Masih dengan mata yang melihat pada Kamila, aku mengambil buah tangan pemberian wanita itu dan membawanya ke belakang. Sungguh aku sangat penasaran dengan apa yang diberikan Kamila padaku. Jika dirasa-rasa, sepertinya benda kecil di telapak tanganku ini sebuah kertas. Aku langsung menyimpan parcel buah di atas meja setelah berada di ruang makan. Kemudian melihat apa yang diberikan Kamila tadi. Dan benar saja, secarik kertas kecil berada di tanganku saat ini. Cepat aku membuka lipatan kertas tersebut hingga nampaklah sebuah kalimat yang membuatku mengerutkan kening. [Bagaimana dengan tawaranku? Kenapa belum menghubungi?] bunyi kalimat yang ada pada kertas tersebut. "Jadi dia ...?" Aku tidak melanjutkan kata-kataku dan langsung memasukkan kertas ke dalam saku celana saat melihat Bi Narsih datang. Wanita itu tersenyum seraya menganggukkan kepala yang langsung kubalas dengan senyum manis. "Buahnya mau dipotong sekarang, Bu?" tanya Bi Narsih kemudian. "Tidak usah, Bi. Cuci dan simp
"Kenapa? Kaget, gajimu bulan ini tambahannya banyak?" Aku menoleh pada Aldi yang terkekeh mengetahui kekagetanku atas upah yang dia berikan. Padahal, bukan karena itu aku kaget. Bukan karena nominal uang yang dia berikan Aldi padaku. Melainkan pesan yang dikirim Damar.Pria itu mengirimkan pesan disertai foto dirinya dan wanita yang tadi datang ke rumah Dinata Wiratmadja. Kamila. Dan yang membuatku kaget ialah, wanita bergelar dokter spesialis itu duduk menyilangkan kaki seraya menikmati sebatang rokok di tangannya. "Apa ini tidak salah?" gumamku nyaris tanpa suara. "Tidak, Aruna. Sengaja aku lebihkan gajimu agar kamu menjalankan tanggung jawab lebih baik lagi." Lagi-lagi Aldi salah paham dengan ucapanku. Dan aku hanya melihatnya sekilas, lalu kembali fokus pada ponsel. Sebuah pesan aku kirimkan pada Damar untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu di rumah kontrakan kami. Apalagi dengan pose seperti itu, membuatku benar-benar ingin tahu lebih jauh lagi tentang dia. [Apa aku ti
"Ayo, Aruna!" ajak Aldi lagi seraya bangkit. Hatiku menolak pergi dengannya, tapi tubuh ini malah mengikuti apa maunya pria itu. Aku melangkah, berjalan di belakang Aldi setelah mengangguk hormat pada semua orang di ruang tengah ini. "Pak!" kataku menghentikan langkah Aldi yang sudah berada di samping mobil miliknya. "Kenapa?" Dia balik bertanya. "Emh ... saya pulang sendiri saja, tidak enak jika harus diantar sama Bapak.""Ck, kenapa harus tidak enak? Kan, sebelumnya pun aku pernah mengantarmu pulang? Bahkan menjemput juga pernah."Aku menggaruk tengkuk leher seraya nyengir memperlihatkan deretan gigi. Beda denganku yang sulit mencari alasan agar Aldi mengurungkan niatnya, pria itu justru memperlihatkan ekspresi heran sekaligus bertanya lewat tatapan matanya padaku. "Iya, Pak. Tapi ... malu aja, soalnya sering diomongin tetangga kalau pulang bareng Bapak. Katanya, aku simpanan Bapak," tuturku dengan penuh kebohongan. "Untuk apa mendengarkan kata orang lain? Dikasih makan kamu s
"Siapa yang meneleponmu, Aruna?" Aldi kembali bertanya. Aku berdehem untuk menghilangkan kegugupan. Kemudian sebelah tangan mematikan telepon yang tadi sempat berdering. "Emh ... ini, Pak. Adik saya yang telepon. Sepertinya saya harus segera pulang sekarang," jawabku beralasan. "Yasudah, pulang sana.""Sekarang, Pak?" tanyaku menatapnya lekat. "Iya. Aku masih mau di sini," jawab Aldi. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tanpa menunggu nanti yang mungkin akan merubah pikiran Aldi, aku pun bangkit dari dudukku dan keluar dari kafe tersebut setelah pamit pada pria dingin itu. Seperti ada angin segar saat bisa terbebas dari pria menyebalkan yang selalu mengekangku itu. Hidup dalam lingkungannya, membuatku tertekan dan terpenjara. Karena tadi aku datang bersama Aldi, alhasil sekarang harus mencari taksi untuk bisa sampai ke rumah. Ponsel terus berdering dengan nomor Damar yang menghubungi. Aku tidak mengangkatnya. Lebih fokus ke jalanan yang tidak akan lama lagi sampai di depa
