emosi sudah menguasai diri membuatku gelap mata hingga akhirnya melayangkan tangan menampar pria yang pernah mengucapkan kata cinta padaku. "Aruna!" Yoga terlonjak kaget melihatku dengan tindakan yang mengejutkan semua orang. Wanita yang sedari tadi bergelayut manja padanya, melepaskan diri. Menjauhkan tubuhnya dari Yoga dan menghindari tanganku yang hendak menjambak rambut lebat nan tergerai indah itu. Dadaku naik turun. Amarah sudah berada di puncaknya sehingga mengabaikan teriakan Yoga. Hingga akhirnya, tangan pria itu mencekal pergelangan tanganku, lalu menyeretnya ke luar dari kafe."Lepas!" kataku berontak. "Diam! Dasar wanita gila!" umpat Yoga masih mencekal
"Ya, bener, 'kan? Menurutmu tindakan kamu yang tadi memukul wanita itu sikap baik dan benar?" ujar Aldi masih membahas kejadian tadi. "Itu tindakan bodoh yang memalukan." Aku berdehem. Jari-jariku saling bertautan dengan pandangan menunduk. "Maaf, saya terlalu marah," kataku, "eh, tapi emang Bapak melihat semuanya?" "Tentu saja aku melihatnya. Bahkan dari kamu mulai masuk ke dalam kafe itu, hingga pertengkaranmu dengan pria tadi."Aku melihat Aldi dengan tidak percaya. Rasanya tidak mungkin seorang pengusaha yang sibuk, apalagi sedang memiliki masalah keluarga, datang ke kafe yang memang tidak selevel dengannya. Apa jangan-jangan dia mengikutiku? "Bapak sengaja datang ke sini?" tanyaku ingin tahu. "Tidak. Tadi, niatku untuk datang ke rumahmu. Tapi, karena melihat kamu di sini, makanya aku berhenti dan turun ketika kami bertengkar dengan kekasihmu itu." Aldi menjelaskan. Seketika keningku langsung berkerut mencerna kata-kata dia yang katanya sengaja ingin ke rumahku. Untuk apa?
"Apa-apaan, lo bilang jangan?" Damar bertanya pada Luna dengan wajah tak suka. Gadis dua puluh tahun itu belum menjawab. Dia terlihat gugup dilihat dari wajahnya yang pucat dengan pandangan kosong. "Luna," panggilku membuatnya menatapku. Luna menghampiri, dia duduk di kursi panjang yang ada di sebelahku. "Aku tidak ada teman jika Kakak tinggal di rumah Pak Aldi. Sudahlah, Kak hentikan semua ini. Aku takut."Aku membuang napas dengan kasar. Lagi-lagi kata takut yang dia ucapkan. Dan aku tahu ketakutan seperti apa yang dirasakan Luna. Dia khawatir aku akan ketahuan punya tujuan tidak baik oleh keluarga Aldi. Dia takut aku masuk penjara dan meninggalkannya seorang diri di kota ini. "Luna," kataku seraya mengambil kedua tangannya. Bibir adikku bergetar. Perasaan sedih kentara dari wajah manis pemilik lesung pipi itu. "Jangan tinggal di sana, Kak." Luna kembali meminta. "Ini untuk sementara, Lun. Jika nanti Kakak berhasil jadi keluarga mereka, Kakak tidak akan membiarkanmu tinggal
Langit begitu cerah dengan awan yang terlihat putih bersih. Angin berembus pelan membelai daun-daun yang masih berembun. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya menikmati pagi yang sangat indah ini. Pandangan lurus pada dua anak beda usia yang tengah berlari ke sana kemari mengejar kupu-kupu yang hinggap pada bunga bermekaran. "Ah ...." Aku menoleh ke samping, pada pria yang baru saja menghenyakkan bokong seraya mendesah panjang. "Sepertinya mereka sangat gembira," celetuk Aldi kemudian. "Seperti yang Bapak lihat, mereka nampak tak ada beban," timpalku menjawab ucapan pria itu. Setelah menjemputku, Aldi tidak langsung membawaku ke rumahnya. Dia memilih mampir ke sebuh taman untuk sekedar memanjakan dua keponakannya. Dan bodohnya aku ialah, lupa jika hari ini akhir pekan. Pakaian yang kukenakan pun masih formal dengan setelan blazer dan celana panjang.Malu? Iya. Akan tetapi, Aruna wanita paling percaya diri dan tidak pernah merasa salah. Aku justru merasa lebih cantik hari ini dengan
