Segera aku mematikan sambungan telepon ketika mendengar suara benda jatuh di luar kamar yang aku tempat sekarang. Aku berdiri, kemudian berjalan ke arah pintu untuk memeriksa apa yang terjadi di luar sana. Mungkinkah ada seseorang yang menguping pembicaraanku tadi? Tiba-tiba dadaku langsung berdetak kencang membayangkan jika di luar sana adalah Aldi. "Saffa?" kataku ketika melihat gadis kecil itu tengah memungut pecahan vas bunga."Tante ... aku haus, di kamar tidak ada air minum," adunya saat melihatku keluar dari kamar. "Jadi, Saffa keluar untuk ambil air minum?" Saffa mengangguk dengan wajah merengut. Cahaya remang-remang membuat anak itu tidak dapat melihat jelas jalan yang ia lalui. "Sudah, jangan dibereskan dulu. Biarkan nanti Tante Runa yang bersihkan. Sekarang, Tante antar kamu ke dapur, yuk." Aku mengambil tangan Saffa, lalu menuntun anak itu hingga sampai di ruangan makan.Satu gelas air putih aku tuangkan ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Saffa. Tidak hanya itu
"Emm ... apa Bapak menginginkannya juga?" "Ah, tidak. Aku hanya bertanya saja.""Oh, oke," kataku mulai mengambil sendok, mengaduk mie dan meniup kuah yang ada di sendok. Wanginya langsung membuat perutku meronta. Namun, rasanya tidak tega untuk menikmatinya seorang diri apalagi mata Aldi tak lepas dari mangkuk di depanku itu. "Buat Bapak saja," kataku seraya menggeser mangkuk ke dekat Aldi. "Lupa, jika saya sedang diet.""Diet? Badan sudah kurus seperti itu masih diet?" tutur Aldi melihatku setengah mengejek. "Ya ... biar lebih terlihat awet muda saja, Pak. Diet itu, kan tidak melulu untuk menguruskan tubuh. Selain untuk menyehatkan tubuh, bisa untuk menambah kecantikan dan kebugaran juga. Jadi—""Dasar wanita!" Aku tidak melanjutkan kata-kata saat mangkuk berisikan mie instan sudah berpindah tangan. Aldi memakan mie yang masih hangat itu seorang diri membuatku hanya bisa menggigit bibir. Tanganku langsung mengambil gelas berisikan cokelat yang sudah hangat, lalu menegaknya sed
"Apa kamu mengundangnya, Al?" tanya Aldi pada adiknya. "Tidak, Bang. Yasudah, lanjutkan saja sarapannya, biar aku yang temui Dokter Kamila."Wanita yang masih belum pulih seratus persen dari sakitnya itu berdiri, kemudian disusul suaminya yang tak pernah membiarkan istrinya pergi seorang diri. Alina dan Adi keluar dari ruang makan untuk menemui tamunya, sedangkan yang lain kembali menikmati makanannya masing-masing. Kecuali aku. Belum ada satu makanan pun yang masuk ke dalam perut sejak kedatanganku tadi. Bukan tidak mau, tapi pikiran ini pergi mencari alasan mengapa wanita bernama Kamila itu datang ke sini. Bukankah dia musuh keluarga Alina? Atau ... itu hanya akal-akalan dia sebagai mata-mata keluarga Dinata? Astaga ... aku benar-benar pusing mencari jawaban dari pertanyaan yang bersarang di dalam otakku ini. "Tante, kok tidak makan-makan, sih?" Aku mengangkat kepala melihat pada Saffa yang tengah menatapku heran. Bukan hanya anak itu yang matanya memperhatikanku, tapi sekar
Masih dengan mata yang melihat pada Kamila, aku mengambil buah tangan pemberian wanita itu dan membawanya ke belakang. Sungguh aku sangat penasaran dengan apa yang diberikan Kamila padaku. Jika dirasa-rasa, sepertinya benda kecil di telapak tanganku ini sebuah kertas. Aku langsung menyimpan parcel buah di atas meja setelah berada di ruang makan. Kemudian melihat apa yang diberikan Kamila tadi. Dan benar saja, secarik kertas kecil berada di tanganku saat ini. Cepat aku membuka lipatan kertas tersebut hingga nampaklah sebuah kalimat yang membuatku mengerutkan kening. [Bagaimana dengan tawaranku? Kenapa belum menghubungi?] bunyi kalimat yang ada pada kertas tersebut. "Jadi dia ...?" Aku tidak melanjutkan kata-kataku dan langsung memasukkan kertas ke dalam saku celana saat melihat Bi Narsih datang. Wanita itu tersenyum seraya menganggukkan kepala yang langsung kubalas dengan senyum manis. "Buahnya mau dipotong sekarang, Bu?" tanya Bi Narsih kemudian. "Tidak usah, Bi. Cuci dan simp
