"Siapa yang meneleponmu, Aruna?" Aldi kembali bertanya. Aku berdehem untuk menghilangkan kegugupan. Kemudian sebelah tangan mematikan telepon yang tadi sempat berdering. "Emh ... ini, Pak. Adik saya yang telepon. Sepertinya saya harus segera pulang sekarang," jawabku beralasan. "Yasudah, pulang sana.""Sekarang, Pak?" tanyaku menatapnya lekat. "Iya. Aku masih mau di sini," jawab Aldi. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tanpa menunggu nanti yang mungkin akan merubah pikiran Aldi, aku pun bangkit dari dudukku dan keluar dari kafe tersebut setelah pamit pada pria dingin itu. Seperti ada angin segar saat bisa terbebas dari pria menyebalkan yang selalu mengekangku itu. Hidup dalam lingkungannya, membuatku tertekan dan terpenjara. Karena tadi aku datang bersama Aldi, alhasil sekarang harus mencari taksi untuk bisa sampai ke rumah. Ponsel terus berdering dengan nomor Damar yang menghubungi. Aku tidak mengangkatnya. Lebih fokus ke jalanan yang tidak akan lama lagi sampai di depa
Demi Tuhan aku sangat kaget saat Luna hendak melukai dirinya sendiri. Dia memegang pisau buah yang diarahkan pada pergelangan tangan. Tentu saja aku langsung mengambil pisau itu dan menyingkirkannya dari adikku. "Kamu sudah gila!" kataku dengan napas yang terengah.Tubuh Luna merosot, dia bersandar pada ranjang sambil menjambak rambutnya sendiri. "Aku akan lebih gila lagi, jika Kakak mengikuti semua maunya mereka, Kak!" Segera aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Damar dan Kamila tidak boleh mendengar penolakan Luna tentang rencana yang sudah di depan mata. "Mau mereka yang mana?" tanyaku."Yang menyuruh Kakak membunuh Alina! Apa Kakak akan mengorbankan masa depan Kakak dan aku demi kepuasan mereka?""Pelankan suaramu, Luna. Nanti Damar dengar, dan kamu akan dikasarinya.""Aku tidak mau Kakak dipenjara, aku takut sendirian, Kak. Aku adikmu, satu-satunya orang yang memiliki darah denganmu. Tapi, kenapa Kakak malah mendengarkan kata-kata mereka, dibandingkan aku?" tutur Lun
"Aruna, apa-apaan kamu pake minta bayaran segala? Dia dan kita punya misi yang sama. Sama-sama ingin menghancurkan keluarga Dinata," ujar Damar keberatan dengan permintaanku. "Aku tahu, Dam. Tapi, dia orang luar yang tidak begitu dekat dengan kita. Aku tidak mau, ya dimanfaatkan olehnya. Siapa yang akan menjamin jika nanti dia berkhianat?" kataku seraya membuka tangan ke arah Damar. Pria itu tidak lagi bicara. Dia hanya melihatku sekilas, kemudian menatap Kamila sejenak. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya tak sedikit pun berucap. Dia terlihat pasrah akan keinginanku yang meminta bayaran. "Aku tidak masalah jika kamu meminta bayaran dariku. Yah, aku cukup tahulah jika kalian memang membutuhkan uang. Orang miskin memang tidak jauh dari urusan rupiah."Darahku berdesir panas mendengar penuturan Kamila yang terkesan merendahkan. Dan dengan santainya, dia malah kembali menyalakan sebatang rokok tanpa tahu perasaanku yang tercabik akan kata-katanya. Aku diam bukan berarti tidak ber
"Jangan pernah berniat untuk berkhianat dariku. Ingat, kamu berhutang banyak padaku."Aku berhenti bernapas untuk beberapa detik, kemudian menghirup udara dengan pelan. Kepala kuanggukkan sebagai sebuah jawaban. Lidahku kelu, tak mau bicara kepada Damar meskipun hanya untuk berkata 'iya'. Setelah berjalan sejauh ini dengan niat yang kuat untuk menghancurkan keluarga Dinata, tiba-tiba perasaan gamang hadir begitu saja setelah melihat adikku yang selalu bersedih ketika aku membahas pembalasan.Ah, mungkin ini hanya perasaan sesaat saja. Besok atau lusa, semangat untuk merebut semua yang dimiliki Aldi akan datang kembali. Damar melepaskan kedua tangannya dari pundakku. Kaki ini pun kembali melangkah meninggalkan pria buruk rupa yang sekarang masih berdiri menatap kepergianku. "Taksi!" Aku berteriak mencegat mobil berwarna biru yang melintas di depanku. "Ke mana, Bu?" tanya si supir. "Jalan saja dulu, Pak. Nanti saya arahkan Bapak ke tempat tujuan saya."Pria yang memakai seragam war
Segera aku menutup bagian dadaku dengan kedua tangan saat tahu jika tiga kancing bagian atas dilepas oleh Syafiq. Sungguh aku sangat malu sekali hingga wajah ini terasa memanas. Apalagi, tingkah Aldi yang langsung menundukkan pandangan seraya mengulum senyum membuatku ingin menghilang dari muka bumi ini. "Syafiq nakal, ih!" ujar Alina mengangkat tubuh balita itu. Aku langsung mengambil bantal sofa, lalu menempelkannya pada bagian dada. Kemudian aku beranjak dari tempat duduk seraya membungkuk hormat pada Alina. Dalam hati aku menggerutu merutuki kebodohan diri ini dan kenakalan putra bungsu Alina. Jika tadi aku tidak terhipnotis oleh bentuk tubuh Aldi, mungkin aku akan tahu jika Syafiq membuka kancing bajuku. "Dasar anak nakal." Aku berucap seorang diri setelah sudah berada di kamar. Tanggung. Aku pun membuka kemejaku, lalu menggantinya dengan blouse tangan pendek tanpa kancing. "Mana dalemannya sampe keliatan, lagi," ujarku lagi seraya merapikan penampilan yang sempat berantak
"Aruna!" Panggilan kembali terdengar, dan kali ini aku membalikkan badan melihat dari mana sumber suara tersebut. Aku bisa bernapas lega saat ternyata Alina memanggil dari arah dapur. Bukan memergokiku yang tengah mengintip di depan ruang kerja Adi. "Iya, Bu!" Buru-buru aku menjawab agar wanita itu tidak terus berteriak. "Cepat ke sini! Syafiq muntah, nih!" Astaga ...! Anak muntah saja teriaknya sudah seperti kesurupan. Aku mempercepat langkah untuk bisa segera sampai di mana Alina berada. Dari arah ruang tamu, Lasmi datang terpogoh-pogoh dengan wajah paniknya. "Ya Allah, Bu, kenapa bisa muntah?" tanyaku ketika melihat anak balita Alina yang tengah mengeluarkan isi perutnya. Ih, sangat menjijikkan! Untungnya, Lasmi sigap dan langsung mengambil lap untuk membersihkan kotoran di meja makan, juga di lantai. Jadi, aku tak perlu memegang muntahan anak itu. "Ada Apa, Sayang?" Adi datang, dan langsung bertanya pada istrinya. "Tadi Syafiq makan ikan itu, Mas. Sepertinya ada tulang
"Bang Aldi ....""Aku sungguh-sungguh, Nai. Tolong jangan batalkan pernikahan kita," ujar Aldi membuat Naima diam. Oh ... jadi Naima ingin membatalkan pernikahan, makanya Aldi datang menemui wanita itu dan memohon? Apa ini ada hubungannya dengan pembicaraanku waktu itu pada Tante Ratna? Mereka termakan omonganku? "Bang—""Secepatnya aku akan mengurus semuanya. Aku janji, pernikahan kita akan tetap digelar sesuai rencana awal. Tolong Nai, jangan patahkan impianku untuk bersanding di pelaminan denganmu." Aldi kembali berucap memotong ucapan Naima yang belum selesai. Rasanya aku ingin muntah mendengar permintaan Aldi. Segampang itu dia mengucapkan kata, meyakinkan Naima bahwa dirinya yang menginginkan pernikahan ini. Padahal, aku sangat yakin jika sebenarnya ucapan itu tidak keluar dari hatinya. Aldi si anak penurut hanya mengikuti keinginan ayah dan ibunya, bukan perasaannya. Aku sangat yakin tentang itu. Sorot mata Aldi menyimpan rasa takut dan kecewa. Namun, bukan takut pernika
"Mencuri hati Naima. Buktinya, dia mengurungkan niat untuk membatalkan pernikahan kami.""Oh, Bapak bisa saja," ujarku merasa tersanjung atas ucapan Aldi. "Terima kasih, ya, kamu sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Aldi berucap lagi. "Sama-sama, Pak. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Bapak dan Bu Nai."Pria di sampingku itu tersenyum simpul dengan pandangan lurus ke depan. Beberapa saat perjalanan, kini aku sudah sampai di depan rumah Alina. Tempat tinggalku yang baru. "Bapak, tidak mau masuk dulu?" tanyaku pada Aldi sebelum turun dari mobilnya. "Tidak, Run, masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Bilang saja aku buru-buru jika Alina bertanya."Aku mengangguk, kemudian turun dari kendaraan Aldi. Mobil Pajero berwarna putih pun melaju kembali meninggalkan aku seorang diri. Tidak ingin jadi patung di bawah gelapnya langit malam, aku pun masuk dan langsung mendapat pertanyaan dari tuan rumah. "Sudah pulang, Run?" "Eh, Ibu. Saya kaget, loh." Aku memegang dada keti