"Alina akan pulang sore ini. Saya minta tolong kamu untuk mengawasi dan menjaga Syafiq, agar tidak mengganggu ibunya terlebih dahulu."Aku mengangguk pelan dengan pikiran yang terbagi antara Dinata dan Alina. Jadi, wanita itu akan pulang dari rumah sakit? Jika Alina sembuh, pasti pernikahan Aldi dan Naima akan segera digelar. Aku harus melaporkan ini pada Damar, agar dia berpikir bagiamana menyingkirkan Naima dan membatalkan pernikahan mereka. "Kamu dengar apa yang saya katakan, Aruna?" Aku mengerjapkan mata melihat pada Dinata yang juga menatapku serius. Untuk yang kedua kali aku menganggukkan kepala menjawab pertanyaannya. "Kenapa saya memberikan tugas ini pada kamu, bukan pada Lasmi? Karena saya lihat, kamu lebih bisa menenangkan hati Syafiq dibandingkan Lasmi yang memang bertugas untuk menjaga Saffa," papar Dinata lagi menjelaskan. "Iya, Pak. Saya tidak keberatan untuk itu. Kemarin, Pak Aldi pun sudah meminta saya untuk tinggal bersama anak-anak." Mataku menoleh sebentar pa
"Maksud Bu Nai, apa?" Aku bertanya pura-pura kaget. Di dalam dadaku, jantung ini terus berdetak tak karuan. Entah ini sebuah ancaman, atau tanda jika aku dan Damar harus bergerak cepat menyingkirkan Naima. "Saya mendengar semua percakapan antara kamu dan Mama, barusan. Dan saya sangat tidak percaya dengan ucapan kamu tentang Mbak Alina."Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku harus tenang, tidak boleh tegang. "Bu .... Saya, menyampaikan apa yang saya dengar. Jika Ibu tidak berkenan, tidak apa-apa. Tapi, jangan mengatakan saya mempengaruhi Bu Ratna, karena itu tidak ada untungnya untuk saya. Apa yang saya dapat dari menjelekkan Bu Alina?" Naima menarik napasnya perlahan seraya melepaskan tangannya dariku. Dia menegakkan tubuh dengan pandangan lurus ke depan. Dengan masih memasang wajah sedih, aku menggeser tubuh agar bisa melihat wanita di sampingku dengan jelas. Kusenderkan sebelah pundak pada sandaran sofa dengan kaki kiri yang kusilangkan. "Saya bunu
Lama aku menatap wanita yang memakai jas putih di sampingku ini. Mataku memindai penampilannya dari atas kepala hingga ke bawah. Anggun. Kesan pertama yang aku lihat darinya. Dress warna merah yang membalut tubuhnya terlihat sangat cocok dengan kulit putih bersih milik wanita itu. "Anda seorang dokter?" Pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba."Iya, saya dokter spesialis saraf."Kini keningku mengkerut mendengar jawabannya itu. Dia seorang dokter, tapi ingin menghancurkan Alina. Siapa dia sebenarnya?"Ini kartu nama serta nomor telponku. Jika kamu tertarik dengan tawaranku, silahkan menghubungiku segera."Wanita itu pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih diliputi dengan kebingungan. Kulihat kertas kecil di tanganku yang tadi diberikannya. "Dokter Kamila," kataku menyebutkan nama yang tertulis di sana. Aku berjalan cepat masuk ke dalam supermarket. Mencari keberadaan wanita tadi yang sudah masuk terlebih dahulu untuk menanyakan semua pertanyaan yang bersarang di dalam otakku