Demi Tuhan aku sangat kaget saat Luna hendak melukai dirinya sendiri. Dia memegang pisau buah yang diarahkan pada pergelangan tangan. Tentu saja aku langsung mengambil pisau itu dan menyingkirkannya dari adikku. "Kamu sudah gila!" kataku dengan napas yang terengah.Tubuh Luna merosot, dia bersandar pada ranjang sambil menjambak rambutnya sendiri. "Aku akan lebih gila lagi, jika Kakak mengikuti semua maunya mereka, Kak!" Segera aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Damar dan Kamila tidak boleh mendengar penolakan Luna tentang rencana yang sudah di depan mata. "Mau mereka yang mana?" tanyaku."Yang menyuruh Kakak membunuh Alina! Apa Kakak akan mengorbankan masa depan Kakak dan aku demi kepuasan mereka?""Pelankan suaramu, Luna. Nanti Damar dengar, dan kamu akan dikasarinya.""Aku tidak mau Kakak dipenjara, aku takut sendirian, Kak. Aku adikmu, satu-satunya orang yang memiliki darah denganmu. Tapi, kenapa Kakak malah mendengarkan kata-kata mereka, dibandingkan aku?" tutur Lun
"Aruna, apa-apaan kamu pake minta bayaran segala? Dia dan kita punya misi yang sama. Sama-sama ingin menghancurkan keluarga Dinata," ujar Damar keberatan dengan permintaanku. "Aku tahu, Dam. Tapi, dia orang luar yang tidak begitu dekat dengan kita. Aku tidak mau, ya dimanfaatkan olehnya. Siapa yang akan menjamin jika nanti dia berkhianat?" kataku seraya membuka tangan ke arah Damar. Pria itu tidak lagi bicara. Dia hanya melihatku sekilas, kemudian menatap Kamila sejenak. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya tak sedikit pun berucap. Dia terlihat pasrah akan keinginanku yang meminta bayaran. "Aku tidak masalah jika kamu meminta bayaran dariku. Yah, aku cukup tahulah jika kalian memang membutuhkan uang. Orang miskin memang tidak jauh dari urusan rupiah."Darahku berdesir panas mendengar penuturan Kamila yang terkesan merendahkan. Dan dengan santainya, dia malah kembali menyalakan sebatang rokok tanpa tahu perasaanku yang tercabik akan kata-katanya. Aku diam bukan berarti tidak ber
"Jangan pernah berniat untuk berkhianat dariku. Ingat, kamu berhutang banyak padaku."Aku berhenti bernapas untuk beberapa detik, kemudian menghirup udara dengan pelan. Kepala kuanggukkan sebagai sebuah jawaban. Lidahku kelu, tak mau bicara kepada Damar meskipun hanya untuk berkata 'iya'. Setelah berjalan sejauh ini dengan niat yang kuat untuk menghancurkan keluarga Dinata, tiba-tiba perasaan gamang hadir begitu saja setelah melihat adikku yang selalu bersedih ketika aku membahas pembalasan.Ah, mungkin ini hanya perasaan sesaat saja. Besok atau lusa, semangat untuk merebut semua yang dimiliki Aldi akan datang kembali. Damar melepaskan kedua tangannya dari pundakku. Kaki ini pun kembali melangkah meninggalkan pria buruk rupa yang sekarang masih berdiri menatap kepergianku. "Taksi!" Aku berteriak mencegat mobil berwarna biru yang melintas di depanku. "Ke mana, Bu?" tanya si supir. "Jalan saja dulu, Pak. Nanti saya arahkan Bapak ke tempat tujuan saya."Pria yang memakai seragam war
Segera aku menutup bagian dadaku dengan kedua tangan saat tahu jika tiga kancing bagian atas dilepas oleh Syafiq. Sungguh aku sangat malu sekali hingga wajah ini terasa memanas. Apalagi, tingkah Aldi yang langsung menundukkan pandangan seraya mengulum senyum membuatku ingin menghilang dari muka bumi ini. "Syafiq nakal, ih!" ujar Alina mengangkat tubuh balita itu. Aku langsung mengambil bantal sofa, lalu menempelkannya pada bagian dada. Kemudian aku beranjak dari tempat duduk seraya membungkuk hormat pada Alina. Dalam hati aku menggerutu merutuki kebodohan diri ini dan kenakalan putra bungsu Alina. Jika tadi aku tidak terhipnotis oleh bentuk tubuh Aldi, mungkin aku akan tahu jika Syafiq membuka kancing bajuku. "Dasar anak nakal." Aku berucap seorang diri setelah sudah berada di kamar. Tanggung. Aku pun membuka kemejaku, lalu menggantinya dengan blouse tangan pendek tanpa kancing. "Mana dalemannya sampe keliatan, lagi," ujarku lagi seraya merapikan penampilan yang sempat berantak