"Kenapa? Kaget, gajimu bulan ini tambahannya banyak?" Aku menoleh pada Aldi yang terkekeh mengetahui kekagetanku atas upah yang dia berikan. Padahal, bukan karena itu aku kaget. Bukan karena nominal uang yang dia berikan Aldi padaku. Melainkan pesan yang dikirim Damar.Pria itu mengirimkan pesan disertai foto dirinya dan wanita yang tadi datang ke rumah Dinata Wiratmadja. Kamila. Dan yang membuatku kaget ialah, wanita bergelar dokter spesialis itu duduk menyilangkan kaki seraya menikmati sebatang rokok di tangannya. "Apa ini tidak salah?" gumamku nyaris tanpa suara. "Tidak, Aruna. Sengaja aku lebihkan gajimu agar kamu menjalankan tanggung jawab lebih baik lagi." Lagi-lagi Aldi salah paham dengan ucapanku. Dan aku hanya melihatnya sekilas, lalu kembali fokus pada ponsel. Sebuah pesan aku kirimkan pada Damar untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu di rumah kontrakan kami. Apalagi dengan pose seperti itu, membuatku benar-benar ingin tahu lebih jauh lagi tentang dia. [Apa aku ti
"Ayo, Aruna!" ajak Aldi lagi seraya bangkit. Hatiku menolak pergi dengannya, tapi tubuh ini malah mengikuti apa maunya pria itu. Aku melangkah, berjalan di belakang Aldi setelah mengangguk hormat pada semua orang di ruang tengah ini. "Pak!" kataku menghentikan langkah Aldi yang sudah berada di samping mobil miliknya. "Kenapa?" Dia balik bertanya. "Emh ... saya pulang sendiri saja, tidak enak jika harus diantar sama Bapak.""Ck, kenapa harus tidak enak? Kan, sebelumnya pun aku pernah mengantarmu pulang? Bahkan menjemput juga pernah."Aku menggaruk tengkuk leher seraya nyengir memperlihatkan deretan gigi. Beda denganku yang sulit mencari alasan agar Aldi mengurungkan niatnya, pria itu justru memperlihatkan ekspresi heran sekaligus bertanya lewat tatapan matanya padaku. "Iya, Pak. Tapi ... malu aja, soalnya sering diomongin tetangga kalau pulang bareng Bapak. Katanya, aku simpanan Bapak," tuturku dengan penuh kebohongan. "Untuk apa mendengarkan kata orang lain? Dikasih makan kamu s
"Siapa yang meneleponmu, Aruna?" Aldi kembali bertanya. Aku berdehem untuk menghilangkan kegugupan. Kemudian sebelah tangan mematikan telepon yang tadi sempat berdering. "Emh ... ini, Pak. Adik saya yang telepon. Sepertinya saya harus segera pulang sekarang," jawabku beralasan. "Yasudah, pulang sana.""Sekarang, Pak?" tanyaku menatapnya lekat. "Iya. Aku masih mau di sini," jawab Aldi. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tanpa menunggu nanti yang mungkin akan merubah pikiran Aldi, aku pun bangkit dari dudukku dan keluar dari kafe tersebut setelah pamit pada pria dingin itu. Seperti ada angin segar saat bisa terbebas dari pria menyebalkan yang selalu mengekangku itu. Hidup dalam lingkungannya, membuatku tertekan dan terpenjara. Karena tadi aku datang bersama Aldi, alhasil sekarang harus mencari taksi untuk bisa sampai ke rumah. Ponsel terus berdering dengan nomor Damar yang menghubungi. Aku tidak mengangkatnya. Lebih fokus ke jalanan yang tidak akan lama lagi sampai di depa
Demi Tuhan aku sangat kaget saat Luna hendak melukai dirinya sendiri. Dia memegang pisau buah yang diarahkan pada pergelangan tangan. Tentu saja aku langsung mengambil pisau itu dan menyingkirkannya dari adikku. "Kamu sudah gila!" kataku dengan napas yang terengah.Tubuh Luna merosot, dia bersandar pada ranjang sambil menjambak rambutnya sendiri. "Aku akan lebih gila lagi, jika Kakak mengikuti semua maunya mereka, Kak!" Segera aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Damar dan Kamila tidak boleh mendengar penolakan Luna tentang rencana yang sudah di depan mata. "Mau mereka yang mana?" tanyaku."Yang menyuruh Kakak membunuh Alina! Apa Kakak akan mengorbankan masa depan Kakak dan aku demi kepuasan mereka?""Pelankan suaramu, Luna. Nanti Damar dengar, dan kamu akan dikasarinya.""Aku tidak mau Kakak dipenjara, aku takut sendirian, Kak. Aku adikmu, satu-satunya orang yang memiliki darah denganmu. Tapi, kenapa Kakak malah mendengarkan kata-kata mereka, dibandingkan aku?" tutur Lun
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan